“Cepat, kecuali apa!” Rani menatap tajam.
Doni tersenyum menatap Rani yang kebingungan.
Melihat ke arah mana mata Doni, Rani langsung menyilangkan tangan. Andai Rani tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik tadi dia bawa saja anak itu dengan alasan pergi ke dokter.
“Hey, cepat katakan!”
Rani menarik nafas, mencoba tenang dan menunggu apa seterusnya yang akan Doni katakan.
“Kecuali kalau kamu jadi istri saya.”
“APA!” Rani terkejut.
Begitu pun dengan semua orang yang ada, karena kata-kata itu bermakna kan “Ayo kita menikah.”
Mereka tidak percaya dengan apa yang Doni si Tuan mereka katakan, karena selama ini Doni tidak pernah menyinggung tentang pernikahan. Bicara pun seperlunya.
Rani mencoba menormalkan detak jantung dan kembali menatap tajam Doni.
Dasar Orang Tua aneh!
Itulah ungkapan hati Rani dan kalutnya. Dia mencoba menarik nafas perlahan.
“Apa Anda bilang? Kalau Saya jadi Istri Anda! Untungnya untuk Saya apa? Lagian, ya, masa mau minta minum saja harus jadi istri!” Rani menggeleng tidak percaya.
“Dengar, ya, Tuan lambe beo, Saya itu hanya minta minum satu gelas, bukan minta warisan satu Hektar. Lagian, tidak mungkin Saya mau menjadi istri Tuan Arogan seperti Anda!”
“Kalau begitu, sepertinya kamu harus tetap menahan hausmu sampai_”
“APA!” Rani terkejut, tidak percaya dengan apa yang Doni ucapkan.
“Apa Anda orang waras!”
“Selama anak Saya aman, itu tidak masalah.” Doni pergi santai tanpa beban.
Sedangkan Rani, terdiam. Dia sungguh tidak habis pikir dengan Doni yang pergi tanpa menghiraukan dirinya yang kehausan.
“Sebenarnya ini keluarga macam apa, sih!” Rani menyugar rambut dan kembali berkacak pinggang.
“Hey, Tuan. Sebenarnya apa sih maksud Anda menghalangi Saya untuk minum? Apa Anda takut kalau Saya punya penyakit, atau, Anda ingin balas dendam pada Saya? Tapi, apa salah Saya?” Rani mendekat dan menatap si Tuan yang berhenti melangkah.
“Saya heran, apakah di sini tidak ada lagi hati nurani?” Rani mengetuk dadanya dengan menatap, “tidak sedikit pun merasa iba pada orang lain?”
Doni terkejut, karena kembali ada orang yang berbuat tidak sopan dan orang itu masih sama dengan yang tadi, Rani. Wanita yang begitu mirip dengan istrinya.
“Kenapa diam? Apakah itu_”
“Saya tidak melarang Anda untuk minum, tapi Saya tidak mengizinkan orang asing untuk mengambil milik Saya.”
“Aaah!” Rani mengacak rambut dan kembali berkacak pinggang, “Anda memang tidak melarang, tapi secara tidak langsung, Anda melarangnya karena Anda tidak mau membujuk Fania untuk lepas dari Saya.”
“Jadi?”
Rani mengentakkan kaki, “coba Anda bujuk Fania supaya tidak mengikuti Saya, ini haus banget!” Rani mengusap tenggorokan yang mulai terasa serat.
Dan Aku bisa pergi dengan segera tanpa berhubungan dengan keluarga aneh ini lagi!
Rani kembali meracau dalam hati, dia tersenyum ketika melihat si Tuan menghampiri anaknya.
“Faniaaa, sekarang Fania ikut_”
“Tidak! Fania ingin bersama_”
“Fania!”
Rani melotot tidak percaya ketika Doni dengan entengnya memanggul Fania seperti karung beras dan membawanya masuk.
