Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.
Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.
“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”
Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.
Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.
“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.
Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.
“Hallo,”
“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”
Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”
“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un
Doni langsung membekap Rani dengan ciuman, tanpa memedulikan orang lain yang melihat kelakuannya.“emmmh!” Rani memukul dada Doni karena kehabisan nafas.“Apa ... yang ... An, Mas lakukan!” Rani bicara dengan nafas yang tersengal-sengal.“Non Rani tidak apa?” Pak satpam menegur ketika dia sadar dari sok.“Apa perlu Saya_”Rani menggeleng, “tidak apa-apa, Pak. Dia_”“Saya calon suaminya, jadi bisakah Saya membawanya malam ini?” Doni maju sembari menggenggam tangan Rani.“Oooh, calon suami. Tapi, maaf Den. Bapak tidak bisa mengizinkan_”“Bapak, jangan takut, Saya membawanya ke rumah ujung!” Doni menunjuk jalan sebelah kanan darinya sekarang.Satpam terkejut karena, rumah ujung adalah rumah paling besar, dan itu dihuni oleh seorang laki-laki yang begitu dermawan. Seluruh penghuni di kawasan itu pasti kenal dengannya pun men
“Maaf, karena waktu itu ada sesuatu yang terjadi dengan Mawar, sehingga Saya mengabaikan pesan darimu. Emmmh ... soal pesan itu, karena Saya ...”“Dadar laki-laki berengsek! Tidak punya pendirian, sudah janji mau nikahi orang malah ngajak nikah!”Doni tertegun dengan apa yang Rani katakan, dia menatap Rani dan semakin terkejut ketika melihat Rani tertidur.Dia mengulum senyum dan menatap Rani yang mendengkur halus.“Dasar kamu! Sebegitu kecewakah kamu sama Saya, dalam mimpi pun masih bisa memaki.” Doni mengusap pipi Rani, dan cepat-cepat keluar dari mobil.Doni membawa Rani masuk, setelah seseorang membukakan pintu.“Lo menculik anak orang!” Dia menatap terkejut.“Berisik! Kamarnya sudah siap, bukan?”“Yaaa, seperti yang Tuan inginkan.” Ucapnya mengejek.Doni masuk menuju kamar yang biasa dia gunakan ketika datang ke rumah tersebut.Setelah me
Tori menyusul Rani setelah melihat mobil yang membawa Rani pergi dan tidak terlihat lagi. Dia langsung menemui Rani yang saat ini tengah melipat baju.Tori mengerutkan kening, dia tahu, kalau baju yang Rani pakai, bukanlah baju biasa yang ada di pasaran.Tori hafal, kalau itu baju brend ternama yang harganya di atas rata-rata.“Tadi aku ke kos-an, tapi kata Pak satpam kamu tidak ada. Semalam ada yang menjemput.”Rani berhenti sejenak, menghirup udara dengan kasar dan mengangguk.“Apa dia laki-laki_”“Mas Doni, namanya Mas Doni, Tor.”“Ok, aku tidak butuh itu, yang jadi pertanyaan sekarang, kenapa dia menjemputmu malam-malam?”Rani mengusap wajah, sepertinya dia tidak bisa lagi merahasiakan semua itu. Dia harus cepat membicarakan semua itu dengan Tori, supaya tidak menimbulkan masa.“Oh, ya. Tadi Tante menelepon, katanya besok mau datang ke kos-an.”Rani m
Doni mengikuti ojek online yang membawa Rani pulang. Dia terus memperhatikan Rani yang menangis.“Sial! Sebenar apa yang terjadi!” Doni sudah tidak tahan lagi, akhirnya Doni menyejajarkan mobilnya dengan ojek online tersebut.“Bang, bisa berhenti sebentar?” Teriak Doni sembari tetap melajukan mobil.Bang ojol bukannya berhenti, tapi malah menambah kecepatan. Dia dengan segera meminta bantuan pada temannya, karena merasa nyawanya terancam.Apalagi jaman sekarang banyak perampok yang akal bulusnya semakin menjadi.“Bang, bisa menepi dulu! Saya ada perlu pada penumpang Abang!” Doni kembali berteriak, membuat Bang ojol semakin menarik pedal gas.“Sial!” Doni kembali memaki dan terus mengebut mengejar ojek online yang Rani tumpangi.Rani yang merasa aneh dengan ojek online yang makin cepat, langsung menegur.“Bang, kenapa cepat sekali?”
Rani bersenandung dengan bahagia. Dia tengah membuat bakso yang resepnya dia dapat dari Mang Ujang penjaja bakso keliling.Rani ingin memberikan bakso ini pada Fania, walaupun awalnya ingin dia makan sendiri.“Ya ampuuun! Harusnya aku memisahkan semua sayuran ini.” Rani mendesah kecewa dengan apa yang dia lakukan.“Ini biar aku makan di mobil saja nanti. Yang buat Fania aku bawa terpisah saja.” Rani mengangguk, tersenyum dengan ide miliknya.Karena tengah semangat menyiapkan semuanya, Rani tidak menyadari kalau Doni sudah menunggunya depan kos.“Aaah, akhirnya selesai. Aku mau mandi dulu.” Rani mencium tuhunya sendiri.“Sebenarnya tidak bau, sih. Tapi, masa iya, bertemu dengan Mas Doni tanpa mandi dulu.” Rani cekikikan dengan apa yang dia pikirkan.“Kamu bikin apa?”“Eh, mamah!” Rani terlonjak, “ketika mendapati orang yang bertanya. &ldq
Setelah merasa tenang, Rani mengurai pelukan.“Terima kasih.” Tangannya mengusap jejak air mata dan ingus.“Sudah tenang?” Doni menatap.Anggukan Rani terlihat lemah, dia melirik baju yang Doni pakai, “baju Mas, jadi basah, dan ... dan ada ingusnya. Nanti Rani cucikan.” Rani memalingkan wajah dan menutup mata malu, dengan apa yang dilakukan.“Sekalian saja dengan baju kotor yang ada di rumah Saya!”“Yeeey! Dikasih hati malah minta jantung! Yang aku kotorin kan Cuma baju yang Mas pake, masa jadi semua.”“Lagian, kamu itu ada-ada saja! Membuat Saya malu.” Doni kembali menatap ke jalanan.Rani mengerutkan kening, menoleh, “maksud Mas?”“Seperti orang miskin! Baju kotor, di cuci sendiri, kan ada ART dan Loudry. Ngapain Saya perkerjakan mereka kalau masih pake tangan sendiri!”Rani mendengus, kembali kesal dengan sifat Don