Home / Romansa / The Wall In My Heart / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of The Wall In My Heart: Chapter 1 - Chapter 10

18 Chapters

Bab 1

Entah mengapa? Bagaimana bisa? Aku? Atau ini hanya pikiranku saja? Aku merasa antara kita tidak benar-benar berakhir. Entahlah, bagaimana bisa aku berpikir begitu sedangkan takdir yang tertulis pada goresan kenyataan justru kau melangkah jauh dariku. Sangat jauh dariku. Aku masih di tempatku berpijak. Memandang kepergianmu. Entah mengapa? Aku tetap merasakan hal yang sama. Apakah begini akhirnya? Aku merasa kita tidak benar-benar berakhir seperti ini.Tapi, aku harus bagaimana? Kau semakin jauh, walaupun melangkah ke arahmu. Tidak dapat aku lakukan bukan karena aku tidak ingin tapi tabir di antara kita, kau tahu? Kau yang menutupnya begitu rapat. Tapi kenapa hatiku begitu keras. Aku dengan kehampaan yang kurasakan menyambut tangan yang terulur padaku. Apa kau tahu? Bagaimana bisa aku terlepas dari banyaknya cinta yang ia berikan padaku. Perlahan tanpa ku pinta hatiku belajar mengenalnya, mengkhawatirkan keadaannya. Lebih dari sekedar peduli. Aku! apakah mungkin telah menghapu
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more

Bab 2

“Kau memiliki hati yang lembut Arin, aku tahu itu! Bahkan sejak pertama kali aku melihatmu.” Aku tak menanggapi, bukan karena tak tertarik tapi aku sama sekali tidak ingin membahasnya. Aku, hanya mampu menepuk-nepuk lembut bahu Laudia. Wanita ini baru saja menasehatiku, seakan ia begitu kuat namun ternyata semua tersimpan rapi dalam kenangan luka yang membuatnya terus menahan airmata. Rasa bersalah, benci pada diri sendiri mengendap lama dalam dirinya. Aku mengerti, bahwa nasehat yang barusan ia sampaikan tidak sepenuhnya diberikan untukku. Nasehat itu lebih tepatnya ditujukan untuk dirinya sendiri, ibu yang sedang berusaha menjadi wanita terbaik bagi anak dan suaminya.“Sekarang dia di mana?”“Di rumah, bersama ayahnya.” Singkat. Laudia hanya menjawab singkat dengan senyum kecil yang masih terus ia pertahankan berada di sudut bibirnya. Aku ikut tersenyum samar, mungkin jika dilihat langsung aku hanya memasang wajah tanpa ekspresi. B
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more

Bab 3

Di dunia ini, banyak hal yang tidak kita ketahui. Hampir semua yang ada disekeliling berkaitan dengan berbagai hal yang juga tidak semua kita ketahui. Karena itulah, tanpa ilmu seseorang tidak akan mampu mengatasi suatu masalah dengan tepat. Tidak pernah ada salahnya membaca buku yang tidak ada sangkut pautnya dengan keilmuan yang digeluti. Keadaan. Awalnya keadaan yang memaksa begitu. Karena realitas kenyataan mengharuskan seseorang menghadapinya dengan ilmu.            Secarik kertas menyembul disela-sela sebuah buku yang tersusun terbalik, nampak sebelumnya kertas itu diletakkan buru-buru di salah satu halaman buku. Buku Diagnosis gangguan kejiwaan. Kertas itu, ujung jari Arin menyentuhnya, bergetar hebat, tapi lengannya terus mendorong jemari itu mendekat.Tok…tok…tok…Spontan jari Arin berhenti, getaran ditangannya juga hilang. Dia menoleh pada pintu kecil arah barat daya. Suara ke
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more

Bab 4

Bergegas ia melihat hamparan manusia yang berjubel di depan pintu kereta. Wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi meskipun ia sering mengucapkan “permisi” atau “maaf” karena menerobos masuk di antara orang-orang yang berlalu lalang “Kenapa hari ini stasiun begitu ramai?” ia membatin.Jrett…jreet…Getaran handphone mengalihkan pandangan Arin. Dia sudah melihat Mey memegang handphone 20 meter dari posisinya. Arin sempatkan mengambil handphone hitam berukuran kecil dari saku bajunya. Handphone yang sangat ketinggalan zaman. Sapu tangan birunya ikut keluar, jatuh mulus ke lantai stasiun. Seseorang mengambilnya, berteriak tertahan di tengah orang-orang yang berjubel. Berharap pemiliknya menoleh.“Wa’alaykumussalam, iya Bu?” Arin berhenti melangkah. Salah satu tangan menutup telinganya. Ia tidak bisa mendengar dengan jelas, pembicaraan seseorang di seberang sana.“Bagaimana?&rdq
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more

Bab 5

“A...apa yang kau lakukan? Kau akan dalam kesulitan jika membuangnya. Ambil cepat. Ambil!” kakek itu berseru-seru.“Kenapa kakek memperdulikan sebuah kartu? Itu hanya sebuah kartu, Kek! Tidak cukup berarti dibanding nyawa. Bukan karena kartu itu saya berada dalam kesulitan. Tapi sepenuhnya berada di dalam diri saya sendiri. Ketika saya berpikir sulit maka kehidupan akan membuat saya kesulitan, namun ketika saya melihat harapan di antara kesulitan maka selalu ada jalan keluar. Apakah pikiran saya salah, Kek?” kakek menggeleng lemah, seperti ayunan daun yang tertiup angin.“Tapi tetap saja, kau membutuhkan kartu itu. Cepat ambil kartumu!” kakek berseru-seru dengan suara rentanya“Asal kakek berjanji mau aku obati!”“Anak ini!” kakek itu mengancam Arin dengan gertakan kakinya yang luka dan matanya yang memerah.“Aku tidak akan pergi kemanapun sebelum tugasku selesai.”&ldqu
last updateLast Updated : 2021-09-10
Read more

Bab 6

Udara pagi masuk melalui ventilasi jendela kamar. Sinar mentari telah memasuki ruang yang gelap berganti cahaya yang menebarkan senyum bunga yang merekah indah di taman.  Seperti sapuan hujan pada gersangnya tanah yang tandus, seketika memberi harapan pada kehidupan yang berjalan tanpa setitik jejak yang menunjukkan akan kemana sebuah kisah akan bermula.Matahari masih malu-malu keluar dari peraduannya, tapi ayam terus berkokok, mengusik jiwa yang masih terlelap dalam buaian mimpi. Sudah menjadi tradisi di sekitar kota Yogya, masyarakatnya disibukkan bekerja di pagi-pagi buta. Ada yang bersiap berangkat ke ladang, sawah, berolahraga, memotong rumput, memberi makan ternak, memasak, membaca koran, membuka toko hingga memperbaiki antena TV di atas genteng.Sebuah sepeda hijau menemani pemiliknya mengarungi jalan-jalan kecil menuju pasar. Di depan sepeda itu ada keranjang berukuran sedang, cukup meletakkan beberapa  barang di dalamnya, dan sisanya diikat pada tem
last updateLast Updated : 2021-10-13
Read more

Bab 7

Pertemuan usai setelah 2 jam berlalu. Adam dan Khan menuju pasar kembali. Khan yang mengajak Adam.“Kau harus mengikutiku kali ini Dam, kau tidak akan menyesal.” Khan bersemangat. Wajah khas arab-indianya tampak berseru-seru setelah melihat yang dia tunggu-tunggu selama 2 hari kembali ada di depan mata.“Baru datang Bu?” tangan Khan memegang bungkusan makanan yang bergantung di depan warung.“Iya, Nak Khan. Ibu sudah simpankan milikmu, tunggu sebentar!” Adam tidak begitu tertarik dengan ucapan Khan sepanjang perjalanan karena sibuk memotret sekitar pasar. Tapi dia sedikit terusik dengan keakraban Khan dengan ibu itu. Sepertinya Khan sering datang kemari.“Apakah seperti dia tipemu?” Adam berbisik menggoda. Bu Minah dengan terseok-seok berdiri bersama tubuhnya yang cukup bongsor. Dia tak mendengar percakapan dua pria di depan warungnya yang menjalar kemana-mana. Khan menyentil pelipis Adam, kesal dia dengan g
last updateLast Updated : 2021-10-13
Read more

Bab 8

Disudut kota Yogya. Di sebuah kamar berukuran cukup besar dan dipenuhi foto-foto pemandangan juga sebuah foto yang baru di ambil sebulan yang lalu. Sebuah pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Sambil membersihkan kameranya Adam menyanyikan sebuah lagu sahabat dari Ali Sastra. Sesekali dia bersiul, melihat kameranya menghadap matahari. hal itu dilakukannya untuk memudahkan mendeteksi dimana letak debu-debu nakal yang menempel.Kamar Adam yang berada di lantai dua dan tidak terhalangi oleh bangunan apapun atau pohon apapun mampu membuat mata melihat jelas matahari pagi yang mulai menyengat. Adam melirik jam di atas meja kecil di samping tempat tidurnya, pukul sembilan lewat tiga puluh menit. Handphone Adam berdering mendendangkan lagu yang ia nyanyikan sebelumnya. Tertera Bunda Sovie.“Kenapa, Mbak?” tanya Adam.“Mbak ada meeting dadakan di kantor Dam, jemput Sovie yah. Ini sudah waktunya dia pulang sekolah. Dia pasti su
last updateLast Updated : 2021-10-17
Read more

Bab 9

“Wanita ini?” batinnya. Guru Sovie menunduk dan memegang tangan Sovie.“Jemputan Sovie sudah datang, jadi sekarang Umi pulang yah?” guru itu kemudian bersiap mengambil sepeda hijaunya yang terparkir di luar pagar. Sovie meraih tangan gurunya, sang guru segera menoleh, memandang Sovie tidak percaya.“Besok Sovie mau gambar balon, Umi!” guru Sovie mengangguk, tanpa kata. Sulit dia berkata-kata saat itu. Sovie? Apa yang membuat anak itu akhirnya mau bicara? Bukan hanya Arin yang terkejut Adam juga sama. Setahunya, tidak pernah Sovie berbicara pada orang asing. Bahkan Laudia saja kesulitan. Anak itu begitu dekat dengan Adam. Selama ini, bersama Adam lah sisi lain Sovie terlihat.            Arin menghentikan langkahnya saat menuntun sepeda. Dia berbalik arah. Berhenti tepat di hadapan Sovie dan juga Adam. Arin mengulurkan tangannya, meminta sesuatu.“Apa?
last updateLast Updated : 2021-10-17
Read more

Bab 10

“Lah anak laki-laki itu kerjaannya harus jelas, Dam! Kau dapat apa dari memotret? Hemm?” logat jawa Saras, ibu Adam memecah keheningan di ruang keluarga. Ada ayah Adam, Laudia beserta suaminya dan juga Sovie yang semenjak datang mengikuti langkah Adam. Om dan keponakan itu melihat-lihat foto yang berhasil diabadikan dalam kamera.“Di kantormu apa tidak ada lowongan, La?” sahut ayah Adam. Laudia menggeleng. Sedang orang yang dibahas tidak ingin ikut dalam pembicaraan itu. Bukan sekali dua kali ayah dan ibu mereka membahas hal yang sama. Paling-paling Adam menghentikan pembicaraan dengan mengatakan “Do’akan saja Adam dapat gambar yang bagus dan unik ibu,” kemudian menoleh pada ayahnya “dan ayahku tercinta!” beserta bujukan manjanya. Kedua orangtua Adam saling pandang saja melihat tingkah anak bungsu mereka.“Atau ayah jodohkan saja dia, biar dewasa, Yah!” celetuk Laudia asal. Adam segera
last updateLast Updated : 2021-10-21
Read more
PREV
12
DMCA.com Protection Status