“Sekarang kamu bisa pergi. Antarkan dia ke mana pun tujuannya.” Ucap Doni pada bawahannya.
“Baik, Tuan. Mari Nona, Saya antarkan.” Sopir yang tadi, mempersilahkan Rani kembali masuk mobil untuk pulang.
Rani mengangguk dengan mata masih melotot dengan mulut sedikit terbuka, tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Sebenarnya dia merasa sedih, tapi rasa ingin pergi dan haus terus mendorongnya untuk kabur.
“Ya ampuuun! Bisa-bisanya aku berurusan dengan orang aneh dan arogan seperti itu!” Rani mengacak rambut dan menghembuskan nafas kasar.
“Sebenarnya, Tuan Doni itu orang yang baik, Nona. Tapi dia berbuat seperti itu karena sudah tidak tahan dengan sikap Nona Fania yang sering membangkang. Tapi_” Si sopir tersenyum.
“Saya baru melihat kembali, Tuan Doni penurut pada perempuan selain pada Nyonya Tua setelah Nyonya Fani meninggal, dan Tuan pun kembali banyak bicara.”
Rani mengerutkan kening, “maksudnya, dan apakah Fania begitu pembangkang?”
“Maksudnya, ya, seperti itu.”
Rani mengerutkan kening tidak mengerti.
“Sudah lama, Tuan tidak banyak bicara pada kami di sekelilingnya, walaupun dalam situasi kumpul keluarga.” Si sopir menatap Rani lewat kaca spion depan.
“Nona Fania memang sedikit tidak bisa diatur, apalagi setelah ada rencana Tuan menikah.”
Rani terkejut, “Dia punya rencana mau menikah?” Rani kembali mengacak rambut.
“Dasar Tuan Arogan! Bisa-bisanya bilang Saya mau dijadikan istrinya, padahal dia mau menikah! Iiih, dasar menjengkelkan!”
Si sopir tersenyum, “Tuan memang tidak jauh berbeda dengan Nona Fania. Tapi sepertinya Tuan malah lebih dari itu.”
Rani melipat tangan, “pantas saja anaknya seperti itu, lah bapaknya juga orang arogan!”
Si sopir kembali tertawa mendengar Rani yang menggerutu. Sekarang dia baru sadar, kenapa Tuannya berbeda pada wanita di belakangnya.
“Nona sangat mirip dengan Nyonya Fani, pantas saja Nona Fania sampai memanggil mamah.”
Rani terdiam, dia teringat dengan saudara sepupunya yang memang sangat mirip dengan dirinya.
“Apa Fani meninggal sudah lama, dan apa sebabnya?”
“Nyonya Muda meninggal di rumah saki setelah dirawat selama dua minggu.”
Rani mengangguk, sepupunya pergi sebab kecelakaan tunggal dan suaminya pun pindah keluar Negeri karena merasa terpukul.
Walaupun dia pernah mendengar sepupunya punya satu anak, tapi itu tidak mungkin Fania, karena kepergiannya pun berbeda.
“Sepertinya memang berbeda.” Rani bergumam memandang keluar jendela.
“Nona, di mana Nona akan_” Sang sopir tidak mendengar apa yang di ucapkan Rani, karena ada telepon penting masuk.
“Halo Tuan, siap Tuan!” Dia menyimpan handphone dan memutar arah balik.
“Lah-lah, kita akan ke mana? Kenapa tidak melipir, Saya mau beli minum.”
“Maaf, Nona, sepertinya kita harus segera pergi ke rumah sakit. Nona Fania jatuh dari tangga, dan tidak sadarkan diri, dia terus memanggil Nona!”
“APA!” Rani panik mendengar semua itu, rasa hausnya langsung hilang dan meminta sang sopir untuk mengebut.
Bayangan Fania yang tadi menjerit-jerit terus terngiang dalam telinganya.
“Semua ini salah kamu Raniii! Kenapa tadi kamu malah pergi!” Rani menggerutu karena dia kembali melakukan kesalahan.
