Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.
Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.
Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.
“Ran, kamu mau ke mana?”
“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”
Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.
Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”
“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.
“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.
“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melajukan motor segera supaya dia cepat menjauh dari Doni.
Doni terkejut ketika melihat calon istri malah kabur dengan segera. Tangannya terkepal kuat,
“sial!”
Bagi orang yang belum kenal keduanya, panggilan Rani memang tidak aneh karena seperti itulah interaksi orang yang hanya kenal.
Akan tetapi beda untuk Doni, yang bisa dibilang calon suami Rani, itu cukup menjengkelkan, apa lagi dengan lantangnya Rani memanggil Doni dengan sebutan, Bapak.
“Sebenarnya, status kita itu, apa!” Doni menatap jalan yang tidak terlalu macet.
Hatinya bergemuruh karena kesal.
“Kamu memanggil Saya, Bapak!” Doni mengirimkan pesan lewat si hijau.
“Memangnya kenapa? Bukankah kita masih belum punya hubungan?”
Tidak lama balasan dari Rani datang dan membuat Doni sampai menginjak rem mendadak.
“Tidak ada hubungan, katanya! Sial, sebenarnya dia itu wanita seperti apa, sih!”
Doni hanya bisa menggerutu karena tidak mungkin dia pergi menemui Rani di tengah-tengah pekerjaan yang menumpuk.
“Sebenarnya, apa pekerjaannya! Sampai harus terus bersama laki-laki itu!” Doni kembali melajukan mobil dengan cukup cepat, karena sudah mepet waktu kerja.
Sedangkan di tempat lain, Rani yang baru saja sampai di depan toko tempat bekerja, langsung melesat masuk. Membuat Tori semakin tanda tanya.
“Kamu tidak apa-apa?” Tori menatap Rani sembari mengambil helm.
“Maksudnya?” Rani melepas jaket yang dia kenakan dan menyimpannya di lemari.
Dia mencoba untuk bersikap normal.
“Bukannya tadi itu laki-laki semalam?” Tori pelipat tangan, menyender di dinding dengan menatap Rani.
Rani terkejut, menutup lemari dan bertolak pinggang.
“Jadi, semalam Kamu bertemu dengan dia?”
Tori mengangguk karena memang itu kebenarannya.
Tanpa pikir panjang, Rani langsung melayangkan pukul di lengan dan mencubit Tori kuat.
“Aaaah! Sakit, Ran!” Tori mengusap lengan, “ada apa sih! Main kekerasan terus.”
“Kamu, tuh! Yang tega meninggalkan aku sendiri! Jadi aku_” Rani tidak berani meneruskan ucapannya karena tidak mungkin dia bicara jujur tentang kejadian semalam.
“Jadi kamu kenapa?” Tori cukup penasaran karena temannya malah menjeda.
“Jadi keong!” Rani tidak mau membahas tentang tadi malam karena itu membuat dia kembali ingat hal yang mengerikan.
Tangannya dengan tidak sadar, memegang bibir.
“Apa orang itu melakukan sesuatu?”
Rani tersadar dan cepat menurunkan tangan, “Sudah ah, ayo kita kerja. Ketahuan Pak Umar, bisa berabe kita.” Rani berjalan lebih dahulu meninggal Tori yang masih berharap ada penjelasan.
“Ran!”
“Sudaaah, tidak apa-apa. Semua terkendali dengan baik.” Rani melambaikan tangan dan berkacak pinggang.
Tori hanya bisa menghembuskan napas, karena sebenarnya dia begitu penasaran dengan sosok laki-laki semalam.
“Aku harap, kamu cepat bercerita, Ran. Supaya aku tidak mencari sendiri apa yang terjadi.” Ucap Tori sembari menyusul Rani.
Rani dan Tori mulai membuka toko seperti biasa setelah merasa semua sudah selesai tersaji.
Rani bekerja di sebuah toko yang menjual kudapan manis dan asin yang cukup di kenal di kawasan itu, sehingga tidak aneh, ketika toko buka, sudah banyak pelanggan yang mengantre untuk membeli.
“Kamu bisa menemui Saya pas makan siang?”
Suara pesan masuk, tidak sempat Rani baca karena cukup sibuk.
Sehingga membuat Doni yang saat ini tengah menatap layar pipih berdecap kesal.
“Kenapa aku tidak bertanya tentang pekerjaannya!” Doni menyesali kebodohannya.
“Papah, kenapa Mamah hari ini tidak datang?”
Doni menyambar Hp dan membuka si hijau, embusan nafas kecewa terdengar karena itu bukan dari orang yang dia tunggu-tunggu.
“Maaf, Sayang. Sepertinya Mamah tidak bisa datang, hari ini. Mungkin besok atau lusa.”
Setelah pesan terkirim, deringan telepon terdengar.
“Kenapa Rani tidak bisa datang?”
“Maafkan Doni, Mam. Karena_”
“Fania belum makan dari tadi, dia ingin Rani yang menyuapinya.”
Doni menyugar rambut, dia mulai pusing dengan anaknya.
“Doni, apakah kamu tidak bisa membawa Rani sekarang, Nak? Fania kekek tidak mau makan. Dia belum minum obat lagi.”
Doni mengusap wajahnya, merasa kesal. Mana pekerjaannya menumpuk, sekarang anaknya kembali berulah.
Yaaa, walaupun sebenarnya hati Doni bersorak karena itu bisa menjadi alasan dia kembali bertemu dengan Rani.
“Doni akan meminta Rani untuk datang ke sana sekarang, Mam.” Doni menutup sambungan telepon dan kembali mengontak Rani.
Sambungan Rani tidak juga di angkat, tapi setelah hampir 5 kali percobaan, barulah tersambung dengan benar.
“Kamu ke mana saja!” Doni langsung mengungkapkan kekesalannya.
“Maaf, tadi banyak pekerjaan.”
“Sampai tidak sempat membalas, walaupun sudah di baca? Dan sekarang telepon malah di terima.” Doni merasa kesal.
Sedangkan Rani yang tengah memegang Hp meringis, dia memang merasa salah karena telah mengabaikan pesan tersebut.
“Kirim lokasi tempat kamu bekerja!”
Rani menegang, “eh, kenapa_”
“Jangan banyak tanya, cepat kirim lokasinya.”
“Iya, ya. Jangan marah, donk.” Rani akhirnya memberi titik lokasi di mana dia bekerja.
“Sudah, aku sudah_” panggilan telepon terputus membuat Rani mencebikkan bibir.
“Dasar orang aneh!”
“Apa yang aneh?” Tori menatap Rani sembari tangan tidak diam.
“Eh, itu, tetangga Aku yang aneh. Mau menelepon putranya malah menelepon aku.
Tori mengerutkan kening karena tidak percaya dengan apa yang Rani katakan.
“Kak Rani, ada yang mencari di depan!”
Rani mengerutkan kening dan keluar dari dapur.
“Siapa yang_” mulut Rani langsung tertutup ketika melihat siapa yang datang.
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un
Doni langsung membekap Rani dengan ciuman, tanpa memedulikan orang lain yang melihat kelakuannya.“emmmh!” Rani memukul dada Doni karena kehabisan nafas.“Apa ... yang ... An, Mas lakukan!” Rani bicara dengan nafas yang tersengal-sengal.“Non Rani tidak apa?” Pak satpam menegur ketika dia sadar dari sok.“Apa perlu Saya_”Rani menggeleng, “tidak apa-apa, Pak. Dia_”“Saya calon suaminya, jadi bisakah Saya membawanya malam ini?” Doni maju sembari menggenggam tangan Rani.“Oooh, calon suami. Tapi, maaf Den. Bapak tidak bisa mengizinkan_”“Bapak, jangan takut, Saya membawanya ke rumah ujung!” Doni menunjuk jalan sebelah kanan darinya sekarang.Satpam terkejut karena, rumah ujung adalah rumah paling besar, dan itu dihuni oleh seorang laki-laki yang begitu dermawan. Seluruh penghuni di kawasan itu pasti kenal dengannya pun men
“Maaf, karena waktu itu ada sesuatu yang terjadi dengan Mawar, sehingga Saya mengabaikan pesan darimu. Emmmh ... soal pesan itu, karena Saya ...”“Dadar laki-laki berengsek! Tidak punya pendirian, sudah janji mau nikahi orang malah ngajak nikah!”Doni tertegun dengan apa yang Rani katakan, dia menatap Rani dan semakin terkejut ketika melihat Rani tertidur.Dia mengulum senyum dan menatap Rani yang mendengkur halus.“Dasar kamu! Sebegitu kecewakah kamu sama Saya, dalam mimpi pun masih bisa memaki.” Doni mengusap pipi Rani, dan cepat-cepat keluar dari mobil.Doni membawa Rani masuk, setelah seseorang membukakan pintu.“Lo menculik anak orang!” Dia menatap terkejut.“Berisik! Kamarnya sudah siap, bukan?”“Yaaa, seperti yang Tuan inginkan.” Ucapnya mengejek.Doni masuk menuju kamar yang biasa dia gunakan ketika datang ke rumah tersebut.Setelah me
Tori menyusul Rani setelah melihat mobil yang membawa Rani pergi dan tidak terlihat lagi. Dia langsung menemui Rani yang saat ini tengah melipat baju.Tori mengerutkan kening, dia tahu, kalau baju yang Rani pakai, bukanlah baju biasa yang ada di pasaran.Tori hafal, kalau itu baju brend ternama yang harganya di atas rata-rata.“Tadi aku ke kos-an, tapi kata Pak satpam kamu tidak ada. Semalam ada yang menjemput.”Rani berhenti sejenak, menghirup udara dengan kasar dan mengangguk.“Apa dia laki-laki_”“Mas Doni, namanya Mas Doni, Tor.”“Ok, aku tidak butuh itu, yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa dia menjemputmu malam-malam?”Rani mengusap wajah, sepertinya dia tidak bisa lagi merahasiakan semua itu. Dia harus cepat membicarakan semua itu dengan Tori, supaya tidak menimbulkan masa.“Oh, ya. Tadi Tante menelepon, katanya besok mau datang ke kos-an.”Rani m