Home / Fantasi / Fairy Wings: Blood Moon / Manusia di Eksoplanet

Share

Manusia di Eksoplanet

Author: Alka Awal
last update Last Updated: 2021-09-05 17:24:55

Eksoplanet, 1943.

20 tahun kemudian ....

Zealandia, merupakan benua yang ada di Eksoplanet. Di huni oleh para ilmuwan pencipta teknologi canggih. Lantaran canggihnya, matahari buatan pun telah di ciptakan. Sehingga tak ada yang bisa membedakan siang ataupun malam di ibukota. Tapi para ilmuwan itu juga manusia biasa. Tak akan pernah merasa puas selama mereka belum mati. Eksperimen di luar nalar akan terus di lakukan. Tentu, hanya untuk membuktikan siapa yang terhebat.

Salah satu ilmuwan itu adalah Shin. Pemuda yang kurang tampan bersetelan jubah putih. Perkiraan tinggi sekitar 170 senti meter. Berkornea warna biru, dan berpupil warna hitam. Mata unik tersebut sangat di kenal di penjuru Eksoplanet sebagai ciri khas yang hanya di miliki punduduk Zealandia.

Shin bersama dua orang temannya berada di puncak gunung Rahtawu. Gunung tandus yang terbelah menjadi dua. Tempat yang sangat cocok untuk menguji alat teknologi bertenaga mesin.

Ketika terik mentari berpencar di kawasan gunung Rahtawu. Shin berdiri di tepi jurang. Tatapannya  mendarat ke dasar lembah. Terlihat ilang-ilang terhempas oleh embusan angin.

Benar. Lembah itu adalah tempat di mana Elaine di eksekusi oleh Azazel. Dari padang rumput, kini sudah berubah menjadi padang ilalang. Shin tak peduli akan hal itu. Menurutnya, kisah pembunuhan Elaine hanyalah rumor yang di ceritakan turun temurun oleh para orang tua. Gunanya untuk menakut-nakuti anak-anak agar tidak bermain di antara gunung yang terbelah dua tersebut.

Shin sudah tak sabar untuk melakukan Eksperimen. Sejuta khayalan kian mengunci di dalam pikiran. Tentang apa yang akan dia lakukan. Akan tetapi Shin menelan ludah. Melihat jurang yang curam terasa menakutkan di dalam batin. 

Shin mulai menyandangkan ransel di bahunya. Yakni ransel yang berbahan logam metalik. Pada sisi belakang ransel itu  tertera tulisan berwarna merah.

'F=-F' 

Shin mengencangkan sabuk yang mengikat ransel dan pinggangnya. Lalu ia menundukkan kepala. Melihat tiga tombol navigasi pada sabuk yang miliki fungsi berbeda-beda. Yakni berwarna merah, kuning, dan hijau.

Selang beberapa detik salah satu teman Shin mulai membuka pembicaraan. 

"Ku harap, kau tak membuang waktuku, untuk melihat kegagalan mu!" sindir gadis berponi warna ungu. Dengan gaya ikatan model kucir kuda. Cukup simple, untuk gadis berpenampilan tomboi.

Gadis itu berdiri di belakang Shin. Jarak antara keduanya, terpaut sekitar 10 meter. Di lihat dari kaos ungu berlapis jubah putih yang di kenakan. Bisa tertebak, gadis itu juga seorang ilmuwan. 

"Helen! Jika kau tak mau menerima kegagalan. Kau tidaklah pantas menyandang gelar ilmuwan," cibir Shin membalas.

"Cih ...." Helen meludah. Rasa kesal  menghiasi wajah cantik gadis itu. Kendati demikian, masih ada sedikit rasa penasaran di hatinya. Helen menggerutu, "kemarin kau menaruh baling-baling di kepalamu. Sekarang apa lagi yang akan kau perbuat?"

"Mungkin baling-baling itu di pindahkan kedalam ranselnya," sahut pemuda yang sedang bersedekap dada dan menyilangkan kedua kakinya di udara. 

Meskipun berbadan gemuk. Pemuda itu mampu melayang seperti balon. Aneh, kan? Dirinya terbahak di samping Helen. Membayangkan saat Shin terbang menggunakan baling-baling. Dengan bantuan Helm, baling-baling itu berputar di kepala Shin. Menurutnya, tingkah Shin sungguh konyol dan lucu kala itu.

