"Bagaimana cara menggerakkannya?" tanya Jansen dengan keingintahuan yang tinggi.
"Teknologi." Shin berucap dengan suara tegas. Shin mengangkat lengannya, dengan telapak tangan yang terbuka.
"Dengan sayap ini, akan ku bersihkan darah yang menodai hamparan tanah di Eksoplanet." lanjut Shin mengepal tangan. Seolah dia sedang menggenggam dunia. Bayangan dunia sekarang ada dalam genggamannya. Keseriusan nampak dari wajahnya. Mulutnya mengatup hingga tercetak senyum percaya diri. Seiring dengan pandangannya yang penuh tekad masih memandang jauh nan lurus.
Kemudian tabung yang ada di dalam ransel Shin bergerak naik turun. Layaknya, mesin pompa, yang menghasilkan daya dorong angin kearah bawah. Seiring dengan kedua sayap yang terus mengepak.
Helen menggigit jari. Terlihat dia berfikir. Sebelum menjelaskan,
"Jadi begitu. Piston di manfaatkan untuk mengisap campuran udara ke dalam ruang bakar hingga terjadi pergerakan,"
Tak salah lagi wanita berwajah dingin itu, adalah salah satu ilmuwan paling jenius di Zealandia. Ia bisa menganalisa dengan singkat. Walau hanya dengan memperhatikan apa yang terjadi.
"Ya, ya. Ia meniru cara kerja mesin pada kendaraan," tambah Jansen mengangguk mengerti. Namun, masih ada hal yang mengganjal di benak, "Lalu kenapa kau masih diam di tempat Shin? Seharusnya, kau sudah terbang ketika sayap itu mengepak."
"Betul juga. Suatu hal dapat di katakan berhasil, jika tujuan diperoleh dengan sempurna. Aku tidak yakin tubuh kurus Shin mampu menggerakkan titanium seberat itu. Semoga eksperimen ini tidak akan berhasil." pikir Helen melamun.
Kemudian Helen berencana memprovokasi Shin dengan memandang rendah sayap tersebut. Tujuannya, agar ilmuwan sombong itu segera bereksperimen.
Helen tersenyum miring di bibir sensualnya. Selanjutnya, Ia berseru dengan nada mengejek,
"Apa gunanya sayap itu mengepak, tapi tak mampu menerbangkan tubuhmu!" Kepala Helen menggeleng, "Ataukah kau seperti seekor ayam yang bermimpi untuk terbang? Tapi sayang, sayap itu hanya bisa menjadi hiasan di punggungmu."
Shin Berhasil terpancing.
Spontan ilmuwan bodoh itu langsung menjulurkan lidah. Di tambah dengan mengacungkan jari tengah kepada Helen. Selanjutnya Shin membalas, dengan berlagak angkuh.
"Lihatlah!"
Ya. Inilah dunia ilmuwan. Hasil ciptaan adalah kebanggaan yang patut di sombongkan.
Kemudian salah satu lempengan titanium lebar terbuka otomatis. Membentuk sebuah lingkaran kecil tapi terlihat sempurna. Muncul sepasang tabung yang tersembunyi pada masing-masing bagian sayap Shin.
"Me-mesin turbo jet?!" Jansen berseru dengan nada tak menyangka.
Shin tersenyum mengiyakan,
Proses pembakaran aliran udara di mulai.
"Zzztt" Suara bising yang di hasilkan mesin jet berdesis halus.
Turbin jet di ke dua sayap Shin mengeluarkan energi yang menyerupai api biru. Energi bersuhu tinggi dari hasil pembakaran udara dingin. Bukankah ini mirip dengan prinsip pada mesin yang menggerakkan pesawat terbang? Sangat sederhana, tapi hasilnya menakjubkan.
Perlahan-lahan tubuh Shin terangkat ke atas. Kedua temannya kembali tercengang. Saat melihat Shin melayang, bagaikan malaikat yang hendak naik ke surga.
Helen merasa ingin memuji kejeniusan Shin. Tapi ilmuwan bodoh itu begitu sombong. Helenpun memutuskan hanya ingin mendeskripsikan mekanisme sistem kerja sepasang sayap tersebut. Seperti biasa selagi Helen berfikir. Ia selalu menggigit jari,
"Begitu rupanya, ketika suatu benda memberikan gaya pada benda kedua, benda kedua tersebut memberikan gaya yang sama besar tetapi berlawanan arah pada benda pertama. Layaknya, dorongan kebelakang oleh ban yang menghasilkan reaksi maju untuk kendaraan." Penjelasan yang terperinci. Sesuai dengan gaya dorong mesin jet yang mengangkat tubuh Shin.
