"Hallo! Aku manusia." Shin menyapa makhluk yang pertama kali dia temui. Sangat ramah. Nampak dari senyum yang mengembang. Seperti seorang yang baru mendapatkan kenalan baru. Burung-burung bangau itu berhamburan. Mungkin terkejut melihat manusia memiliki sayap. Shin berniat menangkap dengan kedua tangannya. Ironisnya, salah satu burung bangau tersebut melompat, dan mencakar wajah Shin. Mengibaskan sayapnya secara kasar lalu burung bangau itu kabur. Wajah Shin seperti tertampar. Shin meringis. Merasakan perihnya luka cakaran yang terkena embusan angin.
Bodoh!
Dengan ekspresi muram dan lesu. Shin meneruskan perjalanan. Hingga menabrak sekumpulan kabut yang banyak mengandung embun air. Tubuh Shin gemetar. Shin menyentuh dan merasakan kelembutan gumpalan putih bagai salju di telapak tangannya.
"Jadi ini awan. Begitu dingin dan sejuk."
Shin bermain-main seperti anak kecil. Meniup-niup dan mendekap. Awan meleleh membasahi sekujur tubuh. Hal sekonyong itu cukup untuk mengobati keperihan luka pada lengan dan wajahnya.
Tiba-tiba terdengar suara pesawat menabrak awan. Sontak membuat Shin menghentikan aktivitasnya dan menoleh. Lagi-lagi seorang tersentak kaget di buatnya. Yakni anak kecil yang sedang menatap keluar dari balik jendela pesawat. Mata dan mulutnya terbuka lebar. Selanjutnya anak itu berseru, dengan nada terpukau,
"Su-super hero! Wow ...."
Shin melambaikan tangan. Tak lupa ia melayangkan senyuman.
"Flyman." Anak itu mengucek-ngucek mata. Ada rasa tak percaya, namun terlihat begitu nyata. Seakan ia sedang memimpikan manusia super yang seringkali tayang di serial televisi. Sayang sekali tontonan itu tidak berlangsung lama. Sebab Shin segera melesat dengan cepat. Lalu menghilang menembus masuk ke dalam bongkahan awan. Anak yang sedang duduk itu lantas berdiri. Menempelkan wajahnya ke kaca jendela. Mencari-cari keberadaan super hero yang tak menggunakan topeng serta jubah kepahlawanan.
Shin semakin penasaran dengan kondisi langit. Meskipun udara makin dingin dan oksigen semakin tipis. Shin tak mengurungkan niatnya untuk terbang jauh lebih tinggi. Shin yakin sayap yang ia buat mampu menjelajahi langit luas. Dengan semangat, ia menambah kecepatan pada mesin turbo jetnya.
Sesaat kemudian ....
Tekanan udara naik dengan cepat.
Jederrrrr
Terlihat pemandangan mengerikan dan juga menakutkan. Shin terperanjat kaget. Dirinya di kelilingi awan hitam, badai hujan dan sambaran petir yang mengamuk. Menerpa dan menyambar dari berbagai arah. Cukup kuat untuk membunuh Shin dalam waktu satu detik.
Shin dalam bahaya. Tak ada yang mampu menolongnya. Shin seperti seekor burung yang terkurung di dalam sangkar hitam. Tanpa ada jalan untuk keluar.
Siapa sangka ilmuwan bodoh itu adalah seorang pemberani. Ia tak gentar sedikitpun. Shin malah bertingkah seperti seorang penantang, yang tampak sombong. Shin berdiri tegap, dengan bertolak pinggang. Terdengar suara tawa yang menggema, selanjutnya ia berseru begitu lantang,
"Awan comulonimbus! Kau kurang kerjaan, ya? Hahahaa."
Seluruh tubuh Shin bergetar dalam kegembiraan. Menikmati kesegaran tetesan hujan es yang mengenai kulit. Di tambah badai tornado berembus kencang. Tiupannya membuat Shin terombang-ambing. Shin tak kalah garang. Dirinya bergerak dengan luwes. Kecepatannya mampu menandingi terkaman halilintar yang menyambar kemana-mana. Layaknya seorang penari yang sedang beraksi di atas panggung pertunjukan.
"Untung saja sayapku ini di lengkapi sensor ultrasonik yang dapat mendeteksi bahaya. Hahahah."
