“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.
“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.
“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya
“Asal kakek berjanji mau aku obati!”
“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.
“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”
“Kau…!” kakek itu tidak dapat menghentikan gesitnya tangan Arin membersihkan luka di lutut, tangan, dan kepalanya. Kemudian memberi obat luka dan membalutkan perban ditambah sentuhan terakhir memberikan kakek minuman.
“Minumlah Kek! Pasti kakek kehausan habis berteriak-teriak memarahi semua orang.” Setengah berbisik Arin mengingatkan “Kakek sudah tua, jaga kesehatan!” Kakek memandang wanita dengan kulit kusam itu. Wajah kusam karena goresan tinta panasnya mentari dan gores lelah. Namun wanita ini memiliki senyum yang indah, tatkala ketulusan hatinya mendorong garis bibirnya melengkung sempurna, seperti setetes embun di pagi hari. Ada ketenangan tersendiri ketika melihatnya, kakek bersyukur dalam hati. Meskipun masih enggan lisannya mengucapkan terimakasih.
Tidak peduli dengan sekelilingnya, Arin beranjak menuju tengah jalan. Polisi sudah tiba di sana dan dengan cepat dapat mengevakuasi pohon besar dan rantingnya yang ikut berserak bersama sampah, sepeda motor dan gerobak sampah. Arin menunduk, tangannya terlambat. Ada tangan lain yang terlebih dulu mengambil kartunya.
“Ambillah!” Arin kenal suara itu.
“Aku tidak memintamu mengambilnya, jadi aku tidak akan mengucapkan terimakasih!” Arin mengambil kartu itu tanpa menatap lawan bicaranya.
“Tidak masalah. Aku yang berterimakasih!” Arin memperlambat langkahnya yang menjauh dan membelakangi lawan bicaranya.
“Terimakasih untuk pelajaran hari ini!”
“Pria aneh!” suara Arin hanya didengar angin, mengangkasa dan menghilang begitupun dengan sosoknya yang hilang di tengah kerumunan orang.
Jalanan kembali normal, Mey segera mengedipkan lampu mobil pada Arin yang berjalan lurus di tepi jalan. Mengisyaratkan agar dia berjalan lebih cepat. Jenuh Mey melewati macet, sendirian di dalam mobil yang panasnya mungkin bisa memasak telur. Segera saja Arin memasuki mobil yang menunggunya di tepi jalan. Kembali memegang stir mobil. Kali ini, dia yang akan membawa mereka kembali pulang.
Mobil melaju di jalan-jalan kecil Yogya. Mereka bisa bernafas lega, akhirnya langit dinaungi awan yang berarak sehingga rasa gerah sedari tadi agak berkurang. Beberapa orang nampak beristirahat di pelataran masjid dan surau-surau. Melepas lelah bekerja setengah hari. Jiwa mereka butuh mendapat asupan baru untuk kembali melanjutkan kehidupan yang terus menuntut untuk dijalani. Meskipun sulit, harus tetap dijalani. Itulah yang terpintas dalam benak Arin ketika melewati waktu yang bayangannya berdiri tegak sama dengannya.
***
Terkadang dunia terasa kejam
Di antara satu, dua anak manusia
Menghentak pijakan bumi
Menatap langit tak bertiang
Tetap sama, tak berbeda
Langit tetap di atas
Bumi tetap di bawah
Beriringan di jalur alam
Terpisah memang terlihat mata
Tapi mereka sama adanya
Apalah arti pengorbanan
Tanpa untuk apa pengorbanan
Apalah arti berbagi
Tanpa untuk apa berbagi
Ketika luka masih basah
Jangan salahkan masa
Bukan karena waktu berlalu
Tapi hati yang teramat lemah
Yoygakarta, 3 September 2010
Arindia Nazrina Hawa
Di tutupnya buku kecil bersampul biru langit. Anak-anak sejak 15 menit yang lalu bertebaran di sekitar TK. Banyak permainan yang mengusik akal mereka untuk mencoba. Memanjat jaring laba-laba, ayunan, jungkat-jungkit, jembatan, tiang gantungan. Semua permainan telah sesuai SOP.
Ada yang berebutan memainkan satu permainan. Ada yang asyik bercerita sambil bermain ayunan. Sesekali diselingi tawa.a Beberapa anak nampak saling berkejar-kejaran. Sudah wataknya, mengganggu dan mengusili teman yang lain. Di balik kaca putih yang memisahkan kelas dengan dunia luar, Arin memperhatikan anak-anak yang sedang berlarian dan bermain dengan wajah ceria. Kali ini Arin tidak keluar kelas seperti biasanya. Hanya guru-guru lain yang menjaga anak-anak atau ikut bermain bersama. Ada tugas lain, yang harus ia kerjakan. Tugas dari kepala sekolah. Meskipun tanpa di suruh dia juga akan tetap mengajukan diri.
Hanya sesekali Arin melihat anak-anak di luar kelas. Perhatiannya telah tersita lebih banyak pada satu anak di hadapannya. Seorang anak kecil berusia 5 tahun. Wajahnya bulat, bola matanya seperti boneka, pipinya berisi seperti roti yang sudah matang dan rambutnya hitam panjang melewati kerudung orange yang dikenakannya.
Anak itu lebih banyak menunduk. Dilihatnya saja buku gambar dihadapannya. Kotak pensil warna dengan 24 variasi itu dibiarkan terbuka. Pemiliknya tidak tertarik menggunakan. Anak itu hanya merapatkan tangan dan dagunya di atas meja, memandang papan tulis dengan gambar buah apel, jeruk, anggur dan pisang. Jika diperhatikan lebih dekat, mereka memiliki kesamaan. Pandangan kosong, hampa. Tatapan yang membuat bisu sesaat, lidah keluh, amarah mereda, dan kenyamanan. Sulit diartikan, karena semua menyatu dalam satu rasa.
“Sovie…” Anak yang dipanggil itu tidak menoleh. Bola matanya saja yang bereaksi, merespons dengan cepat. Lagi, dia tidak tertarik. Arin mengelus lembut kepala Sovie. Sudah 15 menit berlalu, dibiarkannya saja anak itu bermain dengan pikirannya. Masih beradaptasi.
“Bermain?” Sovie menggeleng pelan.
“Menggambar?” Sovie menggeleng pelan. Matanya tertumbuk pada pensil warna di hadapannya. Arin melihat ada respons meski sangat kecil kemungkinan.
“Mewarnai?” bola mata Sovie membesar. Sebentar saja, bola mata itu kembali mengecil.
“Tidak apa-apa. Biar Umi saja yang bermain, menggambar dan mewarnai!” Arin menyeringai. Berusaha masuk pada dunia Sovie.
Diambilnya rubrik dan menghamburkannya di atas meja. Hanya untuk pelengkap saja. Aneh terasa meja anak yang begitu sunyi dengan permainan. Pensil warna yang sedari tadi menunggu untuk digunakan sekarang satu persatu secara bergantian berada di tangan Arin. Setelah membuat sketsa buah di atas kertas gambar, tangannya dengan lincah menyulap kertas putih dengan hamparan gambar buah berwarna warni. Mulutnya komat-kamit menjelaskan setiap gambar serta manfaat setiap buah.
Sovie mengangkat kepalanya, memegangi ujung kertas. Jiwa anaknya terstimulus dengan baik. Arin masih menyisakan satu dua gambar yang belum terwarnai. Sovie tidak lagi memegang ujung kertas tapi perlahan menariknya. Dia tidak puas melihatnya dari jauh. Arin menggeser pensil warna
lebih dekat kepada Sovie. Tak butuh waktu lama, tangan kecil itu mengambil pensil warna berwarna merah. Digoresakannya pada salah satu gambar, buah apel. Dia hanyut dalam gambarnya, tidak sadar bahwa anak-anak yang sedari tadi bermain di luar telah memenuhi ruangan. Pelajaran terakhir berkumpul di aula utama, semua anak bergabung menyanyikan lagu-lagu gembira sambil bertepuk tangan. Tidak tahu menahu, di antara mereka satu anak dengan dunianya sendiri.***
Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem
Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g
Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su
“Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat. Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?
“Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera
Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada
Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d
Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.
Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa
Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da
Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti. “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin
Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan. “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi. “Ka
Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu
Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.
Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d
Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada
“Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera