“Tidaaak!” Semua orang berteriak ketika melihat seorang anak menyeberang dengan ceroboh demi memeluk Rani.
“Apa kamu tidak apa-apa?” Rani terlihat pucat dan memeriksa si anak dengan teliti.
Matilah kauuu! Kalau sampai ada apa-apa dengan anak ini, bisa berabe nanti.
Lagian kenapa sih, ni anak tidak ada yang mengawas!
Rani menggerutu di dalam hati sembari celingak-celinguk mencari orang tua anak tersebut.
“Mamaaah, huhuhu ...” Si anak menangis dengan memeluk erat Rani.
“Tidak-tidak, Saya bukan_”
“Fania Albarani! Apa yang kamu lakukan!” Doni berdiri dengan nafas ngos-ngosan.
Dia berteriak dan menatap tajam pada sang anak yang bernama Fania
“Kamu membuat semua orang kawatir! Apa kamu ingin membuat Papah mati mendadak!” Dia pun menarik Fania dengan paksa.
“Tidak! Fania ingin dengan Mamah, Papah jahat! Pokonya Fania ingin dengan Mamah!” Fania memeluk erat Rani yang dia panggil Mamah.
“Fania! Apa kamu ingin Papah_”
“Maaf, Pak. Bisa bicara dengan lembut, kasihan anaknya kesakitan.” Rani yang sejak tadi terdiam, mencoba mengingatkan.
“Apa urusannya denganmu! Dia itu anak Saya, jadi ini tanggung jawab Saya!” Doni membentak tanpa tahu situasi.
Mimpi apa aku semalam, sampai di bentak orang tidak dikenal, karena menyelamatkan bocah yang hampir tertabrak!
Dikira mamahnya, lagi! Apes banget aku hari ini.
Rani kembali menggerutu di dalam hati sembari terus menatap Doni yang ngeyel.
“Fania! Cepat lepaskan, ikut Papah, sekarang!”
“Tidak mau, Fania ingin bersama Mamah. Fania tidak mau bersama Tante jahat!” Fania semakin erat memeluk.
“Fania! Mamah kamu itu sudah_”
Akhirnya Rani merasa kesal dan semakin kesal lagi ketika dengan tidak hormatnya, Doni malah memeluk dan meminta melepaskan anaknya.
“STOP!” Rani berteriak dan menendang kaki Doni dengan penuh kemarahan.
“Kamu!” Doni tersulut emosi dan hendak menampar.
“Apa! Anda ingin menampar Saya karena kesalahan Anda sendiri!” Rani menatapnya garang dengan tangan memeluk si anak yang mulai gemetaran karena ketakutan.
“Aduuuh, maafkan Tante, ya, Nak. Bukannya Tante ingin membentakmu.” Rani memenangkan Fania dengan mengusap kepala.
“Lihat, nih! Anaknya sampai gemetaran ketakutan! Dasar orang tidak becus!”
Doni terkejut, karena baru pertama kali ada orang yang berani mengomelinya dengan tajam terkecuali istri dan Mamihnya.
Dia ingin marah kembali, tapi ketika melihat interaksi Rani pada Fania anaknya, akhirnya dia terdiam.
“Fania anak baik, kan?”
Fania mengangguk dan tetap memeluk Rani dengan erat.
“Kalau begitu, Fania bisa lepaskan Tante? Tante sakit lehernya, tidak bisa bernafas. Apa Fania ingin_”
“Tidak! Fania ingin terus seperti ini, Fania takut, nanti Mamah pergi lagi!” Fania memeluk semakin erat.
Rani menghembuskan nafas perlahan dan kembali membujuk.
“Tidak sayang, Tante tidak akan pergi, coba tanyakan pada Papahmu?” Rani melihat Doni untuk meminta bekerja sama, tapi ...
“Fani!” Doni malah memeluk dengan cepat ketika mata mereka saling beradu pandang.
“Ternyata kamu benar-benar masih hidup. Ke mana kamu selama ini, Sayang. Aku dan Fania terus merindukan kamu.” Pelukannya semakin erat.
“Heeey! Apa yang Anda lakukan!” Rani meronta dan akhirnya bisa terlepas setelah menggigit tangan Doni.
“Hey, Tuan jelek! Apa Anda kesurupan? Mencari kesempatan dalam kesempitan! Nama Saya Rani, bukan Fani!”
“Kalian!” Rani menatap 3 orang berbaju hitam, “ini, Bos kalian, bukan?”
“Iya, Nyonya.”
“Seret dia ke mobil dan bawa anak_”
“Fania ingin bersama Mamah!” Fania kembali memeluk Rani dengan kuat.
“Nyonya, eh, Nona ...”
“Panggil saja Saya Rani.”
