Share

Bab 3. Pilihan yang Sulit

Semua yang ada di sana, terutama orang tua Doni pun Doni sendiri terkejut dengan apa yang terjadi pada wanita yang bernama Rani itu.

“Apakah benar, Fania baru bertemu dengan wanita itu, Don?” Wanita paruh baya berbisik.

“Yang Doni tahu, itu memang benar. Karena setiap saat Fania di jaga oleh pengasuhnya dan dia terus mengabari semua yang Fania lakukan.”

“Tapi sepertinya_”

“Mamah ...,” Terdengar Fania siuman.

Rani yang mendengar itu langsung mendekat, menggenggam tangannya.

“Ya Sayang, Mamah di sini. Apa ada yang sakit?”

Fania mengangguk dengan lemas tapi terlihat senang karena Rani ada kembali di sampingnya.

“Kamu harus kuat! Mamah percaya kamu pasti bisa sembuh seperti biasa, dan kita akan pergi ke taman bermain setiap hari.” Rani mengusap kepala Fania yang terbalut perban.

Tidak lama seorang dokter masuk dan melihat keadaan Fania dengan penuh kehati-hatian.

“Kamu memang anak yang kuat! Om bangga, padamu.”

Rani menatap sang dokter, wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah papah Fania.

“Saya Om dan juga dokter pribadinya.” Ucap si dokter ketika melihat tatapan Rani.

Rani mengangguk, ternyata dia masih terpaut keluarga dengan Fania.

“Bagaimana keadaannya?” Doni menatap sang adik.

“Sepertinya tidak apa-apa. Kita hanya harus menunggunya beberapa hari lagi, Jadi,” Dia menatap Rani, “jangan sampai seseorang membawanya pergi.”

Rani mengerutkan kening dan menatap Doni. Dia tidak mengerti kenapa dokter itu berucap demikian.

“Eeeh, Dok. Tidak mungkin_”

“Aku tidak akan membawanya pergi seperti waktu itu!” Doni memotong perkataan Rani.

Dokter hanya menaikkan pundak seperti tidak percaya.

“Dokter tidak usah khawatir, Saya yang akan menjamin Fania tidak akan pergi sebelum dinyatakan sehat.” Rani tersenyum bangga.

“Eeeh, apa hakmu bicara seperti itu! Fania kan_”

“ANAK SAYA!” Rani memotong keras, “Tuan Arogan Yang Terhormat! Asal Anda tahu dan ingat, Saya tidak pernah bilang Fania anak Saya, tapi demi kesembuhan Fania, Saya itu harus melakukannya!” Doni terdiam ketika Rani berucap demikian.

Begitu pun dengan Dokter. Dia terkejut ketika sadar kalau wajah Rani pun cara dia menentang Kakaknya, sama persis seperti Kakak Iparnya dahulu.

“Ini memang duplikat Kak Fani. Pantas saja Fania begitu menempel dengannya.” Gumam Dokter tersenyum.

“Kenapa diam! Dengar, ya, Tuan Arogan Terhormat. Saya tidak mau lagi melihat Fania dalam keadaan yang mengancam hidupnya!”

“Apa hakmu, bicara seperti itu!” Doni menatap Rani, “Dia itu anak_”

“Dari tadi anak, anak terus. Kalau begitu_”

“Kita menikah saat ini juga!” Ucapan Doni membuat semua orang terkejut.

Apalagi Rani, dia sampai menghamburkan air minum yang di sodor kan sopir, karena tahu dia belum mendapat minum dari tadi.

“Apa Anda orang gila! Menganggap hal yang sakral dengan lelucon!” Rani menatap Doni tajam.

“Memangnya kenapa? Toh ini untuk Fania, supaya Saya juga tenang, tidak lagi harus memberikan Fania pada orang asing!”

Rani menyugar Rambut, “ini memang harus di selesaikan!” Gumamnya sembari menatap Doni.

Namun, sebelum pembicaraan mereka semakin jauh, Rani terlebih dahulu harus keluar.

 Dia menatap Fania, “Sayaaang, Mamah pergi dulu, ya. Ada yang harus Mamah bicarakan dengan Papahmu.” Fania tersenyum dan mengangguk.

“Apa panggilan itu sebagai jawaban kamu mau jadi Mamahnya?”

Rani menatap Doni dengan ujung mata, “berisik! Sayang ... Mamah keluar dulu, ya.”

“Maaah, jangan lama-lama, Fania takut.” Fania bicara terbata-bata dengan mata sayunya.

Melihat itu, membuat Rani kembali meneteskan air mata. Dia mendaratkan satu kecupan di kening sebelum pergi.

“Mamah tidak akan lama. Kamu sama Om Dokter dulu, ya.”

Setelah itu, Rani menatap Doni dan mencengkeram tangannya.

“Kita harus bicara di tempat lain!” Dengan seenaknya, Rani menarik Doni yang tidak melawan sedikit pun.

“Sepertinya Fania akan dapat mamah baru, Mih.”

“Sepertinya! Walaupun Mamih baru bertemu, tapi Mamih setuju.”

“Tapi, Mih! Wanita yang lain mau di kemanakan?”

Yang dipanggil Mamih hanya mengangkat bahu.

Sedangkan dua orang yang saat ini tengah jadi sorotan, melenggang pergi dengan terburu-buru.

Setelah menemukan tempat yang cukup baik, Rani melepaskan Doni dan menarik nafas untuk menenangkan hatinya.

Dari mulai keluar ruangan tempat Fania di rawat, jantung Rani berdegup kencang karena takut Doni marah sebab dengan lancangnya, dia berani-beraninya menarik tangan Doni, si Tuan Arogan.

“Kenapa Anda mengajukan pernikahan, bukankah itu hal yang tidak Anda inginkan?” Rani menghadap Doni yang menatapnya takjub.

Doni baru sadar, ternyata Rani wanita cantik. Apa lagi saat ini, di bawah sinar rembulan, dia semakin cantik dengan rambutnya yang terjuntai panjang walaupun sedikit lepek karena mungkin dari tadi dia bolak-balik menghadapi situasi yang menguras emosi dari mulai awal mereka bertemu.

“Apa karena Saya mirip dengan mantan Istri Anda?” Rani menatap Doni yang terkejut.

Doni menghembuskan nafas perlahan, “itu sedikit banyak benar,” Dia berbalik menatap bulan purnama.

“Karena kalian bagaikan pinang dibelah dua. Tapi, walaupun begitu, ada perbedaan yang mencolok.” Doni kembali menatap Rani yang masih menatapnya.

“Dia tidak seberani Anda, dan dia tidak pernah membantah apa yang Saya perintahkan. Memang... dia sering marah, tapi itu hanya pada Saya, suaminya, bukan pada orang lain yang baru ditemui.”

“Oooh,” Rani melipat tangan, “jadi maksud Anda, Saya ini wanita kasar yang tidak punya sopan santun, karena marah pada Anda?”

Doni mengangguk, “kurang lebih seperti itu yang Saya lihat.”

Rani meluruskan tangan dan mengentakkan kaki kesal, “Saya seperti ini karena ulah Anda yang semena-mana!”

Doni terkejut, tapi dia malah tersenyum dan itu membuat Rani semakin jengkel.

“Kalau begitu, kenapa Anda mengajak Saya menikah, bagaimana kalau Saya sampai menyakiti Fania dan bisa saja Saya menghancurkan harkat martabat Anda di depan orang lain? Apa Anda tidak takut!” Rani menatap tajam Doni.

“Apa lagi selama seharian ini, Anda terus mencurigai Saya sebagai pencuri!”

Doni tersenyum dia malah merasa terhibur dengan kemarahan Rani.

Dengan santai, dia memasukkan tangan di saku celana dan mencondongkan kepala, menjadikan Rani mundur.

“Sekarang hukum bisa bicara, malahan bukan hanya Saya yang bisa menghukum Anda, tapi orang lain pun bisa, ketika kekerasan itu terjadi.”

Rani mengerutkan kening, “jadi Anda akan merekam semua yang Saya lakukan?”

“Untuk apa susah-susah, toh sekarang ada CCTV yang lumayan canggih. Jadi Saya tinggal sebarkan saja.”

“Orang kaya mah memang beda!” Rani berpaling dan mencibir. Membuat Doni kembali mengulas senyum untuk sesaat.

“Tapi Saya tidak mau menikah!”

“Kalau begitu, Anda bisa pergi membiarkan Fania dengan keadaan saat ini dan jangan pernah menampakkan diri Anda lagi.”

Rani cemberut dan menggaruk kepala yang mulai gatal karena belum keramas.

Semua kelakuan Rani tidak pernah luput dari perhatian Doni yang terus menatapnya.

“Bagaimana?”

Rani mengusap wajah, ini cukup membuat dia pusing, di satu sisi dia ingin terus berada di samping Fania, karena dia sudah merasa dekat, walaupun baru tadi pagi mereka bertemu, tapi sudah merasa dekat malam ini.

Namun di sisi lain, dia pun tidak mungkin menikah dengan sembarang orang, apa lagi  dengan laki-laki yang baru dia temui tadi pagi.

Apa kata Paman, bila aku membawa laki-laki asing? Dan apa kata Tori bila aku menikah bukan dengannya.

Ucap Rani dalam hati dengan semua kebingungannya.

“Saya tidak punya waktu, dan Saya tidak mau mengulur waktu, karena ini berhubungan dengan Fania. Jadi apa jawaban ada?”

“Saya belum bisa menjawabnya. Tapi,” Rani menggaruk hidung.

“Jika itu terjadi, apa jaminan Anda untuk Saya?”

Doni mengerutkan kening tidak mengerti.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status