Share

Bab 2

Author: Marni Azka
last update Last Updated: 2021-09-10 16:12:32

“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.

“Sekarang dia di mana?”

“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. Begitu yang kutahu dari teman-temanku di kampus ketika mereka berinteraksi denganku.

Sebenarnya gedung ini tidaklah besar. Hanya terdapat beberapa ruangan kecil untuk proses belajar mengajar dan tersedia pula 1 ruangan khusus untuk menyambut tamu. Tidak besar. Tapi cukup untuk menampung seperangkat sofa beludru merah dengan motif bunga-bunga mawar berukuran kecil, serta meja persegi panjang berwarna senada. Ditambah satu vas bunga hias yang berwarna-warni di letakkan  di atasnya.

Ruangan ini hampir sama seperti ruangan panjang sebelumnya. Dinding berwarna hijau dihiasi pajangan gambar-gambar berpigura. Hanya saja, dalam ruangan terdapat sebuah lemari yang cukup besar. Lemari kaca yang terdiri dari 4 tingkatan dengan lebar 1,5 meter dan tingginya mencapai 2,5 meter. Lemari kaca seakan dengan angkuhnya menonjolkan warna-warna keemasan dari piala-piala yang bertengger rapi di dalamnya.

“Minumlah.” Aku memberikan segelas air untuk Laudia. Setidaknya wanita yang menangisi anaknya ini membutuhkan sebuah energi baru. Bagiku, mungkin segelas air putih cukup.

“Terimakasih, Arin.” Laudia menerima gelas yang kuberikan padanya lantas meminum air itu perlahan.

“Kau pandai beramah tamah, Arin.” Laudia meletakkan gelas kosong di atas meja, lantas kembali tersenyum. Wanita ini suka sekali menebarkan keceriaannya. Iri. Aku sungguh iri tidak menjadi pribadi sepertinya. Aku ingin seperti wanita ini, yang mudah sekali berbaur bahkan pada orang baru yang dikenalnya.

Laudia perlahan berdiri, kembali melihat sekeliling ruangan, sesekali Laudia menunjuk gambar sedangkan aku hanya mengikuti kemana langkahnya akan membawa. Aku kembali mengingat saat pertama kali gambar-gambar itu dibuat.

Sekitar 50 anak berkumpul di lapangan sekolah membawa perlengkapan menggambar. Ada pensil warna, buku contoh-contoh untuk menggambar, buku gambar, cat minyak hingga kuas untuk melukis. Apapun yang mereka ingin gunakan untuk menggambar, semua diperbolehkan. Mereka bebas berkreativitas. Hasilnya dapat dibayangkan? Beraneka gambar tertuang dalam selembar kertas gambar. Mulai dari pemandangan, matahari, gunung, bulan, bintang, hewan, tumbuhan, bunga, rumah, sekolah, kantor-kantor, masjid, hingga manusia. Lantas, dapat dibayangkan bagaimana kualitas gambar mereka?

Aku mengatakan tidak terlalu buruk. Gambar mereka bagus. Sesuai dengan usia mereka. Seusia mereka, anak TK sangat wajar menggambar kaki manusia yang lebih besar dari kepala, kepala lebih besar dari bahu, jari-jari tangan yang seperti lidi, matahari berevolusi menjadi bentuk kotak dengan warna yang masih tetap sama, setidaknya mendekati warna orange atau kuning. Wah, Itu bagus. Yah, kelak mereka akan belajar dari kesalahan itu. Entahlah! Disuatu waktu nantinya. Mungkin, di saat mereka telah tumbuh dewasa, mereka akan bangga pada gambar yang telah tangan mereka ukir saat masih kecil. Karena saat itulah  mereka telah menjadi dirinya sendiri, diri yang bebas berkreasi dan berimajinasi. Saat ketika masa depan perlahan mulai terangkai. Diawali masa dahulu yang menghantarkan pada masa-masa selanjutnya dalam kehidupan seseorang, begitu seterusnya. Sebuah benang merah yang saling bertautan.

            Puas melihat sekeliling ruangan, aku mengajak Laudia duduk. Meskipun dengan penolakan halus Laudia sebelumnya, segelas air putih kembali aku sediakan di atas meja bersanding dengan pudding cokelat yang dibawa oleh salah satu orangtua murid yang suka sekali memasak. Tadi, pudding itu aku simpan dikulkas yang ada di dapur sekolah.

Laudia mengeluarkan secarik kertas dan menyerahkannya kepadaku. Kertas itu telah berpindah tangan. Aku membacanya lamat-lamat. Aku sudah terbiasa menerima berbagai macam keterangan tentang siswa yang akan belajar di kelas. Segera aku melipat kembali kertas itu dan meletakkannya di atas meja.

“Saya akan pelajari lagi di rumah, Laudia.” Aku mengusap wajah yang terasa cukup panas. Padahal di luar sangat dingin. Sekilas membaca secarik kertas itu cukup menguras sisa-sisa tenagaku.

“Haruskah aku kembali masuk ke dunia itu? Mampukah aku? Meski sudah lama, tetap saja aku tidak tahu seberapa kuat aku saat ini? Tapi aku juga tidak mungkin membiarkannya.” Batin Arin.

“Iya Rin, saya berharap kamu bisa memahaminya.” Laudia berkata lemah, pandangannya lurus pada lemari berisi piala. Ahh! Betapa luar biasanya piala itu. Siapa yang tidak bangga melihatnya. Aku menatap simpatik. Laudia memainkan jemarinya seperti orang yang sedang gugup sambil menunduk, senyumnya menghilang seketika meski sesekali ia tetap tersenyum, namun senyum itu lebih karena ia paksakan.  Aku tak lagi melihat keceriannya. Hanya wajah sendu dari seorang ibu yang rapuh.

“Aku tahu kau tidak akan bertanya. Tapi aku akan tetap memberitahumu alasan kenapa aku kemari.” Laudia menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Laudia menatapku lekat, berusaha sekuat mungkin kembali dapat berkata-kata seperti sebelumnya.

“Aku…ini bukan pilihanku Rin, tapi pilihannya!” Laudia menatap secarik kertas yang terlipat di hadapan Arin. Kertas itu, kertas yang sebelumnya Arin baca. Sebuah kertas yang dalam sekejab mengganti suhu tubuh seseorang. Bagaimana bisa? Apa yang tidak mungkin di dunia ini. Bahkan bulan pun telah ada yang pijak padahal ia jauh berada di luar bumi ini. Maka, tersenyumlah! Begitulah bumi mengajarkan suatu hal pada anak manusia.

***

Pergantian waktu di mulai, malam kini sampai pada ujungnya. Tidak banyak kesibukan di hari ini. Bagi Arin inilah 1 hari dari sekian banyak hari yang dapat ia gunakan untuk istirahat. Hari Jum’at. Itulah hari istimewanya. Dia selalu menganggapnya begitu. Bukan hanya karena ia dapat beristirahat, tapi baginya hari Jum’at adalah hari yang spesial, ada nuansa tersendiri yang diberikan Jum’at pada 24 jam waktu dalam sehari. Istimewa, nuansa itulah yang menemaninya sejak dulu, saat ia masih begitu dini untuk mengerti tentang waktu.

            Sejak pukul 04.00 dini hari Arin sibuk dengan hafalannya. Dia tidak beranjak dari sajadah yang terjulur di samping kiri tempat tidur. Mulutnya komat-kamit mengulang bacaan. Dia masih mengenakan mukena setelah meletakkan media hafalannya yang bertulis Rabbani pada sambil bukunya. Diletakkannya di atas meja kecil di sebelah kanan tempat tidur. Di meja itu berjajar buku-buku bacaan, mulai dari berbagai buku berkaitan dengan bisnis, bidang yang sedang ia geluti di kampus, menginjak tahun ketiga yang berarti semester 6. Ditambah lagi buku penunjang wawasan berupa sastra, geografi, biografi tokoh-tokoh dunia, astronomi,  fisika, rumus-rumus kimia, pendidikan anak, psikologi, hingga resep memasak. Semua buku itu penting, menurut Arin.

Related chapters

  • The Wall In My Heart   Bab 3

    Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu. Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.Tok…tok…tok…Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ke

    Last Updated : 2021-09-10
  • The Wall In My Heart   Bab 4

    Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang“Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.Jrett…jreet…Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.“Bagaimana?&rdq

    Last Updated : 2021-09-10
  • The Wall In My Heart   Bab 5

    “A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu

    Last Updated : 2021-09-10
  • The Wall In My Heart   Bab 6

    Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman. Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem

    Last Updated : 2021-10-13
  • The Wall In My Heart   Bab 7

    Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g

    Last Updated : 2021-10-13
  • The Wall In My Heart   Bab 8

    Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su

    Last Updated : 2021-10-17
  • The Wall In My Heart   Bab 9

    “Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat. Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?

    Last Updated : 2021-10-17
  • The Wall In My Heart   Bab 10

    “Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera

    Last Updated : 2021-10-21

Latest chapter

  • The Wall In My Heart   Bab 18

    Hari pertama mengajar les di rumah Laudia. Arin tersenyum samar ketika mentari pagi menyiram wajahnya yang gelap. Perlahan kakinya melangkah menuruni anak tangga. Terlihat satu dua penghuni kos sedang sibuk berolahraga. Akhir pekan adalah waktu yang sangat tepat untuk mengisi hari dengan segala aktivitas yang mungkin tertunda di hari-hari sibuk.Arin memutuskan membawa sepedanya, melewati jalur yang biasa ia lewati. Pemandangan hijau oleh sawah yang mulai berbuah menambah indah perjalanan Arin dengan mengayuh sepeda hijaunya. Rencananya sepeda itu akan ia titipkan di sekitar jalan besar. Di mana Arin dapat menemukan angkutan umum. Arin sudah mengantongi alamat Laudia, ibu Sovie.Arin mengenakan baju berwarna hijau tua dengan warna kerudung yang senada. Di pinggir jalan Arin sedang menunggu angkutan umum. Lima menit lalu dia sudah menitipkan sepedanya hingga tengah hari nanti. Tentu saja, Arin harus membayar beberapa rupiah karena telah menitipkan sepedanya di sebuah tempat baru. Siapa

  • The Wall In My Heart   Bab 17

    Arin mengayuh sepedanya menuju kampus. Hari ini ia memiliki jadwal konsultasi skripsi. Itu artinya ia akan kembali berjumpa dengan Khan, dosen pembimbingnya. Arin hanya memakai bedak tipis di wajah kusamnya. Tidak ada perawatan yang berarti di wajah Arin. Membiarkan wajah itu bertemu sapa setiap hari dengan terik mentari yang seakan hendak membakar kulit ketika panasnya tepat berada di atas ubun-ubun kepala. Tapi sebelum itu, Arin singgah ke TK. Arin memiliki jadwal bertemu dengan orangtua Sovie, Laudia. Kedatangan Laudia ke TK adalah bertemu dengan Jane dan Arin demi membahas perkembangan belajar Sovie. Dari kejauhan TK itu sudah terlihat. Arin mempercepat kayuhan sepedanya. Terlihat anak-anak mulai ramai bermain di sekitar TK. Ada yang bermain jungkat jungkit, bermain ayunan, memanjat tebing kecil, meniti tali dan berbagai permainan yang biasanya ada di TK.Arin mendorong pagar kayu dengan cat berwarna-warni setinggi pinggang orang dewasa. Sontak saja ketika melihat Arin da

  • The Wall In My Heart   Bab 16

    Lagi. Hujan mengguyur kota Yogya. Seketika tanah yang kering menjadi basah. Arin menengok jendela kaca, menatap langit yang gelap oleh awan hitam yang menutupi. Kaca terlihat berembun oleh hawa dingin yang mulai menjalari kulit hingga menusuk tulang. “Sepertinya hujannya akan lama.” Lirih Arin dengan pandangan masih lurus menembus kaca putih yang memperlihatkan tetes hujan yang terus menjatuhkan tubuhnya tanpa henti. “Iya Umi, hujannya pasti lama. Kita tidur di sini saja, Umi?” Sovie menanggapi ucapan Arin tanpa beralih sedikitpun dari crayon-crayonnya. Sovie, gadis kecil itu sibuk mewarnai buku bergambar yang belum diwarnai. Arin mendekati tubuh mungil itu. Menatapnya lembut, mengusap kepalanya. Arin tidak pernah menyangka secara perlahan Sovie mulai membuka diri pada Arin. Meski pun masih sulit berinteraksi dengan teman-teman seusianya, setidaknya Sovie telah menunjukkan sedikit kemajuan yang dapat membuatnya tetap bertahan di TK itu, di tempat Arin

  • The Wall In My Heart   Bab 15

    Senja telah datang dari ufuk barat, menyembunyikan sinar mentari di kaki langit. Kepakan sayap burung datang berbondong-bondong hingga hanya sisa dua, tiga saja yang terlihat. Perlahan kepakan sayap itu seperti siluet saja di antara warna jingga langit. Kesunyian masuk kemudian menyelinap lembut bersama hembusan angin yang menenangkan juga menentramkan. “Baru pulang?” Arin menengok di sekelilingnya. Jelas sekali dia mendengar suara seseorang. Tapi, tak ada siapa pun di sekitarnya. Meninggalkan wajah Arin yang pias, meskipun dia berusaha tetap tenang. Langkahnya semakin cepat, khawatir dugaannya memang benar. Dia takut kejadian yang sama terulang kembali. Meskipun sudah cukup lama berlalu. Tetap saja, terkadang rasa takut itu menyelinap tanpa permisi. “Ka