“Baik, Nona Rani, bisakah Anda ikut saja bersama kami?”
Rani menggaruk pelipis, sebenarnya dia tidak ingin mempunyai masalah, tapi ketika melihat tatapan orang-orang dan kesedihan Fania, akhirnya dia ikut pergi.
Untung hari ini aku libur. Jadi tidak meresahkan!
Hati Rani kembali berbicara sembari naik mobil dengan susah payah karena Fania tidak mau lepas.
Sesampainya di rumah Fania, Rani menatap tidak percaya karena ternyata Fania bukan anak orang sembarangan.
“Fania! Apa kamu tidak apa-apa, Sayang?” Mawar menghampiri dan hendak memeluk.
“Jangan mendekat, wanita ular! Kamu hanya ingin Papah dan tidak_”
“Fania!” Suara menggelegar itu kembali terdengar, membuat Fania merapat ke arah Rani.
“Jaga bicaramu! Jangan sampai Papah_”
Rani yang sudah kesal, karena dari tadi Doni terus membentak anaknya, langsung menatap dengan permusuhan dan berkacak pinggang.
“Anda itu laki-laki apa perempuan! Cerewet banget! Dari tadi teruuus, saja mengomel!”
“Hey, dia anak Saya, jadi_”
“Memangnya siapa yang bilang Fania anak Saya! Dasar lambe beo! Pantas saja anaknya ingin kabur!”
“Apa kamu bilang!”
“Apa, membentak lagi! Mau tampar, nih!” Rani menyodorkan pipi dengan ujung mata menatap tajam.
Semua orang terkejut karena melihat Tuan yang selama ini jarang bicara, malah saling adu mulut dengan wanita yang baru mereka lihat.
Kembali semua orang terkejut ketika melihat wajah Rani yang sama persis dengan Nyonya muda mereka.
“Minggir!” Rani menyenggol tubuh tinggi Doni, “Fania sayang, Tante minta minum, ya. Seret nih, haus.” Rani mengusap tenggorokan dengan satu tangan menggenggam tangan Fania.
“Ini semua gara-gara si lambe beo!” Rani menatap Doni dengan ujung matanya.
“Mamah mau minum? Ayo masuk, di lemari pendingin banyak minuman. Nanti Fania pilihkan kesukaan Fania dan Papah.” Fania menarik Rani, melewati Mawar, wanita yang hendak memeluknya tadi.
“Siapa yang mengizinkan kamu membawa orang asing masuk rumah?” suara itu kembali terdengar, membuat Rani terdiam.
“Bagaimana kalau dia komplotan pencuri penggasak rumah, apa kamu tidak takut, Fania?”
Rani mengepalkan tangan dan bergumam, “Dasar Tua bangka jelek!” dia melepaskan tangan Fania dan berbalik menatap Doni dengan permusuhan.
“Hey, Tuan Jelek! Kalau Saya perampok, ngapai Saya ikut kesini! Cari cara yang elegan dong, buat cari duit! Contohnya, Saya bawa saja Fania, dan minta tebusan. Toh Fania sendiri yang mendekat, atau ... bisa saja Saya jual dia, enakkan!” Rani menyeringai.
Doni terkejut ketika mendengar penuturan Rani.
“Kamu!”
“Kenapa, takut! Kalau tetap tidak percaya, perintahkan bawahanmu membawa minum! Saya benar-benar haus. Atau, jangan-jangan di sini minum harus bayar!”
“Mamah, ini minumnya.” Fania menyodorkan sebotol air yang bertabur bulir jeruk yang menyegarkan, membuat Rani semakin kehausan.
“Aduuuh, Fania memang baik. Tidak seperti_ eeeh, apa yang Anda lakukan!” Rani terkejut ketika botol itu berpindah tangan dan airnya habis tidak tersisa.
Rani menelan ludah dan terlihat sedih, dia benar-benar haus.
“Anda menghabiskan minum Saya?”
“Siapa bilang itu minum kamu?”
“Tapi Fania mengambilkannya itu untuk Saya. Apa Anda tidak melihat, tadi Fania memberikannya pada Saya?”
“Mungkin.”
Rani mengepalkan tangan kesal, “Kembalikan minuman Saya! Karena itu Fania yang memberikannya!”
Doni malah menaikkan alis, “Tetap saja itu punya Saya, karena Sayalah yang berkuasa di sini, jadi, tanpa persetujuan Saya tidak boleh ada yang minum!”
“Apa! Dasar orang tua aneh! Minta minum saja harus pake acara drama, bilang inilah, itulah. Bilang saja, TIDAK BOLEH Dari tadi! Minggir!” Karena kesal, Rani mendorongnya kuat dan melangkah pergi.
