Share

Bab 4

Penulis: Marni Azka
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-10 16:17:45

Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang 

“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.

Jrett…jreet…

Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.

“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.

“Bagaimana?” dia berhenti sejenak, raut wajahnya berubah.

“Tidak masalah Bu.” Dia mengangguk berkali-kali, menyimak ucapan orang di sebrang telepon sebaik mungkin.

“Iya. Pasti bisa, Bu!”

“Baik, Bu”

“Sama-sama Bu.” Arin menutup telepon, dilihatnya Mey dari kejauhan masih menggenggam handphone. Sebuah tas besar diam di sampingnya, ia mondar-mandir tidak tenang sambil berbicara dengan seseorang di seberang telepon, sesekali menggigit ujung kukunya. Sebal dia tidak dijemput langsung Bu Surti, ditambah lagi Arin datang terlambat menjemputnya.

Bu surti yang sedang sibuk menyusun berkas-berkas ikut gusar karena ulah putrinya. Karena pecah konsentrasinya hampir saja data-data warga yang masih hidup ia masukkan dalam arsip warga yang meninggal. Dibujuknya Mey selembut mungkin, masih dengan nada bataknya yang khas. Bu Surti tahu sekali watak putri semata wayangnya itu. Kerasnya hampir menyerupai gunung es Arin, meskipun baginya gunung es Mey lebih mudah mencair. Jika ia mengeluarkan jurus merayu tingkat dewa.

“Tunggulah sejenak Nak, sebentar lagi Arin datang, Kau…” belum selesai bu Surti berbicara, Mey sudah menutup teleponnya. Dipandanginya Arin dengan sorot mata elang yang sedang kelaparan.

Arin melangkah tanpa berkedip, dibalasnya tatapan Mey, tidak tajam pun juga tidak teduh, lebih tepatnya hampa, kosong. Mey yang memandang tepat pada manik mata Arin seakan terhipnoti. Tatapan tajam Mey justru meredup. Emosinya mereda. Ujung matanya mengikuti langkah Arin mengambil tas besar di samping posisinya berdiri. Mey mengambil kasar tas gendong yang dia letakkan di  kursi. Masih kesal ia, tapi orang yang berada di hadapannya tidak dapat dengan mudah menjadi pelampiasan kekesalannya.

“Kenapa telat?”

“Mengurusi hal yang kau benci.” jawab Arin sambil melangkah pergi. Mey diam ditempatnya, mengepalkan tangan dan meninjukannya di belakang Arin. Sayang, tinjuan itu hanya menyentuh angin. Arin menoleh, Mey cepat-cepat menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

“Mau pulang ke rumah atau kembali masuk kereta?” Arin memiringkan sedikit kepalanya ke sebelah kanan menunggu jawaban, tentu saja dengan wajah tanpa bersalahnya. Mey melangkah gontai, diikutinya langkah wanita menyebalkan dihadapannya itu.

Arin melangkah kembali, dilewatinya seseorang yang sedari tadi mendengar percakapan mereka. Sapu tangan itu menghadang langkah Arin, seperti pagar, sekaligus sebuah tangan menghadang. Ditatapnya ketus seorang pria tepat di samping kanan ia berdiri. Menanyakan maksud tanpa berkata-kata.

“Ambillah!” ucap pria itu tanpa basa-basi.

“Untuk apa?”

“Kau membutuhkannya!”

“Kau saja ambil. Aku tidak butuh!” Arin menghindar dari tangan yang masih menghadangnya dan melangkah secepat mungkin. Hari ini, hari yang paling ia tunggu. Mengapa banyak hal yang memancing sesuatu yang mati dalam dirinya kembali hidup. Kenapa? Dia benci, benci pada dirinya sendiri.

***

Jalanan siang itu cukup macet. Jam menunjukkan pukul 10.00 pagi. Panas matahari tidak dapat mendinginkan mobil yang sudah full AC. Berkali-kali Mey mengipas-ngipas wajahnya dengan tangan. Bunyi klakson membahana di tengah kota. Banyak hal yang ingin dilakukan, setiap orang punya tujuan masing-masing yang harus segera dilaksanakan dan yang terpenting adalah terbebas dari macet. Tidak seperti hari biasa, macet kembali mewarnai jalan.

Arin mengangkat sedikit kepalanya, melihat mobil membentuk barisan layaknya pasukan pengibar bendera. Dia menarik nafas berat. Berbalik arah tidak mungkin, karena di belakang sudah dihadang kendaraan lain. Hanya sepeda, atau motor yang dapat bergerak menyelip diantara kemacetan.

“Kau punya SIM bukan?”

“Baru sebulan yang lalu, kenapa? Jangan bilang…!” Mey menutup mulutnya tidak percaya. Arin sudah keluar mobil menuju sumber kemacetan.

“Hei…hei…tunggu! Hei…Dasar! Wanita aneh.” omel Mey, terpaksa merangkak berpindah ke tempat duduk Arin. Suara klakson beserta omelan di belakang mobilnya tak memberi kesempatan lebih lama untuk mengumpat Arin.

Bunyi klakson mobil terus membahana, sahut-menyahut di sepanjang jalan. Jauh di depan sana sebuah motor dan gerobak sampah beserta sampah-sampahnya berserakan di tengah jalan. Semua terjadi begitu cepat, sebuah pohon tua tumbang ke tengah jalan dan menghantam sebuah sepeda motor dan gerobak tukang sampah. Tidak ada polisi, masih dalam perjalanan menuju lokasi. Jadilah, warga sekitar yang memenuhi jalan dan membantu seadanya.

Tidak ada korban jiwa tapi satu motor hancur dan pengendaranya dilarikan ke rumah sakit karena mengalami luka yang cukup parah. Sedangkan pemilik gerobak sampah itu, nasibnya juga tidak begitu baik. Arin memperhatikan kerumunan orang. Tampak di tengah kerumunan seorang kakek yang kakinya sedang terluka, duduk dengan wajah pasrah. Dia menolak dibawa ke rumah sakit. Orang-orang sudah membujuknya tapi dia bersikeras tidak mau pergi ke rumah sakit. Diobati pun dia enggan.

Dimarahinya semua orang yang berusaha mendekat meski sekedar ingin melihat keadaannya. Mereka akhirnya menjaga jarak. Kaki kakek itu terluka cukup parah. Darah mengalir segar dilutut, dan kepalanya terbentur benda keras, mengalirkan darah kental di pelipis. Miris orang-orang melihatnya. Pakaiannya compang camping, bertambal sulam di mana-mana. Baju kaos putih tulang yang ia kenakan tak nampak lagi warna putihnya bercampur debu dan darah. Tangannya lecet dipenuhi luka goresan. Dia tetap bergeming, ditatapnya hampa gerobak sampah yang rusak parah, lebih parah baginya kerusakan gerobak itu daripada dirinya sendiri. Itulah sumber kehidupannya, bagaimana bisa ia mengobati dirinya sedang harapannya saja telah hancur di depan mata.

Arin yang sedari tadi berkeliling mencari warung untuk membeli air, perban, obat luka, sesegera mungkin menyelinap di antara kerumunan orang. Tepat dia berdiri di hadapan kakek memegang keresek dan minuman. Diaturnya dulu nafas yang tersengal-sengal. Kakek itu menatapnya tajam, bibirnya bergetar bersiap meluapkan amarah. Benci dia pada orang yang hanya berusaha menolongnya tapi tidak dengan gerobaknya. Arin membalas tatapan kakek, sama seperti sebelumnya. Tatapan kosong, hampa membuat bingung lawan yang menatapnya. Arin memperlihatkan sebuah kartu.

“Kakek lihat ini!” kakek menatap kartu dan wajah Arin bergantian, tidak mengerti maksud Arin.

“Saya menggunakan ini kemanapun saya pergi saat berkendara, tapi saat ini dan detik ini juga aku akan membuangnya!” Arin melempar SIMnya ke tengah jalan. SIM itu tergeletak di sana bersama gerobak tua yang setengah hancur. Bukan hanya kakek itu yang terperanjat, orang-orang di sekeliling mereka menatap aneh pada wanita asing di hadapan mereka.

Bab terkait

  • The Wall In My Heart   Bab 5

    “A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-10
  • The Wall In My Heart   Bab 6

    Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-13
  • The Wall In My Heart   Bab 7

    Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-13
  • The Wall In My Heart   Bab 8

    Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-17
  • The Wall In My Heart   Bab 9

    “Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat. Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-17
  • The Wall In My Heart   Bab 10

    “Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-21
  • The Wall In My Heart   Bab 11

    Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-26
  • The Wall In My Heart   Bab 12

    Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d

    Terakhir Diperbarui : 2021-11-01

Bab terbaru

  • The Wall In My Heart   Bab 18

    Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa

  • The Wall In My Heart   Bab 17

    Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da

  • The Wall In My Heart   Bab 16

    Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti. “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin

  • The Wall In My Heart   Bab 15

    Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan. “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi. “Ka

  • The Wall In My Heart   Bab 14

    Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu

  • The Wall In My Heart   Bab 13

    Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.

  • The Wall In My Heart   Bab 12

    Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d

  • The Wall In My Heart   Bab 11

    Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada

  • The Wall In My Heart   Bab 10

    “Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera

DMCA.com Protection Status