"Jansen! Ciptaan ku kali ini sangat berbeda.  Dengan alat ini, akan ku buat anak kecil berhamburan di udara. Senyum kebebasan malaikat-malaikat kecil itu akan membuat orang dewasa terpana," jelas Shin membela diri. Selanjutnya, Volume suaranya merendah, "Dengan begitu, tak akan ada lagi peperangan."

Seketika suasana menjadi hening. Lantas Shin menutup mata. Ia ingin menangis. Tapi Shin malu pada temannya. Jansen pun termangu, seolah  memahami kesedihan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan Shin. Mungkin Keduanya pernah merasakan sakit akibat dari pertumpahan darah di karenakan perselisihan antara manusia. Entahlah. Kemudian Shin memperjelas keinginannya, dengan tegas.

"Jeritan ketakutan, kematian tragis, dunia penuh ancaman dari penjajah. Semuanya akan ku akhiri dengan alat canggih yang ada di dalam ranselku ini!"

"Bodoh! Sejak kemarin kau terus mengatakan hal yang sama. Kau pikir dunia ini adalah surga? Di mana hanya ada kebahagiaan dan kedamaian," sahut Helen mencibir. Wanita itu tertawa, sebelum meneruskan kata-katanya. Seakan  menganggap Shin sedang mengada-ngada, "peperangan tidak akan pernah berakhir selama kesombongan dan keserakahan masih ada di hati manusia. Ketahuilah Shin! Ciptaan mu itu hanya akan menambah rasa iri hati ke tujuh benua di Eksoplanet. Mereka pasti akan bersatu untuk mengalahkan benua Zealandia."

Pemuda yang memakai setelan warna hitam nampak kesal. Mendengar perdebatan kedua temannya yang melebar kemana-mana. Meskipun begitu Jansen tak menunjukan ekspresi marah. Dirinya bersikap lebih dewasa dibanding Shin dan Helen. Dengan suara lembut, Jansen memberi peringatan,

"Kalian ini sedang membahas apa! Aku kesini bukan untuk mendengar perseteruan kalian. Lagi pula masalah politik kekuasaan, tidaklah pantas untuk di perdebatkan di tempat ini."

Karena merasa suasana menjadi tegang. Helen memalingkan wajah. Dirinya merasa nggak enak. Tak berani membalas sepatah kata apapun.

Berbeda dengan Shin yang terlihat begitu santai. Dirinya masih sempat melontarkan sindiran. Tanpa mempedulikan perasaan Helen.

"Tenanglah Jans. Dia memang seperti itu, selalu merasa yang paling hebat padahal masih ada Altern yang jauh di atasnya. Kelak mereka berdua akan ku kalahkan dengan hasil ciptaan ku ini." 

"Apa yang kau katakan Shin!" bentak Helen geram. Kedua tangannya mengepal. Ia meradang, tak terima. Melihat reaksi Shin yang seakan menantangnya, "jangan pernah membanding-bandingkan aku dengan Altern! Apalagi kau berfikiran untuk melampaui ku."

Shin mengabaikan kekesalan gadis itu. Matanya menatap ke belahan gunung yang  berada di sebrang. Lumayan jauh, sekitar 100 meter. Shin memperhitungkan hal yang mungkin akan terjadi. Rencana yang matang sudah tergambar lengkap di otaknya, 

"Aku akan menukik ke sana!" batin Shin yang sudah membulatkan tekad, "Setelah aku dari atas,"  lanjut Shin membatin. Shin mendongak. Menatap langit cerah.

Jansen menghela nafas. Dirinya berusaha melapangkan dada. Pemuda itu mencoba menenangkan hati salah satu dari temannya. Pikirnya, suasana tegang akan segera mencair.

"Diamlah Helen. Shin, tidak akan pernah berhenti memprovokasimu, jika kau terus berbicara," 

Percuma saja . Shin dan Helen serupa kucing dan tikus. Mereka berdua akan terus bertengkar. Dimanapun, kapanpun, dan dalam situasi apapun. Perseteruan tak akan pernah berakhir. Walau ada yang mengaku kalah. Kalau bukan Shin yang memulai menyulut api emosi. Pasti sebaliknya.

"Hey, Helen!" seru Shin tersenyum sinis. Sebelah matanya nampak melirik, dengan menjulurkan ibu jari mengarah kebawah. Kemudian Shin berteriak, "akan ku perlihatkan, hasil ciptaan dari Ilmuwan paling hebat di Zaelandia." 

"Cepatlah!" tekan Jansen dengan tegas. Hatinya menggebu. Tak sabar ingin melihat hasil penemuan temannya.

Berbeda dengan Helen. Kakinya melangkah mendekati Shin. Amarah gadis itu sudah tak terkendali. Kali ini Helen benar-benar ingin menghajar ilmuwan angkuh itu. Bahkan dirinya tak peduli lagi dengan peringatan Jansen.

Shin menyadari niat Helen. Dengan tergesa-gesa bercampur rasa panik, jari telunjuknya segera menekan salah satu tombol navigasi yang berwarna merah.

"Kau benar-benar menyebalkan Shin! Apa kau ingin menanta--" Ucapan dan langkah kaki  Helen terhenti. Saat mendengar bunyi halus mesin. Helen tertegun.

Seketika keluar sepasang lempengan titanium pada kedua sisi samping ransel Shin. Terbentuk dan juga terasah halus. Logam batangan berwarna putih metalik perlahan memanjang. Membentuk kerangka yang simetris serupa busur panah.

"Zzzt ...."

"Apa itu?" tanya Jansen tersentak kaget. 

Kemudian di tepi potongan logam tersebut keluar titanium lebar, yang menyerupai pedang. 

"Zzzt ... klik." 

Bunyi gemerincing potongan logam yang saling bergesekan. Satu persatu keluar mengarah ke bawah. Teratur rapi menjadi dua susun, dengan panjang yang berbeda. 

Sempurna.

Penampilan Shin tampak seperti malaikat. Sungguh luar biasa. Penemuan alat canggih yang terstruktur. Sesuai konsep yang di rencanakan. Tak ada yang menyangka jika Ilmuwan bodoh itulah membuat teknologi tersebut.

"Sa-sayap!" ucap Jansen dan Helen kompak. Pupil mata mereka melebar dengan warna biru yang terlihat sempurna.

Bahkan amarah Helen berangsur reda. Sebab terkejut dan terkagum melihat sayap yang membentang pada tubuh bagian belakang Shin. 

Begitupun juga dengan Jansen. Tanpa sadar tubuhnya yang melayang, tiba-tiba turun. Berpijak ke permukaan tanah. 

"Bagaimana? Haaaa ...?!" tanya Shin tersenyum. Ia menunggu pendapat dari kedua temannya.

"Bodoh!" Helen menepuk jidat. Keraguan meliputinya. Dia merasa menggerakkan titanium seberat itu adalah hal yang mustahil bagi manusia, "bagaimana kamu bisa mengepakkan titanium seberat itu?"

Tanpa menjelaskan, sayap Shin segera mengepak ke arah Helen. Akibatnya, angin berhembus mengenai seluruh tubuh wanita itu, hingga menyingkap jubah putihnya.

Lantas tangan Helen menutup matanya, untuk menghalau terpaan arus udara.

Apa yang terjadi? 

Bagaimana cara Shin mengibaskan kedua sayapnya?

Apakah mungkin tulang manusia dapat mengangkat beban seberat logam titanium?  

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Fenty
Lanjutkan Kaka Author... cerita peri yang sangat berkesan Next Next NeXt
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Fairy Wings: Blood Moon   Teknologi

    "Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi. "Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka. "Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus. Kemudian tabung yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak. Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan, "Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan," T

    Last Updated : 2021-09-05
  • Fairy Wings: Blood Moon   Kondisi Langit

    "Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s

    Last Updated : 2021-09-05
  • Fairy Wings: Blood Moon   Awan comulonimbus

    Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki

    Last Updated : 2021-09-05
  • Fairy Wings: Blood Moon   Makhluk Mitologi

    Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin

    Last Updated : 2021-09-22
  • Fairy Wings: Blood Moon   Trilachonaya

    "Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus

    Last Updated : 2021-10-12
  • Fairy Wings: Blood Moon   Hacker

    Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t

    Last Updated : 2021-10-12
  • Fairy Wings: Blood Moon   Kenangan 13 tahun lalu

    "Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu

    Last Updated : 2021-10-13
  • Fairy Wings: Blood Moon   Keingian Ayah

    ""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"

    Last Updated : 2021-10-13

Latest chapter

  • Fairy Wings: Blood Moon   Ada apa dengan Gery?

    Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na

  • Fairy Wings: Blood Moon   Ozon.

    Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan

  • Fairy Wings: Blood Moon   Perasaan

    Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kemarahan Helen

    Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter

  • Fairy Wings: Blood Moon   Wujud Trilachonaya

    Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kapinis 1

    Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be

  • Fairy Wings: Blood Moon   Keingian Ayah

    ""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"

  • Fairy Wings: Blood Moon   Kenangan 13 tahun lalu

    "Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu

  • Fairy Wings: Blood Moon   Hacker

    Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status