Semua yang ada di sana, terutama orang tua Doni pun Doni sendiri terkejut dengan apa yang terjadi pada wanita yang bernama Rani itu.
“Apakah benar, Fania baru bertemu dengan wanita itu, Don?” Wanita paruh baya berbisik.
“Yang Doni tahu, itu memang benar. Karena setiap saat Fania di jaga oleh pengasuhnya dan dia terus mengabari semua yang Fania lakukan.”
“Tapi sepertinya_”
“Mamah ...,” Terdengar Fania siuman.
Rani yang mendengar itu langsung mendekat, menggenggam tangannya.
“Ya Sayang, Mamah di sini. Apa ada yang sakit?”
Fania mengangguk dengan lemas tapi terlihat senang karena Rani ada kembali di sampingnya.
“Kamu harus kuat! Mamah percaya kamu pasti bisa sembuh seperti biasa, dan kita akan pergi ke taman bermain setiap hari.” Rani mengusap kepala Fania yang terbalut perban.
Tidak lama seorang dokter masuk dan melihat keadaan Fania dengan penuh kehati-hatian.
“Kamu memang anak yang kuat! Om bangga, padamu.”
Rani menatap sang dokter, wajahnya tidak jauh berbeda dengan wajah papah Fania.
“Saya Om dan juga dokter pribadinya.” Ucap si dokter ketika melihat tatapan Rani.
Rani mengangguk, ternyata dia masih terpaut keluarga dengan Fania.
“Bagaimana keadaannya?” Doni menatap sang adik.
“Sepertinya tidak apa-apa. Kita hanya harus menunggunya beberapa hari lagi, Jadi,” Dia menatap Rani, “jangan sampai seseorang membawanya pergi.”
Rani mengerutkan kening dan menatap Doni. Dia tidak mengerti kenapa dokter itu berucap demikian.
“Eeeh, Dok. Tidak mungkin_”
“Aku tidak akan membawanya pergi seperti waktu itu!” Doni memotong perkataan Rani.
Dokter hanya menaikkan pundak seperti tidak percaya.
“Dokter tidak usah khawatir, Saya yang akan menjamin Fania tidak akan pergi sebelum dinyatakan sehat.” Rani tersenyum bangga.
“Eeeh, apa hakmu bicara seperti itu! Fania kan_”
“ANAK SAYA!” Rani memotong keras, “Tuan Arogan Yang Terhormat! Asal Anda tahu dan ingat, Saya tidak pernah bilang Fania anak Saya, tapi demi kesembuhan Fania, Saya itu harus melakukannya!” Doni terdiam ketika Rani berucap demikian.
Begitu pun dengan Dokter. Dia terkejut ketika sadar kalau wajah Rani pun cara dia menentang Kakaknya, sama persis seperti Kakak Iparnya dahulu.
“Ini memang duplikat Kak Fani. Pantas saja Fania begitu menempel dengannya.” Gumam Dokter tersenyum.
“Kenapa diam! Dengar, ya, Tuan Arogan Terhormat. Saya tidak mau lagi melihat Fania dalam keadaan yang mengancam hidupnya!”
“Apa hakmu, bicara seperti itu!” Doni menatap Rani, “Dia itu anak_”
“Dari tadi anak, anak terus. Kalau begitu_”
“Kita menikah saat ini juga!” Ucapan Doni membuat semua orang terkejut.
Apalagi Rani, dia sampai menghamburkan air minum yang di sodor kan sopir, karena tahu dia belum mendapat minum dari tadi.
“Apa Anda orang gila! Menganggap hal yang sakral dengan lelucon!” Rani menatap Doni tajam.
“Memangnya kenapa? Toh ini untuk Fania, supaya Saya juga tenang, tidak lagi harus memberikan Fania pada orang asing!”
Rani menyugar Rambut, “ini memang harus di selesaikan!” Gumamnya sembari menatap Doni.
Namun, sebelum pembicaraan mereka semakin jauh, Rani terlebih dahulu harus keluar.
Dia menatap Fania, “Sayaaang, Mamah pergi dulu, ya. Ada yang harus Mamah bicarakan dengan Papahmu.” Fania tersenyum dan mengangguk.
“Apa panggilan itu sebagai jawaban kamu mau jadi Mamahnya?”
Rani menatap Doni dengan ujung mata, “berisik! Sayang ... Mamah keluar dulu, ya.”
“Maaah, jangan lama-lama, Fania takut.” Fania bicara terbata-bata dengan mata sayunya.
Melihat itu, membuat Rani kembali meneteskan air mata. Dia mendaratkan satu kecupan di kening sebelum pergi.
“Mamah tidak akan lama. Kamu sama Om Dokter dulu, ya.”
Setelah itu, Rani menatap Doni dan mencengkeram tangannya.
“Kita harus bicara di tempat lain!” Dengan seenaknya, Rani menarik Doni yang tidak melawan sedikit pun.
“Sepertinya Fania akan dapat mamah baru, Mih.”
“Sepertinya! Walaupun Mamih baru bertemu, tapi Mamih setuju.”
“Tapi, Mih! Wanita yang lain mau di kemanakan?”
Yang dipanggil Mamih hanya mengangkat bahu.
Sedangkan dua orang yang saat ini tengah jadi sorotan, melenggang pergi dengan terburu-buru.
Setelah menemukan tempat yang cukup baik, Rani melepaskan Doni dan menarik nafas untuk menenangkan hatinya.
Dari mulai keluar ruangan tempat Fania di rawat, jantung Rani berdegup kencang karena takut Doni marah sebab dengan lancangnya, dia berani-beraninya menarik tangan Doni, si Tuan Arogan.
“Kenapa Anda mengajukan pernikahan, bukankah itu hal yang tidak Anda inginkan?” Rani menghadap Doni yang menatapnya takjub.
Doni baru sadar, ternyata Rani wanita cantik. Apa lagi saat ini, di bawah sinar rembulan, dia semakin cantik dengan rambutnya yang terjuntai panjang walaupun sedikit lepek karena mungkin dari tadi dia bolak-balik menghadapi situasi yang menguras emosi dari mulai awal mereka bertemu.
“Apa karena Saya mirip dengan mantan Istri Anda?” Rani menatap Doni yang terkejut.
Doni menghembuskan nafas perlahan, “itu sedikit banyak benar,” Dia berbalik menatap bulan purnama.
“Karena kalian bagaikan pinang dibelah dua. Tapi, walaupun begitu, ada perbedaan yang mencolok.” Doni kembali menatap Rani yang masih menatapnya.
“Dia tidak seberani Anda, dan dia tidak pernah membantah apa yang Saya perintahkan. Memang... dia sering marah, tapi itu hanya pada Saya, suaminya, bukan pada orang lain yang baru ditemui.”
“Oooh,” Rani melipat tangan, “jadi maksud Anda, Saya ini wanita kasar yang tidak punya sopan santun, karena marah pada Anda?”
Doni mengangguk, “kurang lebih seperti itu yang Saya lihat.”
Rani meluruskan tangan dan mengentakkan kaki kesal, “Saya seperti ini karena ulah Anda yang semena-mana!”
Doni terkejut, tapi dia malah tersenyum dan itu membuat Rani semakin jengkel.
“Kalau begitu, kenapa Anda mengajak Saya menikah, bagaimana kalau Saya sampai menyakiti Fania dan bisa saja Saya menghancurkan harkat martabat Anda di depan orang lain? Apa Anda tidak takut!” Rani menatap tajam Doni.
“Apa lagi selama seharian ini, Anda terus mencurigai Saya sebagai pencuri!”
Doni tersenyum dia malah merasa terhibur dengan kemarahan Rani.
Dengan santai, dia memasukkan tangan di saku celana dan mencondongkan kepala, menjadikan Rani mundur.
“Sekarang hukum bisa bicara, malahan bukan hanya Saya yang bisa menghukum Anda, tapi orang lain pun bisa, ketika kekerasan itu terjadi.”
Rani mengerutkan kening, “jadi Anda akan merekam semua yang Saya lakukan?”
“Untuk apa susah-susah, toh sekarang ada CCTV yang lumayan canggih. Jadi Saya tinggal sebarkan saja.”
“Orang kaya mah memang beda!” Rani berpaling dan mencibir. Membuat Doni kembali mengulas senyum untuk sesaat.
“Tapi Saya tidak mau menikah!”
“Kalau begitu, Anda bisa pergi membiarkan Fania dengan keadaan saat ini dan jangan pernah menampakkan diri Anda lagi.”
Rani cemberut dan menggaruk kepala yang mulai gatal karena belum keramas.
Semua kelakuan Rani tidak pernah luput dari perhatian Doni yang terus menatapnya.
“Bagaimana?”
Rani mengusap wajah, ini cukup membuat dia pusing, di satu sisi dia ingin terus berada di samping Fania, karena dia sudah merasa dekat, walaupun baru tadi pagi mereka bertemu, tapi sudah merasa dekat malam ini.
Namun di sisi lain, dia pun tidak mungkin menikah dengan sembarang orang, apa lagi dengan laki-laki yang baru dia temui tadi pagi.
Apa kata Paman, bila aku membawa laki-laki asing? Dan apa kata Tori bila aku menikah bukan dengannya.
Ucap Rani dalam hati dengan semua kebingungannya.
“Saya tidak punya waktu, dan Saya tidak mau mengulur waktu, karena ini berhubungan dengan Fania. Jadi apa jawaban ada?”
“Saya belum bisa menjawabnya. Tapi,” Rani menggaruk hidung.
“Jika itu terjadi, apa jaminan Anda untuk Saya?”
Doni mengerutkan kening tidak mengerti.
Rani menatap ke depan, melihat hamparan kota yang penuh lampu yang berkelap-kelip. Untung dia ada di lantai 3 jadi bisa melihat pemandangan yang tidak mau dia lihat ulang lagi, karena ini ada di rumah sakit.“Anda pernah bilang, kalau Anda yakin, istri Anda masih hidup. Jadi, bilamana itu terjadi benar, dan kita masih dalam ikatan pernikahan, apa yang akan Anda lakukan?”Doni terdiam, dia tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya akan berpikir sejauh itu.“Apa Anda akan langsung membuang Saya? Karena kebutuhan diri Anda sudah ada yang mengisi kembali, atau ... Anda akan tetap bersama Saya yang mungkin waktu itu telah mengandung benih dari Anda.”Doni semakin dibuat terdiam. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, karena dia pikir itu tidak akan terjadi sebab mereka menikah dikarenakan Fania dan tidak akan ada cinta di dalamnya.“Saya tidak bisa munafik, mungkin saja berbagi peluh akan Saya minta, walaupun menikah tanpa cinta. Lagian, cinta dan suka akan tumbuh dengan se
Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”Doni mengerutkan kening,“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”“Maksud kamu?”“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.“Jangan _”“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Don
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un