Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi.
"Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Eksoplanet, 1923. "Ar-Arcana. Anakku, maafkan ibu yang tak bisa melindungimu. Ibumu ini terlalu lemah. Padahal aku juga ingin menjadi orang tua yang dapat menimang dan membesarkanmu. Seperti yang di lakukan seorang ibu dari ras manusia. Tapi sayang ibumu ini bukan manusia. Maafkan ibu Arcana, Aku bukan ibu yang baik untuk mu. Aku telah mengambil keputusan yang salah, tapi kau tahu ibu sangat menyayangimu...." Desis seorang ibu dengan suara yang terdengar lemah dan terbata-bata. Meskipun darah terus mengalir keluar dari mulutnya, ia masih berusaha mengucapkan sepatah kata,"Se-pertinya ibu terlalu banyak meminta maaf, mungkin karena ajaran si manusia bodoh itu. Hehehe ... Dia ayahmu, laki-laki bodoh yang sangat mirip denganmu, Arcana. Rambut putih mu itu membuatku sangat merindukan ayahmu. Ibu ingin hidup bersama kalian berdua, tapi ...." Tangisan sesegukan terdengar menyayat di antara senyuman dan kasedihan dari seorang ibu. Penyesalan dan kerinduan memberontak,
Eksoplanet, 1943. 20 tahun kemudian .... Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat. Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia. Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat tekno
"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi. "Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka. "Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus. Kemudian tabung yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak. Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan, "Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan," T
"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s
Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t