Tepatnya sensor itu menggunakan gelombang suara yang peka terhadap rangsang. Sesuai perintah program agar dapat mengukur jarak antara sayap dan obyek penghalang. Itulah mengapa Shin mampu terbang dengan refleks, dan sigap. Menghindar dengan lihai sebelum listrik bertegangan tinggi hendak menerjang. Bagai kegesitan seekor lalat yang lolos dari tepukan tangan manusia.
Mendadak di tengah keceriaan ....
Gema suara guntur menggeledek. Lecutan petir terlihat seperti cambuk. Dalam hitungan sekali kedipan mata, kilat berdecit hampir menyentuh wajah Shin.
"O, o." Mata Shin membelalak. Menerima serangan tak terduga.
Seketika tubuh Shin membeku. Ia tak bisa mengelak. Sayapnya juga tak berkutik. Akhirnya Shin memejamkan mata. Walau di bawah tekanan yang mengancam hidup. Shin sudah pasrah pada kematian, dengan ekspresi senyum santai.
Bukan tanpa alasan Shin bersikap tenang. Baginya rintangan saat sedang bereksperimen itu sudah biasa. Sebab Shin sudah seringkali merasakan bahaya. Sampai beberapa kali hampir merenggut nyawanya. Apalagi setelah kematian ayahnya, Shin selalu siap untuk mati. Tepatnya 12 tahun yang lalu. Kala itu Shin masih berusia 7 tahun.
"Duaarrrrrr." Listrik menyetrum tubuh Shin. Dentumannya cetar membahana. Kilatan demi kilatan lain menyusul. Hingga akhirnya puluhan aliran listrik mengikat dan menghubungkan tubuh Shin dengan awan comulonimbus. Seolah Shin hilang di telan cahaya yang bersinar menyilaukan. Kendati demikian masih terdengar jeritan kematian yang terdengar. Akan terhenti sampai daging hancur menjadi abu.
"Arrgghh."
Sungguh malang nasib ilmuwan angkuh itu. Entah bodoh atau terlalu sombong membuat ia lupa. Bahwasanya cuaca ekstrim bukanlah lawan yang sepadan untuk manusia.
Kembali ke puncak gunung Rahtawu. Terlihat gadis yang memakai celana pendek. Merenung menghadap awang-awang. Tubuh langsing Helen terbujur, dengan mata tertutup lengan. Ia menekuk kaki kanannya. Hingga tercetak paha mulus yang menggairahkan.
"Jans. Jansen!" Sapa gadis itu berulang kali. Jansen tak merespon. Helen menggerutu, "hufftt. Dia pasti tidur lagi?"
Gadis itu menoleh pada Jansen yang sedang melayang. Tampak Jansen menutup mata, dengan embusan nafas yang teratur. Bak seorang pertapa yang sedang melakukan meditasi. Helen menatap Jansen begitu lama. Rasa heran muncul. Selanjutnya ia bergumam,
"Kenapa dia bisa setenang itu? Apakah dia tak berniat untuk menjadi nomor satu?"
"Nomor satu?" sahut Jansen. Perlahan matanya terbuka. Ternyata dirinya mendengar pertanyaaan gadis itu, "Untuk apa Helen?"
Helen beranjak duduk. Raut wajahnya terlihat murung dan gelisah. Seperti sedang menanggung beban berat.
"Dengan nomor satu kau akan mendapat pengakuan dari para God Father. Mereka akan mengagungkan namamu, bukan hanya di university tapi juga ke seluruh Zealandia. Bahkan sampai terdengar ke segala penjuru Eksoplanet," ungkap Helen tegas.
"Hahahhaha. kau mau saja di perbodohi oleh para God Father. Sebenarnya, Aku tak pernah menyukai pemberian peringkat di Heaven University. Karena hal itu hanya akan membatasi pemikiran kita. Orang bodoh akan semakin bodoh. Sedangkan orang pintar akan semakin pintar. Tapi sebenarnya peringkat itu malah akan jadi beban yang harus di pertahankan oleh sang juara. Seperti yang kau alami sekarang," protes Jansen menyimpulkan kekurangan tempat mereka menuntut ilmu.
"Ta-Tapi--"
Jansen langsung memotong.
"Tapi jika kau sudah menjadi nomor satu. Apa lagi yang akan kau cari Helena Eiffel?"
Pertanyaan Jansen terdengar menusuk. Seakan menjadi belati yang menyayat mental gadis itu, sampai hancur. Helen tertunduk layu, tak menjawab. Dirinya terlihat depresi. Tanpa di sadari, air menetes dari bola mata Helen yang melotot seperti ingin keluar.
"Percuma juga kau berjuang menjadi nomor satu. Jika seiring berjalannya waktu pelakunya berganti. Ilmuwan baru akan dilahirkan. Lalu melengserkan posisimu. Karena kau tau Helen! Kecerdasan itu bukan dilahirkan tapi di kembangkan." Imbuh Jansen menambah.
"Tapi aku juga ingin merasakan nomor 1. Sekali saja. Sekali saja, Jans!" tekan Helen dengan lirih, "selama ini aku ingin di anggap setara dengan Altern. Upaya tanpa rasa lelah telah membuatku menciptakan Fly Ball. Berharap alat ciptaan ku itu dapat bersaing dengan armor titan buatan Altern. Namun, lagi-lagi si bodoh itu malah menciptakan sayap yang lebih canggih. Shin hanya menambah daftar sainganku. Hufftt menyusahkan saja."
"Kalau begitu, kalahkanlah mereka berdua. Setidaknya alasan dan tujuanmu itu lebih terhormat. Bukan karena tuntuntan para God Father. Pemerintah yang malah menjadi sampah masyarakat."
Helen terpaku sadar. Betul juga! Manusia tidak akan pernah kalah, selama masih memiliki otak, batin Helen. Lalu gadis itu menyeka air mata. ia merasa termotivasi. Selain itu ia juga terhibur. Mendengar Jansen mencela para petinggi Zealandia. Menurut Helen, kebencian Jansen mewakili perasaan sebagian penduduk yang menyadari kejahatan para God Father.
Helen tertawa kecil. Menampilkan wajah imut seorang gadis baik hati. Sangat berbeda, dengan ekspresi dingin yang biasa di tunjukan kepada Shin. Selanjunya, Helen berseru, dengan nada bercanda.
"Jangan terlalu keras! Jika mereka mendengarmu, pasti kau akan di bunuh."
"Ta-tapi benarkan?" jawab Jansen tergagap. takut.
Helen mengangguk percaya. Kemudian ia mendongak. Memandang ruang luas yang terbentang di atas bumi. Rasa gundah perlahan surut. Nasehat Jansen telah menenangkan hati. Itulah Jansen. Meskipun tubuh besar membuatnya nampak seram. Tapi Jansen bisa menjadi pendengar dan penasehat yang baik. Terdengar helaan nafas berat, sebelum Helen berkata.
"Kurasa aku harus meningkatkan kreativitas teknologi yang lebih canggih sampai di luar akal sehat manusia." Dengan semringan, gadis itu melepas penat di dadanya.
"Semangat!" seru Jansen mengangkat kepalan tangannya. Selanjutnya ia menambahkan kata-kata motivasi, "Buatlah imajinasimu berjalan liar dengan ide-ide gila. Seperti ilmuwan yang kau anggap bodoh itu. Dia akan terus menciptakan apapun tanpa mempedulikan komentar buruk dari orang lain. Ku rasa dia hanya memikirkan kebebasan untuk berbuat sesuka hatinya. Memang terlihat kurang ajar. Tapi bukankah hidup sesuai dengan keinginan kita, itu akan membuat hati lebih bahagia?"
"Berhentilah membahas si bodoh itu." kesal Helen mendengus kasar. Menurut gadis itu, segala hal cerita tentang Shin seakan merusak moodnya.
"Hahaha. Kenapa?"
"Sebenarnya aku ingin memujinya. Hanya saja tingkahnya itu sangat menyebalkan."
"Hahaha. Kau tau Helen? Jika seorang laki-laki selalu mengganggumu, mungkin karena dia menyukaimu. Atau jangan-jangan dia cemburu melihat kedekatanmu dengan Altern?" pikir Jansen menggoda Helen.
Wajah Helen memerah. Rona malu terpancar. Ia tunduk. Menyembunyikan perasaannya. Seperti ada cinta yang menggebu. Tapi karena keadaan, hati lebih memilih untuk diam.
"Aku curiga kau juga menyukai Shin!" tambah Jansen menebak. "Wow! Cinta segitiga antara ke tiga saudaraku. Hahaha."
Helen tak menjawab. Ia meremas tinjunya dengan kesal. Lalu Helen beranjak berdiri. Ia memberi isyarat pada Jansen melalui gerakan jari telunjuk.
"Turunlah."
Tawa lelaki bertubuh besar itu sudah hilang, di telan ketakutan. Dirinya terpaksa menuruti perintah Helen. Sebab Jansen sadar akan nasib buruk yang menimpanya. Kemudian Jansen melayang di hadapan Helen. Tatapan Helen terlihat kosong. Wajah datar nan dingin menyeramkan. Menciutkan nyali siapa pun yang melihat. Sehingga Jansen memalingkan wajah takut.
"Lebih rendah lagi." Helen hendak melakukan sesuatu. Tapi terhalang oleh tinggi Jansen yang mencapai 2,5 meter. Sedang Helen memiliki tinggi 160 meter.
Detak jantung Jansen berdegup cepat. Seiring dengan tubuhnya yang melayang turun.
"Jansen. Tatap mataku!"
"Ti-tidak mau."
Penolakan Jansen membuat suasana menjadi tegang. Helen melayangkan tangannya. Jansen menutup mata. Meringis ketakutan. Mendadak Helen langsung menerkam pipi tembem Jansen. Jansen merasa risih dengan perlakuan Helen. Tak henti-hentinya tangan Helen meremas, dan menarik seonggok daging lembek tersebut. Hingga raut wajah Jansen berekspresi lucu dan menggemaskan.
Helen berkata, dengan senyum lebar yang menyeringai.
"Padahal aku lebih tua dari mu. Kenapa kamu bisa berfikir lebih dewasa? Gendduutt ...."
"He-hentikan kakak. Nanti Shin melihat kita. Malu tau, udah gede tapi masih di anggap kayak anak kecil." pinta Jansen. Nada Suaranya merengek seperti anak manja.
"Imutnyaaa ...."
"I-inilah kenapa aku tak suka berdiri di depanmu. To-tolong berhentilah!"
Bagitulah. Jika berhadapan dengan saudara perempuan. Sifat lelaki pasti akan berubah menjadi kekanak-anakan. Walau sebelumnya ia tampak berwibawa dan bijaksana.
Helen tak peduli. Ia terus melanjutkan aktivitasnya. Setelah puas ia mengajak Jansen ke suatu tempat.
"Ayo kita ke holycow. Aku akan mentraktir makan daging sapi kesukaanmu."
"Ta-Tapi Shin?"
Helen melepas cubitannya. Helen mengedarkan pandangannya ke gedung-gedung pencakar langit yang mengelilingi kota Zealandia.
"Mungkin dia ke pusat kota."
Jansen menajamkan sorot matanya ke setiap sudut bangunan yang tingginya melebihi puncak gunung Rahtawu. Tak ada tanda keberadaan Shin.
"Kemana dia? Sudah satu jam berlalu. Kenapa belum juga kembali?" tanya Jansen cemas. Dirinya merasakan firasat buruk.
"Tak perlu mengkhawatirkannya. Kau tau sendiri, kan? Selain bodoh, dia juga sangat sombong. Mungkin dia pergi memamerkan sayap itu ke seluruh benua Eksoplanet." jawab Helen santai. Sembari mengistirahatkan lengannya diatas perut.
"Itu tidak mungkin Helen. Uji coba ini tidak mendapatkan izin. Jika Shin nekat melakukan itu. Dia pasti akan mendapatkan hukuman dari ke 5 God Father." balas Jansen semakin gelisah.
Betul juga, pikir Helen. Kemudian gadis itu mencakupkan tangan kanan ke sudut bibirnya. Lalu ia berseru dengan nada teriak.
"Shiinn! Kau di mana!"
Helen dan Jansen bekerja sama. Keduanya, berpencar mencari Shin. Helen masih berada di puncak gunung Rahtawu. Berjalan mondar mandir. Mengamati daerah sekitar. "Sialan! Arrrghhhh ...." teriak Helen kesal. Telapak kakinya menghantam permukaan tanah. Jari-jemarinya saling bertautan dengan telapak tangan dan di tekan bersama. Seolah Helen mengkhawatirkan saingannya itu. Tidak mungkin! "Kemana si bodoh itu pergi? Merepotkan sekali. Bagaimana jika ketahuan oleh para God Father? Pasti aku juga akan terbawa dalam masalah." Lanjut Helen menggerutu sebal. Di sisi lain Jansen melayang ke dasar lembah seluas 2 hektar. Menulusuri ilalang setinggi 2 meter. Jansen mendarat di bawah pohon Akasia. Tepatnya di tengah-tengah padang ilalang yang tumbuh subur. Kedua telapak tangan Jansen berdiri tegak di tepi bibir. Memanggil nama temannya. Suaranya melengking terbawa angin. "Shiiinnnn!" teriak Lelaki berkostum aneh berwarna hitam. Menutupi ujung kaki
Beberapa menit sebelumnya, Shin sedang asik menghayati siluiet yang hadir karena cahaya. Terekam dalam bentuk jasmani. Namun, tidak padat atau tidak cair. Makin lama di amati bayangan itu memunculkan sesosok yang menyerupai manusia dengan bentuk perawakan berbeda. Ternyata itu bukanlah pantulan tubuh Shin. Melainkan sesosok wanita bersayap. Bersetelan serba putih minimalis. Yakni, sehelai kain penutup pusar menjadi penghubung antara kemban dan bawahan yang terurai menjadi beberapa bagian. Penampilan simple tapi oversexed damagenya. Gadis itu mampu menyihir Shin dengan paras natural bak hawa yang di buang dari surga. Shin diam tertakluk untuk beberapa detik. Seumur hidup Shin belum pernah rasanya, bertemu dengan seorang yang nyaris sempurna seperti itu. Bahkan pesona gadis itu mampu mengalahkan kecantikan wajah dingin Helen. Makhluk apa itu? Shin mengernyit heran. Membatinkan tanya dalam nurani. Keraguan bergelayut. Berbagai spekulasi makin lama semakin
"Mi-minggir Jansen!" bentak Helen murka. Semula Helen menganggap Shin sebagai rivalnya. Gadis tersebut tak pernah peduli akan nasib buruk yang menimpa Shin.Tapi kali ini ada yang berbeda dan terasa aneh. Helen seketika menjadi panik sekaligus khwatir. Hatinya melunak. Egonya yang tinggi dilenyapkan. Rasa iri sudah tak di rasakan lagi. Wajar saja Helen merasakan hal seperti itu. Sebab sebagai seorang wanita tentu dia mempunyai hati yang lembut. Apalagi jika dinilai dari sudut pandang manusia, Helen tak mungkin tertawa, di atas penderitaan orang lain. Dimana kecelakaan maut akan segera menjemput. Lagi pula Shin adalah sahabatnya. Kendati demikian Jansen tak mengerti akan hal itu. Bukannya menanyakan apa yang terjadi. Jansen malah mengucapkan kata-kata kasar bernada tinggi, "Jangan hanya karena tindakanmu yang seenak jidat, sehingga menimbulkan banyak korban. Kenapa kau jadi bodoh Helen?" ucap Jansen memperingati, "Apa kau lupa mata itu akan merus
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Gery kembali terbang tepat di hadapan Helen. Berdiri dengan wajah datar tanpa Ekspresi. Gery menatap kedua mata Helen. Tak ada kata yang dia ucapkan. Gadis itu membalas dengan tatapan pasrah. Dengan menggunakan kedua telapak tangan, Gery menyentuh kedua pipi Helen. Helen tak mengelak ataupun merasa risih. Sebab Gery sudah biasa melakukan itu, untuk menghibur Helen yang sedang bersedih. "Ada apa paman?" Gery tak menjawab. Akan tetapi mata Gery memancarkan sinar kemerahan. Sontak membuat pancaran mata biru Helen bersinar lebih terang. Seolah pancaran mata Gery menyerap keluar sinar Trilachonaya milik Helen. Helen bertanya-tanya dengan keadaan matanya yang bersinar tak seperti biasa. Padahal ia tak sedang memberikan perintah pada Trilachonaya untuk mengaktifkan fitur lain. Tatapan kosong Gery, yang seperti menjadi orang lain, membuat Helen semakin bingung. Selama ini Gery tak pernah memandangnya seperti itu. Na
Di Pelataran langit biru Shin telah mencapai ketinggian 35 killometer. Deru nafasnya terdengar memburu. Tubuhnya masih di lapisi butiran Es. Seiring dengan dentuman batuk yang kian meradang. Daya tahan tubuh Shin semakin parah dan melemah, hingga tulang pipi Shin nampak tercetak jelas di wajahnya. Serta bola mata memerah. "Shin kau tidak apa-apa?" tanya Jansen khawatir mendengar Shin yang batuk. "A-air. Aku ingin minum," balas Shin merasakan tenggorokan kering yang teramat sangat haus. "Sepertinya, dia baru merasakan efek dari menghirup langsung gas ozon (O3) sehingga mengakibatkan rusaknya organ pernafasan," imbuh Helen menyimpulkan sembari menggigit jari. Gadis itu menunjukan kemampuannya sebagai seorang dokter. "Kalo di biarkan begini terus kulitnya akan melepuh." Lapisan Ozon berada di dalam lapisan stroposfer pada ketinggian 11-40 killometer. di atas permukaan tan
Gery yang sadar melihat Shin terdesak oleh pertanyaan Helen. Membuat ia berfikir untuk meredam suasana yang menegang. Gery terbang mendekati Helen. Berdiri tepat di depan gadis yang tengah meluapkan kekecewaannya pada Shin. Gery menundukkan kepala. Helen membalas dengan mendongak ke atas. Lantas Gery menyeka kedua mata Helen yang sendu. Seperti biasa ibu jarinya, menembus di mata Helen. Kali ini bukan masalah baginya, sebab Gery hanya ingin menenangkan gadis yang sudah di anggap menjadi menantunya. Serta melindungi Shin. Dengan mengandalkan kepandaiannya dalam berbicara. Gery mengarang cerita tentang perasaan Shin kepada kedua temannya tersebut. "Helen. Kalian adalah 2 orang adik yang sangat berharga untuk Shin. Helen yang bisa di ajak bertengkar. Serta Jansen yang selalu menasehatinya. Shin itu anak yang kesepian, dia butuh kalian berdua untuk mengisi kekosongan di dalam hatinya. Aku tak tau, apa yang aka
Seiring dengan Kapinis 1 yang memutar haluan ke angkasa untuk kembali mengorbit di Eksoplanet. Shin menimpakan segala kesalahan yang ia perbuat kepada kedua sahabatnya. Padahal kesalahan itu terjadi di sebabkan karena keinginan Helen juga Jansen untuk menolong Shin. Hal itu membuat gadis yang sedang bersedih sangat muak dan marah besar. Akibatnya, Helen membuka semua unek-unek yang selama ini di pendam. Tentu semua orang yang mendengarnya, tak cukup nyali untuk membalas. Jangankan Shin, Gery saja yang sangat di hormati di Zealandia, ikut mengalihkan pandangan. Tak berani menatap langsung wajah mengerikan seorang gadis yang sedang marah. Seiring dengan suara keras yang terdengar mengintimidasi. "Bodoh! Gila! Kau menganggap kami seperti itu, Shin? Bukan. Tapi itu karena kau tak pernah menghargai kami sebagai temanmu. Kenapa bisa begitu, Shin? Karena kau terlalu sombong, sampai kau merasa paling hebat. Bahkan malaikat terkadang merasa sayap mereka ter
Tentu saja penampakan yang tiba-tiba muncul juga melayang di udara tersebut, bukan lagi hal yang baru untuk Jansen dan Helen. Mereka berdua tak terkejut ataupun heran. Kendati demikian, saat menyapa sosok Hologram 3D yang mirip dengan ilmuwan yang yang paling di hormati di Zealandia, suara Helen mendadak terbata di akhiri dengan Isak tangis yang pecah. Helen menutupi wajah kesut untuk menyembunyikan kesedihan. "Paman Ai, Shin!" Sontak membuat Gery, terbang mendekati Helen. Dirinya ingin mengusap rambut gadis cantik itu, tapi tangannya menembus kepala Helen begitu saja. Gery terdiam sejenak. Sepintas terlihat tatapan teduh, dengan dua sudut bibirnya melengkung kebawah. Nampak wajahnya yang muram menggambarkan keprihatinan dengan keadaan tangannya, yang tercipta dari partikel cahaya pada udara. Seolah Hologram 3D dapat merasakan rasa sedih sekaligus kecewa seperti halnya manusia. Gery merup
Sekian beberapa detik, Shin menemukan serangkaian cara yang sedikit beresiko. Yakni Shin ingin memanfaatkan gesekan aliran kencang udara untuk mengacaukan kepakan sayapnya, sehingga kedua sayap tersebut akan saling berbenturan. Lalu Shin akan mendarat di laut. Meskipun ia harus bertaruh dengan kematian, seperti biasa Shin tak pedilu. "Ayah ...." Shin bergumam sendiri. Selanjutnya, ia menghela nafas kasar, "Jika aku sampai mati, maafkan aku! Aku tak bisa menjadi ilmuwan seperti yang kau inginkan. Hahaha. Aku tak menyangka aku akan terbunuh oleh alat buatanku sendiri. Tapi sebagai gantinya, akan ku bawakan sayap ronsokan ini sebagai oleh-oleh." Lalu Shin tersenyum lebar Shin meregangkan otot tubuhnya, seraya mengumpulkan keberanian. Kemudian ia menekuk lehernya kebelakang, di susul dengan sentakan kedua lengan ke atas. Shin berteriak sekencang-kencangnya. Tiba-tiba mata Shin menyipit.Mencoba mengenali be
""Aku suka peri, Ayah." ungkap Shin begitu girang. "Peri?" ulang Prof. Aikins terkejut. "Iya Ayah, peri!" tekan Shin lagi. Anak kecil itu masih tetap mengitari ayahnya, sembari merentangkan kedua tangan. Seolah Shin sedang memperagakan cara terbang. "Aku ingin seperti peri. Terbang bebas dengan kedua sayapku, layaknya kunang-kunang itu. Menikmati pemandangan langit biru dari atas." Lelaki paruh baya yang mendengar keinginan anaknya, langsung duduk jongkok. Menatap dalam dan lekat ke tubuh kecil Shin. Melihat hal itu, spontan Shin menghentikan langkah. Lalu melemparkan tatapan balik kepada prof. Aikins. Ada makna tersirat di balik pandangan ayah dan anak yang saling beradu. "Hahahah, Kau memang anakku Shin," Shin mengangguk bangga, sembari mengulas senyum lebar. "Kalau begitu terbanglah, Shin!"
"Selama ini aku terlalu sombong. Aku mengira otakku terlalu jenius. Aku mengira teknologi dapat melawan kejamnya dunia. Namun, pada akhirnya, aku akan mati oleh alat buatanku sendiri," Shin pingsan di emperan langit sayup sunyi. Netra biru terpejam. Kepalanya merunduk sekarat. Sedang otaknya masih berfikir. Seiring dengan embusan angin yang menghempas-hempaskan jubah putihnya. "Kenapa aku malah memikirkan ini? Tidak mau! Tidak mau!" gumam Shin menolak kematian. Dirinya takut hingga gemetaran di cekam sensara. Salju mulai turun. Udara makin dingin. Suhunya mencapai -15 derajat Celcius. Uap air mulai tidak ada. Tubuh Shin membeku. Sebab jubah putihnya terlalu tipis. Hidung Shin mengeluarkan darah, sebagai tanda oksigen di otak berkurang. Mendadak .... Shin berhalusinasi. Shin mendengar suara yang memanggil namanya. Shin tampak mengenal suara itu. Dirinya ingin menjawab, namun bibirnya terasa kaku untu
Di puncak sebuah gedung tinggi. Berdidingkan kaca. Terlihat seseorang laki-laki berkaca mata. Berumur kisaran 40 tahun. Memakai setelan jas rapi berwarna hitam. Dirinya berdiri sembari menatap keluar jendela. Dengan kedua telapak tangan, masuk di saku celana. "Bagaimana? Para Eagle sudah menemukan hacker itu?" tanya lelaki tersebut kepada Hologram 3D yang menyerupai dirinya. Yakni visual 3 Dimensi berwarna biru hasil dari teknologi rekayasa optik. "Sudah tuan," jawab Hologram 3D yang berdiri di depan meja kerja lelaki tersebut. "Ada berapa?" "3 orang." "Lalu kenapa belum di tangkap?" lanjut lelaki itu mendengus dingin. Selanjutnya, ia memutar tubuh. Mendelik tajam pada Hologram 3D. Terlihat visual 3D membalas dengan ekspresi datar, tanpa berkedip. Seketika mimik wajah lelaki itu berubah menjadi sinis. Rasanya Hologram 3D tak pernah puas, jika sehari saja tak membuat tuannya marah. "Posisi mereka t