Sesampainya di rumah sakit, Rani melangkah cepat mencari kamar tempat Fania di rawat.
“Apa Fania tidak apa_” Rani terkejut ketika Doni, Papah Fania menarik dan mengajaknya masuk.
“Sayaaang, Papah sudah membawa Mamah kamu. Dia sudah ada di depanmu, Sayang. Sekarang cepat buka mata kamu.” Terdengar getaran dalam nada suara Doni.
Rani baru sadar kalau Doni yang tadi arogan tengah bersedih karena anaknya.
Dia mendekati Fania yang terbaring, “Faniaaa,” Rani memanggil Fania lirih.
Air mata Rani tidak dapat terbendung setelah melihatnya, anak yang tadi masih tersenyum dan merengek padanya dengan memeluk erat karena tidak mau di tinggal, saat ini tengah tergeletak tidak sadarkan diri.
“Kenapa ini bisa terjadi!” Rani menatap laki-laki yang bernama Doni dengan terus menangis.
“Apa Anda tidak bisa menangani anak satu! Dasar laki-laki egois!” Rani memukul Doni membabi buta.
“Kalau Anda tidak becus mengurusnya, kenapa tidak berikan saja pada Saya!” Rani terus memukul Doni yang malah terdiam.
“Kembalikan Faniakuuu!” Rani berteriak dan akhirnya bersimpuh di lantai, dengan terus berteriak meminta Fania untuk di kembalikan.
Semua yang ada di sana, terutama orang tua Doni pun Doni sendiri terkejut dengan apa yang terjadi pada wanita yang bernama Rani itu.“Apakah benar, Fania baru bertemu dengan wanita itu, Don?” Wanita paruh baya berbisik.“Yang Doni tahu, itu memang benar. Karena setiap saat Fania di jaga oleh pengasuhnya dan dia terus mengabari semua yang Fania lakukan.”“Tapi sepertinya_”“Mamah ...,” Terdengar Fania siuman.Rani yang mendengar itu langsung mendekat, menggenggam tangannya.“Ya Sayang, Mamah di sini. Apa ada yang sakit?”Fania mengangguk dengan lemas tapi terlihat senang karena Rani ada kembali di sampingnya.“Kamu harus kuat! Mamah percaya kamu pasti bisa sembuh seperti biasa, dan kita akan pergi ke taman bermain setiap hari.” Rani mengusap kepala Fania yang terbalut perban.Tidak lama seorang dokter masuk dan melihat keadaan Fania dengan penuh kehati-hatian.“Kamu memang anak yang kuat! Om bangga, padamu.”Rani menatap sang dokter, wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah papah Fania
Rani menatap ke depan, melihat hamparan kota yang penuh lampu yang berkelap-kelip. Untung dia ada di lantai 3 jadi bisa melihat pemandangan yang tidak mau dia lihat ulang lagi, karena ini ada di rumah sakit.“Anda pernah bilang, kalau Anda yakin, istri Anda masih hidup. Jadi, bilamana itu terjadi benar, dan kita masih dalam ikatan pernikahan, apa yang akan Anda lakukan?”Doni terdiam, dia tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya akan berpikir sejauh itu.“Apa Anda akan langsung membuang Saya? Karena kebutuhan diri Anda sudah ada yang mengisi kembali, atau ... Anda akan tetap bersama Saya yang mungkin waktu itu telah mengandung benih dari Anda.”Doni semakin dibuat terdiam. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, karena dia pikir itu tidak akan terjadi sebab mereka menikah dikarenakan Fania dan tidak akan ada cinta di dalamnya.“Saya tidak bisa munafik, mungkin saja berbagi peluh akan Saya minta, walaupun menikah tanpa cinta. Lagian, cinta dan suka akan tumbuh dengan se
Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”Doni mengerutkan kening,“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”“Maksud kamu?”“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.“Jangan _”“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Don
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur