Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana.
"Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik.
"Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut.
"Ada berapa?"
"3 orang."
"Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah.
"Posisi mereka tak bisa di temukan. Mereka sangat pandai menyembunyikan diri. Tapi jika di lihat dari alamat IP, para pelaku bukanlah musuh dari benua lain. Melainkan dari benua ini." jelas Hologram 3D sesuai dengan informasi yang ia dapatkan dari para Eagle.
"Apa! Dari Zealandia!" seru laki-laki itu terkejut bukan main. Dirinya tak menyangka. Ternyata ada musuh dalam selimut.
Hologram 3D tak lagi merespon. Raut wajah tanpa ekspresi, membuat laki-laki itu tak lagi menuntut jawaban. Selanjutnya laki-laki itu melangkah menuju meja kerja. Menarik kursi. Lalu duduk sembari mengeluarkan sebatang rokok dari pembungkusnya. Membakar dan menghisap rokok yang tertancap dikedua belah bibirnya
Mendadak lelaki itu berdiri. Menyentil rokok hingga menembus tubuh pijar biru, lalu jatuh ke lantai. Tetap saja Hologram 3D tak bereaksi. Ia tak menghindar atau terkejut. Hologram 3D malah memperhatikan kepulan asap yang mengandung nikotin.
Ya, iyalah. Namanya juga alat buatan. Terlihat hidup tapi mati rasa.
Ivanov Ilya memandang Hologram 3D cukup lama. Selang beberapa detik lelaki itu, berucap dengan suasana hati yang semakin memanas. Serta mimik wajah menghina.
"Zealandia memiliki sistem keamanan yang paling maju di benua Eksoplanet. Tiap waktu, Kapinis 2 selalu berpatroli untuk memantau keadaan benua Zealandia." suara bogem mentah terdengar menghantam meja.
Kapinis 2 adalah pesawat yang berfungsi dengan kendali jarak jauh oleh pilot (Eagle) atau pesawat yang bisa mengendalikan dirinya sendiri.
Berbentuk jet tempur dengan panjang 18,3 meter. Dapat terbang selama 60 jam, dengan ketinggian maksimum 17 killo meter. Serta kecepatan maksimum 740 km/jam.
Kapinis 2 dirancang dan di kembangkan oleh para ilmuwan Zealandia, untuk di gunakan di bidang militer. Guna melakukan pengintaian, pengawasan, patroli dan penentuan posisi target di Zealandia. Atau menyebar ke beberapa benua di Eksoplanet. Kapinis 2 memiliki radar untuk mendeteksi musuh hingga kisaran 200 km. Yakni sensor infrared yang di kombinasikan dengan teknologi artificial intelligence dengan kemampuan neural network yang mengadopsi kemampuan otak manusia dalam memberikan informasi. Sehingga Kapinis dapat memindai wajah seseorang lebih cerdas dan akurat ke bentuk 4 dimensi. Meskipun orang tersebut berada dalam kegelapan atau di dalam gedung.
Kapinis 2 di lengkapi dengan persenjataan rudal anti tank yang menghancurkan, dan teknologi siluman yang membuatnya menjadi transparan, sehingga tak dapat terdeteksi oleh radar musuh. Serta didukung dengan sistem anti-spoofing. Yakni sistem keamanan yang melindungi Kapinis dari serangan para Hacker. Namun tak jarang para ilmuwan di Zealandia sendiri malah yang menjadi peretas, untuk mengelabui para Eagle.
"Apa yang di lakukan para Eagle? Padahal mereka hanya duduk memandang monitor, tanpa perlu mencari kemana-mana. Tapi kenapa Menemukan posisi tiga parasit saja tak mampu. Apa mereka ingin mempermalukan Ivanov Ilya sebagai god father penguasa dunia maya?" Sambung lelaki itu menyebut nama dan jati dirinya.
"Mohon tunggu sebentar. bersabarlah tuan. para Eagle sedang berusaha sekuat mungkin," jawab Hologram 3D menenangkan perasaan Ivanov.
Ivanov Ilya kembali duduk. Seraya meredam emosi dengan menyandarkan kepala di kursi kebesarannya. Memandangi langit-langit gedung. Selanjutnya ia memberikan titah dengan mata biru yang berubah menjadi gelap.
"Hubungi pasukan militer! Perintahkan untuk menelusuri seluruh sudut kota benua Zealandia. Temukan tiga parasit itu! Serahkan padaku, aku ingin menjadikan mereka sebagai bahan eksperimen makhluk hibrida antara manusia dan sipanse yang sedang aku teliti."
Mendadak mata Hologram 3D berubah menjadi merah. Pertanda ada yang menelfon. Ivannov tau akan hal itu. Lantas di kedua mata Hologram 3D memancarkan cahaya yang menampilkan proyektor layar berukuran satu meter kali satu meter. Terlihat di layar monitor, sebagian tubuh sosok laki-laki yang familiar. Laki-laki itu tak mengenakan pakaian. Di belakangnya terlihat mobil-mobil yang lalu lalang.
"Ada apa?" tanya Ivanov Ilya yang jelas mengenal laki-laki itu.
"Tuan, kau tak perlu membuang waktu para pasukan militer. Biar aku saja yang menemukan ke tiga hacker itu." Jawab laki-laki tampan dengan senyum yang misterius. Lelaki itu menawarkan diri untuk menanngkap para Hacker. Mendengar hal itu, mata gelap ivanov berubah seketika menjadi membelalak setuju, sembari tersenyum bengis. Ivankov Ilya sangat percaya laki-laki itu dapat menyelesaikan masalah yang terjadi di Zealandia.
Di puncak gunung Rahtawu. Helen dan Jansen menggunakan kemampuan lain dari Trilachonaya. Yakni Holografik 3 dimensi berbentuk monitor LED. Untuk membuat obyek 3D, hanya perlu menggambar menggunakan tangan secara langsung hingga menjadi jelas, bahkan lebih detail. Serta di operasikan dengan perintah suara melalui tampilan Graphical User Interface. Yakni GUI atau sistem komponen visual interaktif untuk software komputer. Selain itu juga monitor tersebut, dapat memecah menjadi beberapa bagian sesuai ukuran yang di inginkan. Bahkan dapat mengikuti gerakan pengguna Trilachonaya, kemanapun ia pergi.
Pada dasarnya Trilachonaya atau Hololens mempunyai konsep menggabungkan antara dunia nyata dan dunia digital kedalam dimensi virtual yang menjadi kenyataan. Atau dalam ilmu pengetahuan di kenal dengan istilah Augmented Reality (AR) yang berkombinasi dengan Virtual Reality (VR) sehingga menghasilkan Mixed Reality (MR).
Penemuan apakah ini? Mungkinkah menciptakan suatu program yang bisa sekompleks ini?
Dilayar monitor milik Jansen menampilkan data-data yang berkembang layaknya molekul dan partikel pada denyut pikiran seseorang. Serta memiliki alur yang unik. Bentuk jaringan ini, seperti sebuah neutron pintar. Berfungsi sebagai otak dan bisa menjadi pusat program yang dapat di kendalikan.
Ini adalah sebuah formula khusus di mana setiap jaringannya tertata dan tersambung dengan rapi hingga ke detail.
"Merepotkan sekali para Eagle ini." keluh Jansen menarik nafas halus, lalu menghembuskan secara kasar.
"Berhenti mengeluh Jansen. Fokuslah!"
Rupanya, Jansen adalah hacker yang berani meretas Kapinis 2. Serta Departemen Keamanan, tempat Ivanov berada adalah Jansen.
"Lalu bagaimana denganmu Helen?" tanya Jansen kepada gadis yang sedang menganalisa kerusakan tiap bagian sayap buatan Shin. Terlihat ekspresi dingin sangat serius, saat gadis itu menggerakkan jarinya ke layar monitor yang ada di hadapannya.
"Kompresor pada turbo jet terus mengisap udara dingin. Menyuplainya ke dalam ruang bakar. Kemudian gas panas hasil pembakaran di keluarkan pada turbin yang tersinkronisasi. Seiring dengan piston yang melakukan siklus kerja mesin. Dalam menghasilkan tenaga pembakaran, untuk menggerakan ke dua sayap. Semuanya masih normal. " Ucapan Helen terdengar sangat logis.
"Lalu kenapa Shin tak bisa tak bisa kembali kebawah."
"Huuftt ... Tombol navigasinya rusak." jawab Helen menggigit jari. Terlihat raut wajah muram. Kegelisahan melanda.
Jansen merasakan beban yang dipikirkan Helen. Selanjutnya, ia bertanya dengan nada heran sekaligus cemas.
"Ada apa? Kau tak bisa menolongnya?"
"Bukan begitu. Sejak tadi aku ingin menghubungi Shin. Namun, ada yang selalu membatalkan panggilanku."
"Para Eagle?"
"Bukan." Jawab Helen, memandangi layar monitor. Pijar biru dari blue print visual 4D tersebut. Makin terlihat membentuk jalur. Serta jaringan neutronnya berkembang kian kompleks!
"Sepertinya ada hacker pengguna Trilachonaya lain yang lebih hebat dari kita." Celetuk Helen menambah.
"Ya sudah, aku akan membantumu mencari orang itu?"
"Tidak usah. Aku bisa sendiri" Helen meregangkan jari-jarinya. Dirinya sangat yakin dengan skill komputernya dapat mengalahkan orang suruhan Ivanov.
Di jembatan penghubung Zealandia dan Laurasia. Terlihat seorang pemuda berotot berumur 19 tahun. Memiliki tato naga di sebagian tubuhnya. Wajahnya yang tampan, bahkan lebih dari Shin dan Jansen. Sehingga membuat pandangan para pengendara mobil tertuju padanya. Sebab terkesimak melihat kharisma lelaki yang hanya memakai celana panjang dan sepatu boots militer. Lelaki misterius itu berdiri santai. Menumpukan kedua lengannya di pagar pembatas jembatan. Memperhatikan Shin, Jansen, dan Helen yang di perlihatkan di dalam layar monitor 3D. Seolah laki-laki itu sedang menonton Televisi.
"Hay, Shin! Sesuai dengan keinginan mu, aku akan menyelamatkan jasadmu dan menjadikanmu bahan eksperimen di area lima satu." Lelaki itu berbicara sendiri sambil tertawa bengis dengan sorotan mata biru gelap.
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t