Arin seorang mahasiswi rantauan dari pulau Sulawesi hidup di Yogyakarta demi mewujudkan mimpi dan mengangkat derajat orangtuanya. Hidup di kota tidak semudah yang dibayangkan. Arin harus bekerja keras demi melangsungkan hidupnya tatkala beasiswa yang diberikan tidak mencukupi hidupnya. Pada kerasnya kehidupan itu, Arin bertemu Adam dan Khan. Dua pria yang mengulurkan kedua tangan mereka demi membantu Arin melewati kesulitan hidupnya. Namun, tidak semudah itu menerima uluran tangan seseorang dalam kehidupannya. Ada banyak hal yang harus di pertaruhkan. Terutama ketika benih cinta Arin perlahan tumbuh pada Adam namun keadaan mengharuskannya menikah dengan Khan. Arin sedang menego cintanya. Berusaha menerima kenyataan akan tebaran cinta Khan yang membanjiri hari-harinya. Cinta Khan yang tulus, cinta Adam yang setia, dan Cinta Arin yang ikhlas bertemu pada satu waktu yang menguras habis tenaga dan pikiran mereka.
View MoreEntah mengapa? Bagaimana bisa? Aku? Atau ini hanya pikiranku saja? Aku merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Entahlah, bagaimana bisa aku berpikir begitu sedangkan takdir yang tertulis pada goresan kenyataan justru kau melangkah jauh dariku. Sangat jauh dariku. Aku masih di tempatku berpijak. Memandang kepergianmu. Entah mengapa? Aku tetap merasakan hal yang sama. Apakah begini akhirnya? Aku merasa kita tidak benar-benar berakhir seperti ini.
Tapi, aku harus bagaimana? Kau semakin jauh, walaupun melangkah ke arahmu. Tidak dapat aku lakukan bukan karena aku tidak ingin tapi tabir di antara kita, kau tahu? Kau yang menutupnya begitu rapat. Tapi kenapa hatiku begitu keras. Aku dengan kehampaan yang kurasakan menyambut tangan yang terulur padaku. Apa kau tahu? Bagaimana bisa aku terlepas dari banyaknya cinta yang ia berikan padaku. Perlahan tanpa ku pinta hatiku belajar mengenalnya, mengkhawatirkan keadaannya. Lebih dari sekedar peduli. Aku! apakah mungkin telah menghapus jejakmu? Aku tak yakin! Dia, terus menebarkan begitu banyak cinta uuntukku dan aku tak bisa begitu saja menepisnya. Bahkan aku tidak ingin kehilangannya tapi mengapa aku masih tetap merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Apakah antara kita benar-benar berakhir?
***
Lelah. Ku biarkan kaki terjulur dan tubuh lemahku bersandar di dinding berwarna hijau muda. Pandanganku menatap langit-langit ruangan. Jika, diamati sepanjang ruangan ini terpajang berbagai gambar buatan tangan anak-anak TK. Dengan luapan beraneka warna dan beberapa pigura foto yang menampakkan wajah-wajah yang dipenuhi senyum kesederhanaan. Mereka terlihat begitu bahagia.
Biasanya saat seperti ini. Ketika matahari sudah mulai beranjak membelah bumi menjadi dua yang artinya tepat berada di titik panasnya. Ruangan ini selalu tampak lengang. Semua penghuninya telah pergi setengah jam yang lalu. Tapi, hari ini sepertinya matahari sedang bersembunyi di balik awan hitam itu.
Perlahan tetes air jatuh lebih lama semakin deras mengguyur. Tetes airnya terlihat ramai menyentuh kaca jendela bening berukuran 2×1 meter yang menghadap jalan. Aku menghela nafas berat. Merasakan sapuan angin hujan masuk melalui ventilasi jendela yang tepat berada di sebelah kiriku.
Kreek…
Suara pintu berderet terdengar dari ujung kaki yang aku julurkan. Letaknya tepat di sebelah kanan jendela besar yang menghadap jalan. Aku memiringkan kepala ke kanan mencari celah demi melihat siapa gerangan yang datang di hari hujan seperti ini? Hanya kepalaku saja yang bergerak tapi tidak beranjak dari tempat dudukku. Terlihat seorang wanita muda menyembulkan separuh tubuhnya.
“Permisi…maaf.” ucapnya kemudian setelah bola matanya menangkap sosokku yang segera menarik kaki untuk duduk sewajarnya. Menegakkan kembali tubuhku yang sedari tadi bersandar di dinding ruangan.
“Yah, silahkan masuk.” ucapku berusaha untuk bersahabat meski terdengar kaku. Hanya selang 3 detik wanita itu telah berada satu meter di hadapanku. Cukup cepat dia beranjak dari posisinya semula.
“Maaf mengganggu, saya…” wanita itu memperbaiki kerudung coklat bergaris-garis merah yang menutup kepalanya. Terlihat bekas-bekas air membasahi sebagian kecil tubuhnya.
“Saya…harus panggil apa. Yah? Ibu?” tanyanya menyelidik. Dia menggeleng ketika memandangku lebih lama. Aku tidak mengerti maksud tatapan itu, tapi aku tidak akan bertanya. Biarkan dia menjelaskan sendiri maksud dari pandangannya terhadapku.
“Sepertinya terlalu tua buat Anda,” sambungnya kemudian.
“Silakan panggil saja yang menurut Anda nyaman.” ucapku yang kemudian di jawab dengan anggukan dan bentukan huruf O seketika dari bibir kecilnya. Tidak ada suara keluar lagi darinya. Hanya terdengar hembusan nafas kecil dari kami berdua dan suara kaki-kaki hujan yang semakin kuat menjatuhkan diri di atap ruangan.
Sesekali aku menoleh lantas memperhatikan wanita di sampingku ini lekat-lekat. Ketika itu kedua matanya sibuk memandangi sekeliling ruangan. Aku baru menyadari bahwa wanita ini memiliki wajah yang teramat cantik bagiku. Kulit wajahnya terlihat bersih dan terawat, hidungnya mancung, bibirnya kecil dengan bola mata bersinar dan pipi yang merona ketika dia tersenyum.
“Namanya siapa?” ucap wanita itu sambil menjentikkan jemarinya di depan wajahku. Aku tersenyum kaku. Sepertinya dia menyadari bahwa barusan aku sedang melamun. Dia tersenyum. Aku senang melihat senyum itu. Senyum yang mudah sekali ditebarkan, sedangkan aku?
“Melamun lagi?” ucapnya menyenggol lenganku.
“Sepertinya kau sedang lelah? Tadi saya menanyakan nama.” Wanita itu menunggu jawabanku.
“M…maaf!” suaraku seperti tenggelam oleh suara hujan.
“Perkenalkan namaku Laudia.” Tangannya menjulur menunggu sambutan dariku. Aku tak pernah bertemu orang yang mudah akrab seperti wanita ini. Satu hal yang begitu aku inginkan. Berbicara nyaman dengan siapa pun tanpa ragu dan tanpa merasa takut atau segala macam pikiran buruk yang tak pernah terjadi.
“Arin.” Hanya itu yang berhasil keluar dari lisanku.
“Arin, nama yang cantik. Senang berkenalan denganmu. Boleh aku tebak kalo kau ini seorang mahasiswi?” ucapnya yang membuat kedua alisku tertaut karena penasaran darimana dia tahu?
“Santailah saja. Aku sudah biasa menghadapi orang sepertimu, bahkan setiap hari selama 5 tahun waktu yang sudah terlewat. Sikapnya bahkan membuatku terlihat bodoh!” Laudia terlihat berpura-pura marah, memainkan kerudungnya dengan ujung jemari. Aku masih belum tertarik untuk berbicara sepertinya dia mengerti.
“Aku seperti melihat dia pada dirimu saat ini.”Aku menggeleng kecil tidak mengerti. Masih tidak berbicara, hanya menatapnya lebih lama dan itu membuatnya tertawa kecil kemudian diam lantas berjalan pelan memandangi gambar-gambar di dinding. Aku mengikuti langkah itu.
“Arin, aku tidak tahu kau memiliki masalah apa? Tapi, apapun yang kau hadapi. Jalan hidup selalu memberikan solusi. Jika bukan saat ini pasti ada di suatu hari nanti. Waktu yang akan memberikanmu jawaban atas beribu tanya. Pasti ada di suatu waktu nanti kau akan mengerti seperti apa kehidupan akan membawamu pergi untuk menemukan setitik harapan yang amat kau inginkan. Semua ini hanyalah tentang waktu dan apa yang tersimpan di sini harus lebih kau pahami dari siapapun!” Laudia menepuk-nepuk lembut dadanya. Tentu dengan senyum yang juga terukir di sudut bibir kecilnya. Aku semakin suka melihat senyum itu.
Juga, sepertinya aku tahu apa yang dia maksud. Mengapa dia berbicara seperti itu padaku? Ada apa dengannya?
“S…siapa?”
“Seorang yang memiliki gaya sepertimu?” ucapnya dengan pandangan yang berbeda. Tatapan matanya terlihat sendu meskipun ditutupi dengan senyum kepura-puraan. Aku tak menjawab pertanyaannya. Kembali kami hanya berjalan kecil mengitari ruangan dan langkahnya terhenti. Aku mengikuti sudut kemana kedua mata berbinarnya itu memandang. Cukup lama dia diam. Menatap lurus pada pigura foto anak-anak dan staf pengajar. Wajah yang menunjukkan senyum kebahagiaan.
“Anakku!” akhirnya Laudia bersuara. Entah apa yang membuat tanganku bergerak perlahan menyentuh bahunya yang terlihat bergetar, mungkin dengan begitu ada hal baik yang telah aku lakukan untuk orang lain dan terekam kuat dalam memoriku. Laudia sedang menangis, aku tahu itu meskipun berusaha ia tutupi.
Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa
Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da
Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti. “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin
Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan. “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi. “Ka
Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu
Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.
Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d
Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada
“Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments