Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.
“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”
Doni mengerutkan kening,
“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”
“Maksud kamu?”
“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”
Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.
“Jangan _”
“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.
Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.
Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.
“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Doni kembali teringat ketika Fani tengah terbaring di rumah sakit.
“Don, Fani kecelakaan, saat ini tengah dirawat di rumah sakit.” Mamih menelepon Doni yang tengah di luar kota.
“Apa! Ya ampuuun, kapan itu Mih?”
“Baru saja, Mamih mendapatkan telepon dari polisi, Don. Sekarang Kamu harus_”
“Apa Mamih bisa menanganinya sebentar? Doni harus mengikuti rapat sebentar. Ini untuk perkembangan perusahaan, Mih.”
Sang Mamih terdengar menghela nafas, “baiklah. Tapi kamu harus segera pulang!” Telepon pun tertutup rapat.
Doni berhenti di lampu merah, dia mengusap wajah teringat kejadian itu.
“Tapi itu terjadi karena_” Mata Doni melotot ketika menoleh ke samping.
Dia terkejut, tangannya terkepal kuat menatap dua orang berlainan jenis tengah berboncengan.
“Ternyata karna ini kamu menolak menikah denganku!” Tangannya semakin mencengkeram kuat melihat wanita yang di bonceng tertawa.
Wanita itu tidak lain dan tidak bukan selain Rani, wanita yang memilih pergi meninggalkan Doni dan Fania.
“Apa hebatnya laki-laki itu, sampai kamu menolak menikah dengan Saya!” Doni semakin mengeratkan pegangannya.
“Lihat saja nanti, akan aku buat kamu tidak bisa menolak apa yang aku inginkan!” Ucap Doni sembari menginjak gas dan meluncur pergi.
Doni bertekad untuk tidak lagi membiarkan seseorang mengambil kebahagiaannya. Dia akan menggenggam semua dengan kuat supaya tidak akan pernah bisa pergi.
Sedangkan Rani yang tengah di bonceng Tori hanya bisa menatap langit malam.
“Ran, ngoceh lagi dah! Ko sepi.”
“Yeeeh, ngoceh apaan! Emangnya ini acara kawinan, apa.”
“Lah, bukannya ini memang acara kawinan! Kawinan embak Kunti dan genderuwo.”
Rani akhirnya bisa tertawa, inilah yang membuat Rani cukup betah dan nyaman dengan Tori.
Dia tidak pernah bertanya apa ada masalah ataupun apa itu, tapi dia bisa mencairkan suasana hati menjadi lebih ringan.
“Tor, apa kita bisa jangan dulu pulang?” Rani menyenderkan kepalanya dipunggung Tori, “aku tidak mau pulang.”
Tori tersenyum, “baik, Bos! Akan aku bawa kamu ke mana pun yang kamu mau.” Tori akhirnya membelokkan motor ke tempat yang dia pikir Rani akan suka.
Tanpa mereka sadari, Doni yang ada di dalam mobil, tengah membuntuti mereka berdua.
Sepuluh menit yang lalu, Doni yang telah melaju lebih dahulu akhirnya kembali ke tempat Rani tadi.
Namun sayang, dia tidak menemukan Rani yang tengah di bonceng Tori.
“Sial! Kenapa tadi aku harus pergi!” Doni mengumpat sendiri.
Doni menatap sekeliling mencari petunjuk untuk bisa menemukan Rani. Dia tidak berhenti, dia terus menelusuri dan akhirnya menemukannya.
Rani dan Tori turun di jembatan layang, mereka bisa melihat kelap kelip lampu kendaraan dan juga lampu gedung yang begitu indah.
“Kamu suka?” Tori menatap wanita yang sejak dulu tidak pernah dia tinggalkan. Dan dia yakin, kalau wanita di sampingnya ini akan menjadi istrinya suatu hari nanti.
“Aaaaah!” Rani berteriak cukup kencang dan tertawa, namun lama-lama tawa itu menjadi tangisan.
Doni yang melihat itu akhirnya turun, dia melangkah cepat ketika menyadari ada laki-laki lain yang hendak memeluk calon istrinya.
Doni menarik Rani dan memeluknya, “kenapa kamu menangis di sini?”
“Heeey, siapa_”
Doni memperlihatkan jari manisnya, dan itu membuat Tori terdiam. Dia bukan orang bodoh, dia tahu apa artinya itu.
Tapi yang jadi pertanyaan, kapan Rani bersama dengan orang itu, karena yang dia tahu, sampai kemarin Rani masih sendiri.
“Kamu bisa pergi. Biarkan dia bersama Saya.” Doni mengusap kepala Rani yang masih menangis tanpa sadar siapa yang memeluknya.
Tori mengangguk, “aku titipkan dia, jangan sampai dia menangis lagi, kalau itu terjadi, jangan salahkan Saya untuk mengambilnya.” Tori pergi meninggalkan keduanya dengan penuh tanda tanya di otaknya.
Rani yang mendengar suara motor pergi langsung sadar, “Tor, maaf_” Ucapannya terhenti ketika sadar siapa yang memeluknya.
“Anda?”
“Sudah puas menangisnya?” Doni pelepasan pelukan dan menatap ke depan.
“Apa ini kebiasaan Kamu, menangis di depan laki-laki lain?”
Rani mengerutkan kening, “maksud Anda?”
“Kenapa tidak menangis di depan Saya, yang notabene merupakan calon suami Kamu?”
Rani menoleh ke samping, “siapa Anda, kenapa bisa bilang kalau Anda calon suami Saya?”
“Bukankah itu benar?” Doni memperlihatkan jari manisnya yang terpasang cincin.
Rani langsung menatap ke jarinya sendiri dan dia baru sadar kalau di sana sudah melingkar cincin yang sama dengan yang ada di jari manis Doni.
“Apa yang Anda lakukan, dan, dan kapan ini terpasang di jari manis Saya?” Rani memperlihatkan jari manisnya.
Doni tersenyum, tangannya terulur mengusap kepala Rani, “makanya, kalau mau menangis jangan di sembarang tempat.”
Rani cemberut, “memangnya siapa yang membuat Saya jadi seperti ini!”
Doni tersenyum, tangannya menangkap kedua pipi Rani, “memangnya kapan Saya membuat Kamu menangis?”
“Dasar tidak berperasaan! Siapa yang melarang Saya tidak boleh bertemu dengan Fania?”
“Jadi kamu sedih?” Doni tersenyum.
Dia baru sadar, ternyata hati Rani tidak seperti wanita yang biasa mendekatinya yang hanya menginginkan dirinya dan juga hartanya.
“Ya pastilah!” Rani menyolot kesal.
Doni tertawa dan membawa Rani dalam pelukan, “terima kasih. Kamu sudah membuat Saya merasa tenang dan akan terus meminta kamu menjadi istri Saya sampai semua terwujud.”
“Heeey, siapa yang_” Rani berontak, membuat Doni mengeratkan pelukannya.
“Iya-iya. Saya akan secepatnya menyelesaikan semua yang bersangkutan dengan Mawar. Kamu tunggu saja, dan_” Doni menjauhkan Rani dan kembali menangkap kedua pipinya.
“Jangan pernah melirik atau pun menerima orang lain. Jangan biarkan, mereka memeluk kamu, ok!”
“Tergantung! Seberapa bisanya Anda memegang Saya. Kalau sampai itu longgar, mungkin saja_”
Tanpa permisi, Doni langsung melahap bibir Rani, membuat Rani terkejut, karena itu ciuman pertamanya yang selama 20 tahu dia jaga.
Dan sekarang, diambil duda beranak satu. Sungguh, ini bencana untuk seorang Rani.
“Apa ini yang pertama?” Doni yang sudah sadar menatap Rani.
Tanpa mendengar ucapan Rani, Doni tahu, kalau itu memang benar. Dia memeluk Rani semakin erat, dia bahagia dan semakin yakin tidak akan melepaskan Rani untuk orang lain.
“Terima kasih. Menjadikan Saya yang pertama.”
Rani merasa malu dan menyembunyikan wajahnya di pelukan Doni yang tertawa bahagia.
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un
Doni langsung membekap Rani dengan ciuman, tanpa memedulikan orang lain yang melihat kelakuannya.“emmmh!” Rani memukul dada Doni karena kehabisan nafas.“Apa ... yang ... An, Mas lakukan!” Rani bicara dengan nafas yang tersengal-sengal.“Non Rani tidak apa?” Pak satpam menegur ketika dia sadar dari sok.“Apa perlu Saya_”Rani menggeleng, “tidak apa-apa, Pak. Dia_”“Saya calon suaminya, jadi bisakah Saya membawanya malam ini?” Doni maju sembari menggenggam tangan Rani.“Oooh, calon suami. Tapi, maaf Den. Bapak tidak bisa mengizinkan_”“Bapak, jangan takut, Saya membawanya ke rumah ujung!” Doni menunjuk jalan sebelah kanan darinya sekarang.Satpam terkejut karena, rumah ujung adalah rumah paling besar, dan itu dihuni oleh seorang laki-laki yang begitu dermawan. Seluruh penghuni di kawasan itu pasti kenal dengannya pun men
“Maaf, karena waktu itu ada sesuatu yang terjadi dengan Mawar, sehingga Saya mengabaikan pesan darimu. Emmmh ... soal pesan itu, karena Saya ...”“Dadar laki-laki berengsek! Tidak punya pendirian, sudah janji mau nikahi orang malah ngajak nikah!”Doni tertegun dengan apa yang Rani katakan, dia menatap Rani dan semakin terkejut ketika melihat Rani tertidur.Dia mengulum senyum dan menatap Rani yang mendengkur halus.“Dasar kamu! Sebegitu kecewakah kamu sama Saya, dalam mimpi pun masih bisa memaki.” Doni mengusap pipi Rani, dan cepat-cepat keluar dari mobil.Doni membawa Rani masuk, setelah seseorang membukakan pintu.“Lo menculik anak orang!” Dia menatap terkejut.“Berisik! Kamarnya sudah siap, bukan?”“Yaaa, seperti yang Tuan inginkan.” Ucapnya mengejek.Doni masuk menuju kamar yang biasa dia gunakan ketika datang ke rumah tersebut.Setelah me