Doni tidak mau mendengar apa pun yang istrinya katakan, dia menutup telepon dengan kasar dan melemparnya ke samping.Sedangkan di tempat lain, Rani tengah mengusap muka sembari menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu harus berbuat apa, karena saat ini, dia tidak mungkin meminta Pram untuk memutar, dan kembali ke rumah. Sebab, dia sudah janji untuk membawa Fania ke tempat mandi bola, sebagai permohonan maaf.“Kamu kenapa, sepertinya tidak baik-baik saja?” Pram menatap Rani.Dia berpikir inilah waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri pada istri kakaknya.Pram sudah tidak sabar ingin melihat raut wajah Doni yang marah dan kembali kalah dengan apa yang Pram lakukan.Dia pun akan sedikit demi sedikit mempengaruhi Rani supaya berpaling padanya seperti Fani di waktu dulu sehingga menghasilkan anak yang ada di antara mereka sekarang.“Tidak apa, Bang.” Rani malah menatap Fania yang tengah bermain dengan bonekanya.“Sayan
“Tidaaak!” Semua orang berteriak ketika melihat seorang anak menyeberang dengan ceroboh demi memeluk Rani.“Apa kamu tidak apa-apa?” Rani terlihat pucat dan memeriksa si anak dengan teliti.Matilah kauuu! Kalau sampai ada apa-apa dengan anak ini, bisa berabe nanti.Lagian kenapa sih, ni anak tidak ada yang mengawas!Rani menggerutu di dalam hati sembari celingak-celinguk mencari orang tua anak tersebut.“Mamaaah, huhuhu ...” Si anak menangis dengan memeluk erat Rani.“Tidak-tidak, Saya bukan_”“Fania Albarani! Apa yang kamu lakukan!” Doni berdiri dengan nafas ngos-ngosan.Dia berteriak dan menatap tajam pada sang anak yang bernama Fania“Kamu membuat semua orang kawatir! Apa kamu ingin membuat Papah mati mendadak!” Dia pun menarik Fania dengan paksa.“Tidak! Fania ingin dengan Mamah, Papah jahat! Pokonya Fania ingin dengan Mamah!” Fania memeluk erat Rani yang dia panggil Mamah.“Fania! Apa kamu ingin Papah_”“Maaf, Pak. Bisa bicara dengan lembut, kasihan anaknya kesakitan.” Rani yang
“Cepat, kecuali apa!” Rani menatap tajam.Doni tersenyum menatap Rani yang kebingungan.Melihat ke arah mana mata Doni, Rani langsung menyilangkan tangan. Andai Rani tahu akan seperti ini akhirnya, lebih baik tadi dia bawa saja anak itu dengan alasan pergi ke dokter.“Hey, cepat katakan!”Rani menarik nafas, mencoba tenang dan menunggu apa seterusnya yang akan Doni katakan.“Kecuali kalau kamu jadi istri saya.”“APA!” Rani terkejut.Begitu pun dengan semua orang yang ada, karena kata-kata itu bermakna kan “Ayo kita menikah.”Mereka tidak percaya dengan apa yang Doni si Tuan mereka katakan, karena selama ini Doni tidak pernah menyinggung tentang pernikahan. Bicara pun seperlunya.Rani mencoba menormalkan detak jantung dan kembali menatap tajam Doni.Dasar Orang Tua aneh!Itulah ungkapan hati Rani dan kalutnya. Dia mencoba menarik nafas perlahan.“Apa Anda bilang? Kalau Saya jadi Istri Anda! Untungnya untuk Saya apa? Lagian, ya, masa mau minta minum saja harus jadi istri!” Rani menggele
Semua yang ada di sana, terutama orang tua Doni pun Doni sendiri terkejut dengan apa yang terjadi pada wanita yang bernama Rani itu.“Apakah benar, Fania baru bertemu dengan wanita itu, Don?” Wanita paruh baya berbisik.“Yang Doni tahu, itu memang benar. Karena setiap saat Fania di jaga oleh pengasuhnya dan dia terus mengabari semua yang Fania lakukan.”“Tapi sepertinya_”“Mamah ...,” Terdengar Fania siuman.Rani yang mendengar itu langsung mendekat, menggenggam tangannya.“Ya Sayang, Mamah di sini. Apa ada yang sakit?”Fania mengangguk dengan lemas tapi terlihat senang karena Rani ada kembali di sampingnya.“Kamu harus kuat! Mamah percaya kamu pasti bisa sembuh seperti biasa, dan kita akan pergi ke taman bermain setiap hari.” Rani mengusap kepala Fania yang terbalut perban.Tidak lama seorang dokter masuk dan melihat keadaan Fania dengan penuh kehati-hatian.“Kamu memang anak yang kuat! Om bangga, padamu.”Rani menatap sang dokter, wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah papah Fania
Rani menatap ke depan, melihat hamparan kota yang penuh lampu yang berkelap-kelip. Untung dia ada di lantai 3 jadi bisa melihat pemandangan yang tidak mau dia lihat ulang lagi, karena ini ada di rumah sakit.“Anda pernah bilang, kalau Anda yakin, istri Anda masih hidup. Jadi, bilamana itu terjadi benar, dan kita masih dalam ikatan pernikahan, apa yang akan Anda lakukan?”Doni terdiam, dia tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya akan berpikir sejauh itu.“Apa Anda akan langsung membuang Saya? Karena kebutuhan diri Anda sudah ada yang mengisi kembali, atau ... Anda akan tetap bersama Saya yang mungkin waktu itu telah mengandung benih dari Anda.”Doni semakin dibuat terdiam. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, karena dia pikir itu tidak akan terjadi sebab mereka menikah dikarenakan Fania dan tidak akan ada cinta di dalamnya.“Saya tidak bisa munafik, mungkin saja berbagi peluh akan Saya minta, walaupun menikah tanpa cinta. Lagian, cinta dan suka akan tumbuh dengan se
Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”Doni mengerutkan kening,“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”“Maksud kamu?”“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.“Jangan _”“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Don
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du