Doni mengikuti ojek online yang membawa Rani pulang. Dia terus memperhatikan Rani yang menangis.
“Sial! Sebenar apa yang terjadi!” Doni sudah tidak tahan lagi, akhirnya Doni menyejajarkan mobilnya dengan ojek online tersebut.
“Bang, bisa berhenti sebentar?” Teriak Doni sembari tetap melajukan mobil.
Bang ojol bukannya berhenti, tapi malah menambah kecepatan. Dia dengan segera meminta bantuan pada temannya, karena merasa nyawanya terancam.
Apalagi jaman sekarang banyak perampok yang akal bulusnya semakin menjadi.
“Bang, bisa menepi dulu! Saya ada perlu pada penumpang Abang!” Doni kembali berteriak, membuat Bang ojol semakin menarik pedal gas.
“Sial!” Doni kembali memaki dan terus mengebut mengejar ojek online yang Rani tumpangi.
Rani yang merasa aneh dengan ojek online yang makin cepat, langsung menegur.
“Bang, kenapa cepat sekali?”
Rani bersenandung dengan bahagia. Dia tengah membuat bakso yang resepnya dia dapat dari Mang Ujang penjaja bakso keliling.Rani ingin memberikan bakso ini pada Fania, walaupun awalnya ingin dia makan sendiri.“Ya ampuuun! Harusnya aku memisahkan semua sayuran ini.” Rani mendesah kecewa dengan apa yang dia lakukan.“Ini biar aku makan di mobil saja nanti. Yang buat Fania aku bawa terpisah saja.” Rani mengangguk, tersenyum dengan ide miliknya.Karena tengah semangat menyiapkan semuanya, Rani tidak menyadari kalau Doni sudah menunggunya depan kos.“Aaah, akhirnya selesai. Aku mau mandi dulu.” Rani mencium tuhunya sendiri.“Sebenarnya tidak bau, sih. Tapi, masa iya, bertemu dengan Mas Doni tanpa mandi dulu.” Rani cekikikan dengan apa yang dia pikirkan.“Kamu bikin apa?”“Eh, mamah!” Rani terlonjak, “ketika mendapati orang yang bertanya. &ldq
Setelah merasa tenang, Rani mengurai pelukan.“Terima kasih.” Tangannya mengusap jejak air mata dan ingus.“Sudah tenang?” Doni menatap.Anggukan Rani terlihat lemah, dia melirik baju yang Doni pakai, “baju Mas, jadi basah, dan ... dan ada ingusnya. Nanti Rani cucikan.” Rani memalingkan wajah dan menutup mata malu, dengan apa yang dilakukan.“Sekalian saja dengan baju kotor yang ada di rumah Saya!”“Yeeey! Dikasih hati malah minta jantung! Yang aku kotorin kan Cuma baju yang Mas pake, masa jadi semua.”“Lagian, kamu itu ada-ada saja! Membuat Saya malu.” Doni kembali menatap ke jalanan.Rani mengerutkan kening, menoleh, “maksud Mas?”“Seperti orang miskin! Baju kotor, di cuci sendiri, kan ada ART dan Loudry. Ngapain Saya perkerjakan mereka kalau masih pake tangan sendiri!”Rani mendengus, kembali kesal dengan sifat Don
Rani tidak percaya dengan apa yang dia lihat, di depannya sudah terpampang layar besar yang memperlihatkan detik-detik peluit panjang tanda permainan akan segera di mulai.“Mas, ini_”“Supaya seru, mereka akan menjadi saksi taruhan kita. Mas, harap kamu tidak mengingkari janji.”Panggilan Doni sudah berubah, dia menyebut dirinya dengan kata Mas. Membuat Rani malu, dan tersipu.“Kenapa, apa Saya harus_” Rani menutup mulut Doni.“Aku senang, Mas sudah mulai baik.”“Itu harus, karena sebentar lagi kita akan menikah, sesuai taruhan kita.”Rani menelan ludah, dia gugup, dengan apa yang akan terjadi nanti.“Jangan gugup, nikmati saja semua. Tapi Mas yakin, Mas yang akan menang.” Bisikan itu membuat Rani semakin tegang.Namun, setelah peluit panjang terdengar, Rani melupakan semua dan masuk jauh dengan situasi riuh para penonton.Pertandingan selesai membuat Rani menurunkan pundak. Dia menatap Doni yang melipat tangan dan memperlihatkan kesombongannya.“Ayo kita pulang, besok kita siapkan_”
Rani terdiam dia lebih memilih mengalah dengan tidak bicara lagi setelah melihat keseriusan Doni. “Jangan pernah mencari cara untuk menggagalkan perjanjian kita dengan otak kecil ini!” Rani menghembuskan nafas dan akhirnya turun setelah mereka sampai di depan rumah. “Jangan berharap ada yang menyambut orang rumah, karena mereka pasti sudah tidur.” Doni berucap ketika melihat Rani melihat sekeliling. “Aku lebih suka seperti ini!” Rani mendengus. “Lagian, siapa yang berharap di sambut.” Doni tersenyum, merangkul Rani untuk berjalan masuk. “Mas, lepaskan. Tidak enak_” “Mamih kira Fania berbohong.” Rani buru-buru melepaskan rangkulan Doni. “Eh, Tante. Maaf, Rani bertamu malam-malam.” Mamih Doni tersenyum, “tidak apa. Kamu sudah makan?” “Sudah, Tante.” “Syukurlah. Kalau begitu, Ran. Kita bicara besok saja, ya. Tante mengantuk.” “Eh, iya, Tanten. Sil
“Mudah-mudaaan Fania tidak bicara_”“Bicara tentang apa_ Kamu belum mandi juga!”Rani mendongak, “kiyaaa! Apa yang Mas lakukan di kamarku!” Rani terkejut sampai dia kepala terbentur tempat tidur.“Awh!” Rani meringis dan melihat Doni dari ujung mata.Bibirnya mengerucut, “biasanya laki-laki akan sigap menolong, kaya di novel-novel, begitu. Ini, malah diam saja.”“Itu salah kamu, karena tidak hati-hati. Lagian, Mas bukan laki-laki di novel, yang lebay dan terus-menerus ngurusin wanita tanpa bekerja. Ingaaat, kita itu hidup bukan cuma butuh pendamping, tapi juga butuh uang.”“Tapi apa salahnya perhatian, lagian, uang tidak akan di bawa mati.” Rani masih cemberut dan kesal.Doni mendengus, menyentil kening Rani, “uang memang tidak dibawa mati, tapi seseorang tanpa uang akan mati. Memangnya, kebutuhan untuk hidup itu gratis! Yaaa, kecuali, kalau kamu
Rani meringis, andai bisa, Rani ingin pergi segera dari acara sarapan ini. Apa lagi ketika melihat orang-orang tersenyum mendengar perkataan Pram.“Jadi, Mamah yang meminta Fania bicara seperti itu?” Doni bertanya dengan mata menatap Rani.“Emmm, tadi pagi Mamah bicara seperti itu.” Ucap Fania dengan terus mengunyah.Doni menautkan alis dan tersenyum, “gadis nakal, lihat, apa yang akan Mas lakukan padamu.”Itulah arti dari tatapan Doni pada Rani ketika mereka beradu pandang. Membuat Rani langsung menunduk.Bulu kuduknya berdiri, merasa takut dengan apa kemungkinan yang akan terjadi.“Faniaaa, apa kamu tahu, kalau Papah dan Mamah menikah, kamu akan bisa mempunyai adik bayi seperti yang kamu inginkan.”Mendengar adik bayi membuat Fania langsung antusias dan mengangguk, “benarkah itu?”“Yaaa, Papah tidak berbohong kali ini.”“Nenek, apakah itu benar?” Fania menatap Mamih Doni.“Itu mungkin saja terjadi, Sayang.”“Horeee, Fania akan punya adik bayi!”Rani mengepalkan tangan, dia tidak ha
Doni menatap, menghela nafas lalu mengambil tas di sampingnya.“Bayaran segini, cukup, kan?” Doni memberikan lima lembar uang merah.Rani langsung mengambilnya, “sudah lebih dari cukup.”Doni mendengus, melihat Rani yang mata duitan, lalu kembali pada pekerjaannya.Akhirnya Rani dan Doni sudah sampai di tempat tujuan.“Setelah ini, aku bisa pergi, kan?”“Bibi menelepon terus, kami harus bicara, Mas.” Ucap Rani ketika Doni menatapnya.“Baiklah. Bawa mobil itu, nanti kamu jemput lagi Mas.”“Kemari?” Rani menatap tidak percaya.“Ke kantor saja, Mas pergi ke sana selepas ini selesai.”Rani menghembuskan nafas lega. Karena, kalau sampai kembali ke sini, Rani akan menangis dan memilih di marahi.“Siap! Kalau begitu, aku pergi dulu.” Rani memberi hormat dan kembali ke balik kemudi.“Jangan ngebut. Ini tamba