  • The Wall In My Heart   Bab 14

    Di sudut pulau sebelah selatan Sulawesi. Di sebuah kampung yang cukup jauh dari kota Makassar, Pak Rais memperbaiki jaringnya di teras rumah kayu. Sedang istrinya Mak Edah sibuk menjemur ikan hasil tangkapan kemarin. Ikan diberi es dan direndam dalam air garam. Jaring-jaring hitam terhampar di halaman depan rumah. Cukup luas. Sekitar 5×6 meter luas hamparan jaring hitam di depan halaman. Jaring itu dapat dipindahkan, karena ia berada pada tiang-tiang kayu berbentuk meja yang dapat di angkat pada tempat yang mendapat langsung cahaya matahari.Di kampung itu, rumah-rumah warga dibangun memanjang atau melebar. Saat kita baru tiba di sana, mata akan terbiasa melihat ruang tamu yang luas tanpa kursi, ataupun meja. Hanya ada hamparan tikar memanjang atau melebar. Suku di kampung itu mayoritas Bugis Mandar. Pekerjaan mereka, sebagai nelayan atau pengrajin rotan. Tidak banyak anak yang sekolah di sana, mereka sibuk membantu orangtua mereka melaut, atau masuk hutan mencari kayu

  • The Wall In My Heart   Bab 13

    Matahari semakin terik. Keringat semakin lembap membasahi gamis Arin. kerudungnya pun ikut basah oleh keringat di wajah. Matahari tepat berada di atas ubun-ubun kepala, menyengat sekali. Sepeda hijau itu melaju di jalan yang sebelah kanan dan kirinya terhampar hijaunya sawah. Nampak para petani beristirahat di pondok mereka, melepas lelah mencangkul, membersihkan sekitar sawah, menggarap tanah baru yang siap ditanami bibit padi baru.Sejauh mata memandang di tengah hamparan terdapat satu, dua orang-orangan sawah yang sengaja dibuat untuk mengusir hama burung pipit yang meresahkan petani. Jika padi mulai memunculkan benih hijau ditangkainya mulailah hama-hama berdatangan. Belum sempat padi matang, burung-burung sudah memanen terlebih dulu. Hama-hama itu amat meresahkan para petani.Arin melambaikan tangannya saat melewati pondok. Ada Bu Saripah sedang menikmati makan siang bersama suaminya Pak Rasidi. Melihat pasangan petani itu Arin teringat Bapak dan Mamak di kampung.

  • The Wall In My Heart   Bab 12

    Udara pagi melenggang, menyapu hamparan padi yang mulai meninggi. Sejauh mata memandang, hamparan hijau sawah membentang di sebelah kanan dan kiri jalan yang dilewati Arin. Sesekali dia menekan bel sepeda jika melewati sekelompok ibu-ibu membawa barang dipikul di kepala atau di jinjing. Asyik ibu-ibu itu berbincang tentang sawah, pertanian, hingga sekolah anak-anak mereka.Sesekali juga Arin berpapasan dengan sekelompok petani yang sedang membawa cangkul menuju sawah yang cukup jauh. Arin mengangguk sambil berlalu. Angin menyibak lembut kerudung merah maronnya. Wajahnya yang tak terawat itu terlihat lebih bersih, segar dan cerah seperti mentari.Keadaan pasar saat libur lebih ramai dari biasanya. Beberapa tenda-tenda baru didirikan untuk meletakkan barang dagangan. Mereka pedagang yang tidak menetap. Artinya selalu berpindah tempat. Tergantung di mana lokasi pasar akan ramai. Ada banyak pasar di kota. Itulah santapan baik bagi pedagang berpindah.Arin menyibak d

  • The Wall In My Heart   Bab 11

    Pagi ke sekian. Sinar matahari pagi menerobos tirai jendela jatuh di lantai keramik, memantul. Tak banyak aktivitas warga kost Bangsal di pagi Minggu. Beberapa penghuni yang mayoritas mahasiswi lebih memilih terdampar di pulau kapuk untuk waktu yang tidak ditentukan. Itu adalah bukti pelampiasan padatnya aktivitas kampus 6 hari yang baru saja tenggelam.Namun, tetap ada beberapa mahasiswa lain sedang berolahraga ria di halaman kost seperti Mila, Riana, Dian, Puput, Jumi dan Susi. Mereka mahasiswa se-angkatan dengan Arin sekaligus teman satu Fakultas dengan jurusan yang berbeda-beda. Sejak pukul 05.30 pagi mereka berkumpul di taman depan kost. Kemudian melakukan pemanasan, berlari-lari kecil keliling taman. Sesekali bercengkrama tentang aktivitas kampus, baik tentang organisasi yang diikuti, tugas kampus hingga menjalar ke tukang bersih-bersih kampus.“Ahh, itu pikiranmu saja Mila! Tidak ada

  • The Wall In My Heart   Bab 10

    “Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera

DMCA.com Protection Status