Mendadak ....
Setelah lepas landas. Tidak seindah yang di bayangkan. Kedua sayap Shin tak bisa di kendalikan. Tubuhnya jungkir balik di udara. Berputar-putar tak tentu arah. Mengikuti kemana arah sayap itu mengepak.
Shin menekan tombol hijau berkali-kali. Maksudnya untuk mematikan mesin jet. Naasnya, turbin jet tak bisa di nonaktifkan.
Shin menghadap langit luas. Tentu posisi terbalik ini akan membahayakan tubuhnya. Benar saja. Sekali sayap menyentak. Shin terhempas jatuh. Badannya Menghantam hamparan tanah. Hingga terlempar sekitar 50 meter dari tempat kedua temannya.
"Bruuuukkk." Terdengar suara sangat keras. Akibat dari benturan antara badan, titanium dan hamparan tanah yang padat. Menyebabkan keretakan pada permukaan tanah. Sehingga debu-debu bertebaran
"Arggghhhh!" teriak Shin memuntahkan darah. Seakan hantaman keras itu menumbus sampai ke organ bagian dalam tubuh. Beruntung Shin tak mengalami patah tulang. Hanya saja terasa ngilu dan nyeri.
Jansen dan Helen saling berpandangan. Kemudian Jansen berteriak dengan nada khawatir,
"Kau tidak apa-apa Shin!"
Sedang seringai bengis di wajah Helen, terlihat puas. Wanita itu nampak senang menyaksikan kecelakaan tersebut.
"Aku sudah menduga akan terjadi seperti ini. Tolonglah dia Jans! Aku mau pulang."
Tanpa menunggu lama. Jansen langsung bergegas terbang ketempat Shin. Sesampainya, Jansen melihat kedua turbin jet. Energi api biru perlahan padam. Selanjutnya, sorot mata Jansen terfokus kepada Shin yang terkapar. Nafas Shin naik turun. Tak ada air mata ataupun rengekan. Namun, noda darah pada wajah putih Shin. Seketika membuat Jansen menjadi cemas. Lantas Jansen mengulurkan tangan. Shin mengerutkan dahinya, lalu menepis telapak tangan Jansen,
"Aku tidak apa-apa Jans. Luka sekecil ini bukanlah masalah."
"Shin, tidak usah memaksakan diri! Kau bisa mencobanya lagi besok,"
"Hahaha Besok? Hanya karena luka sekecil ini aku harus berhenti. Lalu bagaimana aku bisa menjadi ilmuwan nomor satu!"
"Ta-tapi Shin ...."
"Meskipun harus memaksakan diri, aku tidak akan pernah menyerah Jansen. Karena pertunjukan baru akan di mulai." potong Shin dengan cepat.
Melihat Shin yang keras kepala. Helen menjadi semakin emosional. Selanjutnya ia sesumbar dengan raut wajah kecut,
"Berdiri saja tidak mampu, tapi masih berlagak sok kuat. Dasar songong!"
Shin kembali menekan tombol merah. Satu persatu ujung sayap itu bergerak. Seolah menjadi tongkat yang membantu menyanggah tubuh. Sekuat tenaga, Shin berusaha bangkit dari pembaringan. Meskipun kakinya gemetar. Tekad pantang menyerah masih nampak di matanya, yang menatap sangat tajam. Kemudian Shin menyentakkan kaki kanannya. Berpadu dengan helaan nafas kasar. Selanjutnya, terdengar suara batuk berkali-kali. Shin berkata dengan suara gemetar, "Ba-bahkan anak burungpun harus mengalami nasib tragis saat belajar terbang. Aku harus bisa menjinakkan sayap liar ini."
Turbin jet menyala. Tubuh Shin kembali mengudara. Mirisnya, kegagalan kembali terjadi. Situasi kali ini berbeda, Shin menukik dengan cepat. Tubuhnya terseret oleh sayap yang terus mengepak. Spontan Shin menutup wajahnya dengan lengan. Sebab kulitnya tergores di permukaan tanah yang kasar. Alhasi, jubah putih Shin robek di bagian lengan. Sesekali Shin meringis kesakitan. Merasakan kulitnya tersayat oleh tanah dan batu kerikil. Hingga meninggalkan luka lebam pada lengan dan lututnya.
Sesaat kemudian. Hal yang Jansen takutkan terjadi. Shin melesat terjun kedalam jurang.
Helen berlari ke tepi. Ia melihat jauh ke lembah padang ilalang. Terlihat Shin terjun bebas menatap langit. Dengan ekspresi pasrah penuh kedamaian. Shin sudah siap untuk mati. Namun demikan, Shin mencoba mengulurkan lengan kanannya yang bersimbah darah. Tanpa ada kata untuk meminta pertolongan. Helen membalas dengan tersenyum sinis. Helen membalikan tubuh pada Jansen. Seterusnya ia berseru, sembari melambaikan tangan.
"Jans dia sudah mati. Aku mau pulang!"
Raut wajah Jansen semakin khawatir. Dengan cepat ia terbang menyusul Shin. Kaki Helen mulai berjalan, hendak meninggalkan gunung Rahtawu.
Tapi ....
Tak sampai lima langkah, Helen berhenti. Saat mendengar suara tawa yang menggelegar dan teriakan menggema dari dalam jurang.
"Hahahaha."
Helen menoleh. Seketika dia menjadi kaget. Tak percaya.
Terpampang di udara. Seorang ilmuwan berpenampilan seperti gembel yang memiliki sayap. Jubah putihnya compang camping dan kusam menguning. Disebakan oleh tanah serta darah yang menempel menjadi noda.
Melihat temannya selamat. Jansen merasa lega. Ia melayang di samping Helen.
Shin bermanuver di antara gunung yang terbelah menjadi dua. Naik dan turun berkali-kali. Melintasi pinggir tebing bebatuan. Senyum yang sangat lebar menyeringai bahagia. Sebab Shin dapat mengendalikan sayapnya dengan mudah. Seolah sayap itu sudah menjadi bagian tubuhnya yang lain.
Kemudian ilmuwan itu berputar-putar mengelilingi kedua temannya. Sampai akhirnya ia terbang menghampiri Helen. Shin menekan tombol kuning. Maksudnya, untuk mengurangi kecepatan hentakan pada sayapnya. Dengan begitu ia dapat mengatur tekanan dan suhu udara. Sebab semakin cepat sayapnya mengepak, semakin tinggi juga kecepatan jetnya. Shin melayang di tempat. Posisinya berada pada jarak enam atau tujuh meter dari permukaan tanah.
"Helen ...! Helen ...! Kau pasti terpesona dengan sayapku ini, kan? Kalau begitu, pujilah aku. Hahahha."
Helen nampak geram melihat raut wajah bodoh Shin yang sedang tertawa.
"Pantas saja, kau di sebut sebagai ilmuwan terbodoh. Dasar tolol!" ketus Helen mencela.
"Tolol? Hahaha. Lihatlah sayapku ini? Di buat olehku, Shin. Ilmuwan paling jenius di Zealandia." balas Shin membela. Sekaligus memuji dirinya sendiri.
"Kalau kau memang jenius coba jelaskan tulisan yang ada pada ranselmu itu?" tanya Helen menujuk wajah Shin. Helen ingin menguji kemampuan otak ilmuwan yang mengaku jenius itu.
Shin menghentikan tawanya. Seterusnya kepalanya menoleh kebelakang,
"Yang mana?"
Meskipun Shin tak mampu melihat. Ia masih saja berusaha mencari tulisan itu. Ilmuwan itu benar-benar bodoh. Mungkin sebelumnya, Shin tak memperhatikan tulisan itu. Sebab ia terlalu bersemangat untuk bereksperimen. Entahlah.
"Mungkin Gery, yang menulisnya?" tebak Shin berfikir. Pupil matanya memutar ke atas.
Jansen lalu menyambungnya. Maksudnya untuk membantu menjelaskan.
"Hukum gerak newton tiga. Setiap aksi akan menimbulkan reaksi."
Shin menggaruk kepala. Ia belum juga mengerti.
"Hey, bodoh! Apakah sayap itu, kau yang membuatnya? Ataukah ciptaan paman?" seru Helen ragu, sembari mengangkat alis kirinya.
Shin terdiam. Dirinya menengadah. Seolah melihat cita-cita yang telah lama ia idamkan. Tergambar nyata di bongkahan awan. Binar mata terpancar. Terdengar helaan nafas berat, sebelum ia menjawab.
"Sejak kecil aku ingin terbang bebas di angkasa. Berbagai macam eksperimen telah di kembangkan. Namun selalu gagal, kemudian aku tak sengaja menonton film animasi tentang peri. Akupun berfikir, 'Apakah peri itu memiliki sayap?' Dari pertanyaan itu, aku mendapatkan inspirasi untuk membuat sayap di punggungku, tanpa di duga, sifat tak mudah menyerahlah yang menentukan hasil. Inilah ciptaan ku,"
Keberhasilan seakan memberi Shin kekuatan, untuk mengatakan nama alat canggih buatannya. Hanya senyum lebar yang terlihat. Selanjutnya adalah suara teriakan yang begitu lantang,
"Fairy Wings."
"Hahahaha." Jansen terbahak. Menurutnya, jawaban itu terlalu kekanak-kanakan, "sejak dulu, kau memang seperti itu. Selalu mengabaikan hukum fisika. Anehnya, pasti berhasil. Mungkin aku harus banyak belajar dari kamu."
Sedang Helen mengibaskan poninya ke belakang. Dia juga merasa aneh dengan jalan pikiran Shin.
"Terbanglah! Jika terus mendengarkan mu, aku akan jadi bodoh sepertimu."
Shin tersenyum lebar. Sebagai tanda ia telah bersiap. Shin menekan tombol merah. Perlahan-lahan api biru di sayapnya semakin membara. Seiring dengan tubuhnya yang semakin terangkat ke atas.
"Fly to the moon." Shin berteriak. Tangannya menunjuk ke langit luas. Lalu iapun meluncur ke udara. Senyum bahagia, tak pernah lepas sampai ia terbang menjauh dari kedua temannya.
"Dasar! Selalu saja menciptakan alat yang di luar nalar," sindir Jansen tersenyum. Rasa bangga terbias. Pemuda itu turut bahagia. Karena kali ini percobaan Shin telah sukses.
Jansen melirik ke arah Helen. Namun, ekspresi wajah gadis itu tampak kusut. Dengan nada bercanda, Jansen mencoba menggoda, "Helen, kenapa kau cemberut? Apakah kau takut, dia melampauimu?"
"Berisikkkk!" ketus Helen mendengus sebal.
Helen terus memikirkan Shin yang sudah terbang jauh di atasnya. Rasa iri tidak bisa di sembunyikan. Bagaimana tidak sayap yang di idamkan para pujangga cinta. Kini telah di ciptakan oleh ilmuwan yang di anggap paling bodoh. Helen yakin, sayap itu akan menjadi kebanggan benua Zealandia. Apalagi di tambah dengan tawa Jansen yang terbahak-bahak. Hati Helen semakin memanas. Dia merasa Jansen bukan hanya mengejek tapi juga menghinanya.
Sesampainya di langit. Shin merasa berada di puncak dunia, dengan tubuh dan jiwanya. Shin mengudara dengan semangat membara. Melayang kemanapun yang ia suka. Tanpa ada sedikit rasa takut akan ketinggian. Dalam 5 menit ia sudah mencapai ketinggian 1472 meter Dengan suhu udara 15 derajat.
Begitu banyak hal yang Shin kagumi. Panorama gedung-gedung tinggi, Hutan hijau yang terbentang di pinggir kota, dan Samudra biru. Pemandangan benua Zealandia terlihat indah bagai lukisan Tuhan. Shin merentangkan tangannya, sembari menghirup desiran angin segar. Rasa lega, puas dan senang atas kerja kerasnya bercampur jadi satu. Pemuda itu berteriak, sangat keras. Seolah sedang mengabarkan pada dunia.
"Aku berhasill! Aku berhasil ...! Yeah." mata Shin berbinar. "Ayah, aku berhasil! Aku telah menjadi ilmuwan seperti yang ayah inginkan. Namaku akan tercantum dalam buku sejarah sebagai ilmuwan penemu sayap."
"Shin Aikins." Ilmuwan itu berteriak, dengan menyebut nama panjangnya.
Kini Shin merasa orang paling bebas di Eksoplanet. Shin melupakan dari mana tempat ia berasal. Bahwasanya, manusia itu berjalan di atas permukaan tanah, bukan terbang di atas langit. Meskipun di langit hanya ada awan. Tapi memiliki rintangan yang jauh lebih berbahaya.
Bayangkan saja jika seseorang terjatuh dari ketinggian 1000 meter.
Akankah Ia selamat dengan badan yang terluka dan tulang yang patah?
Atau mati terbakar dengan tubuh gosong karena terkena sambaran petir?
"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.Bodoh!Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya."Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal s
Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin
"Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t