Rani merasa lega, walaupun bau asap kendaraan mengelilinginya. Dia tidak menghiraukan itu, yang Rani rasakan saat ini kelegaan, karena sebentar lagi dia bisa lepas dari beban walaupun hanya sebentar.“Apakah aku tinggal bersama nenek saja, ya, di sana.”“Kamu tidak Saya izinkan!”“Kenapa tidak_ aaah!” Rani terlonjak, hampir saja terjungkal andai Doni tidak segera menangkapnya.“Ke, kenapa, kenapa Mas ada di sini?” ucap Rani gugup.“Saya ingin pergi ke suatu tempat, tapi sayang, tempat itu sudah di tutup karena seseorang tidak datang menjemput sampai saat ini!” Doni menatap dengan ujung matanya.Rani meringis, “maaf, aku sedikit mau kabur, karena belum siap_”Rani melotot ketika Doni meraih tengkuknya dan melumat habis bibirnya yang masih bergetar.“Sekali ucapan kabur, keluar dari mulutmu, Saya tidak akan segan menghisap, bahkan menggigit bibir dan lehermu!”Rani menutup mulut dan memegang leher dengan mata melotot.“Mas, Mas bukan hantu kan?” Rani menatap sekeliling, bulu kuduknya mu
Doni tidak mau mendengar apa pun yang istrinya katakan, dia menutup telepon dengan kasar dan melemparnya ke samping.Sedangkan di tempat lain, Rani tengah mengusap muka sembari menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu harus berbuat apa, karena saat ini, dia tidak mungkin meminta Pram untuk memutar, dan kembali ke rumah. Sebab, dia sudah janji untuk membawa Fania ke tempat mandi bola, sebagai permohonan maaf.“Kamu kenapa, sepertinya tidak baik-baik saja?” Pram menatap Rani.Dia berpikir inilah waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri pada istri kakaknya.Pram sudah tidak sabar ingin melihat raut wajah Doni yang marah dan kembali kalah dengan apa yang Pram lakukan.Dia pun akan sedikit demi sedikit mempengaruhi Rani supaya berpaling padanya seperti Fani di waktu dulu sehingga menghasilkan anak yang ada di antara mereka sekarang.“Tidak apa, Bang.” Rani malah menatap Fania yang tengah bermain dengan bonekanya.“Sayan
“Sekarang kalian bisa pergi.” Akhirnya semua pergi dan menyisakan satu wanita paruh baya yang membuat kening, Rani mengerut ketika melihatnya masih berdiri di.“Apakah masih ada yang mau Bibi tanyakan?”“Maaf, Nyonya. Masakan tadi ... maksud Saya masakan uang tadi Nyonya buat_”“Oh, iya. Kalian bisa memakannya. Saya sudah tidak berselera, lagian sebentar lagi Saya pergi.”Pekerja itu mengangguk dan pergi. “Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu sudah tidak sakit lagi?”“Sakit, aku?” Rani mengerutkan kening, tapi tidak lama menggeleng, “itu sudah tidak apa. Sekarang aku mau bertemu dengan Fania. Aku rindu. Semalam Mas malah langsung membawaku sebelum melihatnya.”Doni tersenyum, mengikuti istrinya pergi. Akan tetapi, sebelum Rani mencapai pintu rumah, dia langsung menarik Rani supaya medekat padanya.“Kamu pergi dengan, Pram?” Doni menatap sang istri yang malah melambaikan tangan. Sehingga dengan cepat Doni meraih tangan itu dan membawanya ke sebalik badan.“Mas tidak akan mengizinkan kam
“Tidak usah, aku masak sendiri saja.” Rani memilih melangkah ke dapur dan menyiapkan semua yang ingin dia makan.“Maaf, Nyonya. Pak Doni itu tidak suka nasi goreng yang di campur telur. Dia lebih suka yang telurnya di simpan di atas nasi dan ditaburi bawang goreng.” Ucap si pembantu dengan bangga karena dia bisa menghafal semua yang disukai sang tuan.Sedangkan Rani langsung berhenti dan mengerutkan kening, “apakah kamu meragukan apa yang akan Saya buatkan untuk, suami Saya?” Rani menekankan kata terakhir sembari melipat tangan.“Yang istrinya itu kamu, apa Saya?” Rani menatap lekat sang pembantu yang sepertinya merasa jadi Nyonya rumah.“Eh, m-maaf, maaf Nyonya. Saya tidak bermaksud demikian. Tapi yang Saya_”“Benarkah begitu! Kalau begitu Saya tidak peduli!” Rani memberikan tatapan tajam.“Kamu bisa pergi dari sini! Jangan ngelunjak!” Rani kembali pada kegiatannya.“Di sini, Saya Nyonya kamu!” Rani benar-benar kesal.
“Maaas!” Dengan cepat Rani mengalungkan tangan di leher sang suami.“Masih sakit, kan.” Ucap Doni tanpa menggubris rengekan sang istri yang ingin turun.Dia membaringkan tubuh Rani dengan hati-hati. “Maaas, aku cape.” Mata Rani terbuka ketika merasakan embusan nafas Doni mendekat.Doni mengulum senyum, “iyaaa, Mas, tahu. Mas hanya ingin_” Doni mendaratkan kecupan di kening.“Selamat malam, Sayang.” Rani tersenyum, dia tidak menyangka kalau Doni bisa semanis itu.“Sekarang, ayo kita tidur.” Doni membawa Rani dalam pelukan setelah menyelimuti tubuh mereka berdua.Rani pun semakin dalam menyembunyikan kepala di pelukan hangat suaminya, dan akhirnya mereka pun tidur dengan saling memeluk membawa hati bahagia ke peraduan yang akan merubah semua kehidupan keduanya.*** Rani terbangun dengan uluman senyum menghiasi wajahnya. Dia tidak menyangka mulai hari ini dia benar-benar sudah menjadi seorang i
Rani melipat bibir ke dalam dengan tangan saling berpautan dan mata tidak berani menatap.Doni menghembuskan nafas, meraih dagu sang istri, “tatap Mas, Sayaaang. Katakan, sejak kapan kamu sering bertukar kabar dengan Pram.”Rani terdiam dengan otak bekerja mencari alasan yang tepat supaya sang suami tidak marah.“Mas, tidak butuh diammu, Rani. Yang Mas butuh kan kejujuran dari istri Mas.”Doni berucap pelan di depan telinga, membuat Rani berjengket. Andai pinggangnya tidak di pegang, mungkin dia tersungkur.“Hati-hati Sayaaang, Mas hanya minta kejujur.”Rani menghembuskan nafas, dan akhirnya mau tidak mau Rani pun membalas tatapan Doni dengan menelan saliva seret.“Emmm, sebenarnya, sudah lama. Kalau tidak salah ketika di antar pulang waktu dari rumah sakit.”Doni terkejut, tubuhnya menegang menatap sang istri mencari kebohongan, namun dia tidak mendapatkannya. Hati Doni mulai tidak tenang.“Apa kalian sering bertemu di luar atau di rumah tanpa se_”“Tidak dan iyah!”Rani cemberut dan
Rani di bawa masuk ke kamar dan di jatuhkan sedikit kasar, membuat dia menjerit.“Bisa kan pelan-pelan, sakit tahu!” Rani menggerutu dan duduk di atas kasur.“Itu hukuman kamu karena tidak bisa diam.”“Ya wajarlah aku berontak, Mas bikin aku malu di depan Mamih dan orang rumah.”Doni tidak menggubrisnya, dia malah masuk ke kamar mandi tanpa berucap sedikit pun.“Mas, tenggorokannya sakit, ya? Perasaan dari tadi aku yang jerit-jerit.”Doni mendengus, sembari menatap Rani dengan ujung matanya.Rani yang melihat itu hanya mengedikkan bahu. Dia malah turun menapaki kaki yang sedikit berjinjit.“Jangan coba-coba untuk kabur! Kita selesaikan semua hari ini.”Rani mengangguk sebelum Doni menutup pintu kamar mandi, dan dia pun keluar.Perutnya terasa lapar karena, sejak pulang dari supermarket dia belum makan apa-apa.“Perutku lapar sekali, mudah-mudahan ada yang bisa di makan.” Ucap Rani sembari mengusap perut yang sudah berdemo.Namun, semua dipatahkan dengan cukup keras ketika Rani membuka
Doni melepaskan tangan Mawar, berlari dan kembali menghampiri Rani, “Sayaaang, Mas mohon, jangan seperti ini.”“Seperti apa, Mas?”“Emmm,” Doni tidak bisa menjawab. Dia merasa pertanyaan itu sebuah jebakan yang akhirnya bisa merugikan dirinya.“Maaas, apa?”“Kamu pulang ke rumah kita, ya. Nanti Mas pulang ke sana.” Doni mengalihkan pembicaraan dan meraih kepala Rani pun mendaratkan satu kecupan di kening.Setelah itu, Doni pergi kembali pada Mawar dan belanjaan mereka.Rani menghembuskan nafas menatap kepergian suaminya, “sepertinya aku harus berpikir ulang.” Gumamnya sembari naik ke mobil dan akhirnya pulang bersama Pram.Pram berdehem menatap Rani dari kaca depan, “emmm, kita pulang ke_”“Rumah utama saja, Bang. Rumah itu kan jauh. Kasihan Fania, dia sudah ingin tidur di kasur empuk. Lagian, Mamih pasti sudah merindukan cucunya."Pram mengangguk, akhirnya Rani pun di bawa pulang ke rumah uta
Kedua orang itu, mengangguk karena baru sadar. Dengan cepat mereka berjalan kembali, apalagi sudah banyak orang yang memperhatikan, seolah pikiran keponya memberontak."Siap! ayo kita pergiiii!"Doni menggendong Fania, membawa mengelilingi supermarket seperti kapal terbang.Rani kembali mengusap ujung mata dan tersenyum melihat kekonyolan orang yang saat ini sudah menjadi yang terpenting dalam hidupnya.“Maafkan Rani, Kak. Sepertinya hati Rani mulai terbuka untuk suami Rani.” Rani mengusap dadanya yang bergemuruh dan menghela nafas berat.“Jangan terlalu berharap banyak, Ran. Kamu harus sadar dengan apa yang kamu rasakan. Di hatinya masih bertakhta kan nama orang lain.” Gumam Rani sembari berjalan mengekori anak dan suaminya.“Loh, Mas! kita kan belum_” Pundak Rani melorot melihat Doni dan Fania pergi.Dengan langkah pelan, Rani berbelok untuk mengambil troli belanjaan.Setelahnya dia tidak lagi menghiraukan anak dan suami yang sudah tidak terlihat rimbanya.“Nanti juga mereka mencar
“Bagaimana ini, Bu. Semua tidak mau dengan apa yang Bu Rani sarankan. Haruskah_”“Tidak usah, Bu. Kita pakai cara ambil suara saja, dan karena tadi banyak yang menyetujui, kita ambil kesimpulan saja, kalau kita tetap tidak mengizinkan untuk membawa mobil pribadi.”“Baiklah. Kalau begitu, nanti Saya bagikan suratnya lewat grup.”Rani tersenyum, “terima kasih, Bu. Kalau begitu Saya pamit undur diri.”“Silakan, Bu. Terima kasih atas kerja samanya.” “Sama-sama, Bu.” Rani menerima uluran tangan Bu Ira dan pergi untuk menemui Fania yang tengah bersama satpam sekolah.“Mamaaah!” Fania berlari menghampiri Rani yang tersenyum sambil merentangkan tangan.“Kamu keluar dari tadi, Sayang?”Fania menggeleng, “baru saja, Mah.”“Ok. Sekarang kamu mau ke mana? Apa mau langsung pulang, atau kita_”“Papaaah!” Fani kembali menghampiri Doni yang baru saja datang.“Aduuuh, ternyata Papahnya Fania itu sangat mengerikan.”Rani mengerutkan kening ketika mendengar ucapan salah satu wali murid yang terus men