Rani memutuskan untuk mencari minum di warung terdekat saja. Dia hendak pergi,
“Mamah mau ke mana?” Fania memeluk Rani.
“Mau beli minum, Fania mau ikut?”
“Tidak boleh!” sebelum Fania menjawab, Doni sudah terlebih dahulu menentang.
“Kalau begitu, Tante pergi_”
“Tidak, Fania ingin bersama Mamah!”
Ya ampuuun, sebenarnya ini kenapa, aku hanya ingin minum.
Rani menggerutu di dalam hati.
“Kamu harus tetap di sini, Fania. Bagaimana kalau dia menculik_”
“Hey, kalau begitu, cepat Saya minta minum! Anda ini kenapa sih, Saya membawa Fania karena ingin membeli minum, tidak boleh. Minta minum pun malah di habiskan sendiri.”
“Saya tidak kenaapa-apa dan memang Saya tidak mengizinkan siapa pun mengambil milik Saya! Kecuali_”
“Kecuali_” Rani mengerutkan kening. Baru kali ini dia menghadapi orang macam ini, benar-benar merepotkan.
“Cepat, kecuali apa!” Rani menatap tajam.Doni tersenyum menatap Rani yang kebingungan.Melihat ke arah mana mata Doni, Rani langsung menyilangkan tangan. Andai Rani tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik tadi dia bawa saja anak itu dengan alasan pergi ke dokter.“Hey, cepat katakan!”Rani menarik nafas, mencoba tenang dan menunggu apa seterusnya yang akan Doni katakan.“Kecuali kalau kamu jadi istri saya.”“APA!” Rani terkejut.Begitu pun dengan semua orang yang ada, karena kata-kata itu bermakna kan “Ayo kita menikah.”Mereka tidak percaya dengan apa yang Doni si Tuan mereka katakan, karena selama ini Doni tidak pernah menyinggung tentang pernikahan. Bicara pun seperlunya.Rani mencoba menormalkan detak jantung dan kembali menatap tajam Doni.Dasar Orang Tua aneh!Itulah ungkapan hati Rani dan kalutnya. Dia mencoba menarik nafas perlahan.“Apa Anda bilang? Kalau Saya jadi Istri Anda! Untungnya untuk Saya apa? Lagian, ya, masa mau minta minum saja harus jadi istri!” Rani menggele
Semua yang ada di sana, terutama orang tua Doni pun Doni sendiri terkejut dengan apa yang terjadi pada wanita yang bernama Rani itu.“Apakah benar, Fania baru bertemu dengan wanita itu, Don?” Wanita paruh baya berbisik.“Yang Doni tahu, itu memang benar. Karena setiap saat Fania di jaga oleh pengasuhnya dan dia terus mengabari semua yang Fania lakukan.”“Tapi sepertinya_”“Mamah ...,” Terdengar Fania siuman.Rani yang mendengar itu langsung mendekat, menggenggam tangannya.“Ya Sayang, Mamah di sini. Apa ada yang sakit?”Fania mengangguk dengan lemas tapi terlihat senang karena Rani ada kembali di sampingnya.“Kamu harus kuat! Mamah percaya kamu pasti bisa sembuh seperti biasa, dan kita akan pergi ke taman bermain setiap hari.” Rani mengusap kepala Fania yang terbalut perban.Tidak lama seorang dokter masuk dan melihat keadaan Fania dengan penuh kehati-hatian.“Kamu memang anak yang kuat! Om bangga, padamu.”Rani menatap sang dokter, wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah papah Fania
Rani menatap ke depan, melihat hamparan kota yang penuh lampu yang berkelap-kelip. Untung dia ada di lantai 3 jadi bisa melihat pemandangan yang tidak mau dia lihat ulang lagi, karena ini ada di rumah sakit.“Anda pernah bilang, kalau Anda yakin, istri Anda masih hidup. Jadi, bilamana itu terjadi benar, dan kita masih dalam ikatan pernikahan, apa yang akan Anda lakukan?”Doni terdiam, dia tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya akan berpikir sejauh itu.“Apa Anda akan langsung membuang Saya? Karena kebutuhan diri Anda sudah ada yang mengisi kembali, atau ... Anda akan tetap bersama Saya yang mungkin waktu itu telah mengandung benih dari Anda.”Doni semakin dibuat terdiam. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, karena dia pikir itu tidak akan terjadi sebab mereka menikah dikarenakan Fania dan tidak akan ada cinta di dalamnya.“Saya tidak bisa munafik, mungkin saja berbagi peluh akan Saya minta, walaupun menikah tanpa cinta. Lagian, cinta dan suka akan tumbuh dengan se
Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”Doni mengerutkan kening,“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”“Maksud kamu?”“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.“Jangan _”“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Don
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp