Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.
“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”
Doni mengerutkan kening,
“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”
“Maksud kamu?”
“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”
Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.
“Jangan _”
“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.
Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.
Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.
“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Doni kembali teringat ketika Fani tengah terbaring di rumah sakit.
“Don, Fani kecelakaan, saat ini tengah dirawat di rumah sakit.” Mamih menelepon Doni yang tengah di luar kota.
“Apa! Ya ampuuun, kapan itu Mih?”
“Baru saja, Mamih mendapatkan telepon dari polisi, Don. Sekarang Kamu harus_”
“Apa Mamih bisa menanganinya sebentar? Doni harus mengikuti rapat sebentar. Ini untuk perkembangan perusahaan, Mih.”
Sang Mamih terdengar menghela nafas, “baiklah. Tapi kamu harus segera pulang!” Telepon pun tertutup rapat.
Doni berhenti di lampu merah, dia mengusap wajah teringat kejadian itu.
“Tapi itu terjadi karena_” Mata Doni melotot ketika menoleh ke samping.
Dia terkejut, tangannya terkepal kuat menatap dua orang berlainan jenis tengah berboncengan.
“Ternyata karna ini kamu menolak menikah denganku!” Tangannya semakin mencengkeram kuat melihat wanita yang di bonceng tertawa.
Wanita itu tidak lain dan tidak bukan selain Rani, wanita yang memilih pergi meninggalkan Doni dan Fania.
“Apa hebatnya laki-laki itu, sampai kamu menolak menikah dengan Saya!” Doni semakin mengeratkan pegangannya.
“Lihat saja nanti, akan aku buat kamu tidak bisa menolak apa yang aku inginkan!” Ucap Doni sembari menginjak gas dan meluncur pergi.
Doni bertekad untuk tidak lagi membiarkan seseorang mengambil kebahagiaannya. Dia akan menggenggam semua dengan kuat supaya tidak akan pernah bisa pergi.
Sedangkan Rani yang tengah di bonceng Tori hanya bisa menatap langit malam.
“Ran, ngoceh lagi dah! Ko sepi.”
“Yeeeh, ngoceh apaan! Emangnya ini acara kawinan, apa.”
“Lah, bukannya ini memang acara kawinan! Kawinan embak Kunti dan genderuwo.”
Rani akhirnya bisa tertawa, inilah yang membuat Rani cukup betah dan nyaman dengan Tori.
Dia tidak pernah bertanya apa ada masalah ataupun apa itu, tapi dia bisa mencairkan suasana hati menjadi lebih ringan.
“Tor, apa kita bisa jangan dulu pulang?” Rani menyenderkan kepalanya dipunggung Tori, “aku tidak mau pulang.”
Tori tersenyum, “baik, Bos! Akan aku bawa kamu ke mana pun yang kamu mau.” Tori akhirnya membelokkan motor ke tempat yang dia pikir Rani akan suka.
Tanpa mereka sadari, Doni yang ada di dalam mobil, tengah membuntuti mereka berdua.
Sepuluh menit yang lalu, Doni yang telah melaju lebih dahulu akhirnya kembali ke tempat Rani tadi.
Namun sayang, dia tidak menemukan Rani yang tengah di bonceng Tori.
“Sial! Kenapa tadi aku harus pergi!” Doni mengumpat sendiri.
Doni menatap sekeliling mencari petunjuk untuk bisa menemukan Rani. Dia tidak berhenti, dia terus menelusuri dan akhirnya menemukannya.
Rani dan Tori turun di jembatan layang, mereka bisa melihat kelap kelip lampu kendaraan dan juga lampu gedung yang begitu indah.
“Kamu suka?” Tori menatap wanita yang sejak dulu tidak pernah dia tinggalkan. Dan dia yakin, kalau wanita di sampingnya ini akan menjadi istrinya suatu hari nanti.
“Aaaaah!” Rani berteriak cukup kencang dan tertawa, namun lama-lama tawa itu menjadi tangisan.
Doni yang melihat itu akhirnya turun, dia melangkah cepat ketika menyadari ada laki-laki lain yang hendak memeluk calon istrinya.
Doni menarik Rani dan memeluknya, “kenapa kamu menangis di sini?”
“Heeey, siapa_”
Doni memperlihatkan jari manisnya, dan itu membuat Tori terdiam. Dia bukan orang bodoh, dia tahu apa artinya itu.
Tapi yang jadi pertanyaan, kapan Rani bersama dengan orang itu, karena yang dia tahu, sampai kemarin Rani masih sendiri.
“Kamu bisa pergi. Biarkan dia bersama Saya.” Doni mengusap kepala Rani yang masih menangis tanpa sadar siapa yang memeluknya.
Tori mengangguk, “aku titipkan dia, jangan sampai dia menangis lagi, kalau itu terjadi, jangan salahkan Saya untuk mengambilnya.” Tori pergi meninggalkan keduanya dengan penuh tanda tanya di otaknya.
Rani yang mendengar suara motor pergi langsung sadar, “Tor, maaf_” Ucapannya terhenti ketika sadar siapa yang memeluknya.
“Anda?”
“Sudah puas menangisnya?” Doni pelepasan pelukan dan menatap ke depan.
“Apa ini kebiasaan Kamu, menangis di depan laki-laki lain?”
Rani mengerutkan kening, “maksud Anda?”
“Kenapa tidak menangis di depan Saya, yang notabene merupakan calon suami Kamu?”
Rani menoleh ke samping, “siapa Anda, kenapa bisa bilang kalau Anda calon suami Saya?”
“Bukankah itu benar?” Doni memperlihatkan jari manisnya yang terpasang cincin.
Rani langsung menatap ke jarinya sendiri dan dia baru sadar kalau di sana sudah melingkar cincin yang sama dengan yang ada di jari manis Doni.
“Apa yang Anda lakukan, dan, dan kapan ini terpasang di jari manis Saya?” Rani memperlihatkan jari manisnya.
Doni tersenyum, tangannya terulur mengusap kepala Rani, “makanya, kalau mau menangis jangan di sembarang tempat.”
Rani cemberut, “memangnya siapa yang membuat Saya jadi seperti ini!”
Doni tersenyum, tangannya menangkap kedua pipi Rani, “memangnya kapan Saya membuat Kamu menangis?”
“Dasar tidak berperasaan! Siapa yang melarang Saya tidak boleh bertemu dengan Fania?”
“Jadi kamu sedih?” Doni tersenyum.
Dia baru sadar, ternyata hati Rani tidak seperti wanita yang biasa mendekatinya yang hanya menginginkan dirinya dan juga hartanya.
“Ya pastilah!” Rani menyolot kesal.
Doni tertawa dan membawa Rani dalam pelukan, “terima kasih. Kamu sudah membuat Saya merasa tenang dan akan terus meminta kamu menjadi istri Saya sampai semua terwujud.”
“Heeey, siapa yang_” Rani berontak, membuat Doni mengeratkan pelukannya.
“Iya-iya. Saya akan secepatnya menyelesaikan semua yang bersangkutan dengan Mawar. Kamu tunggu saja, dan_” Doni menjauhkan Rani dan kembali menangkap kedua pipinya.
“Jangan pernah melirik atau pun menerima orang lain. Jangan biarkan, mereka memeluk kamu, ok!”
“Tergantung! Seberapa bisanya Anda memegang Saya. Kalau sampai itu longgar, mungkin saja_”
Tanpa permisi, Doni langsung melahap bibir Rani, membuat Rani terkejut, karena itu ciuman pertamanya yang selama 20 tahu dia jaga.
Dan sekarang, diambil duda beranak satu. Sungguh, ini bencana untuk seorang Rani.
“Apa ini yang pertama?” Doni yang sudah sadar menatap Rani.
Tanpa mendengar ucapan Rani, Doni tahu, kalau itu memang benar. Dia memeluk Rani semakin erat, dia bahagia dan semakin yakin tidak akan melepaskan Rani untuk orang lain.
“Terima kasih. Menjadikan Saya yang pertama.”
Rani merasa malu dan menyembunyikan wajahnya di pelukan Doni yang tertawa bahagia.
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un
Doni langsung membekap Rani dengan ciuman, tanpa memedulikan orang lain yang melihat kelakuannya.“emmmh!” Rani memukul dada Doni karena kehabisan nafas.“Apa ... yang ... An, Mas lakukan!” Rani bicara dengan nafas yang tersengal-sengal.“Non Rani tidak apa?” Pak satpam menegur ketika dia sadar dari sok.“Apa perlu Saya_”Rani menggeleng, “tidak apa-apa, Pak. Dia_”“Saya calon suaminya, jadi bisakah Saya membawanya malam ini?” Doni maju sembari menggenggam tangan Rani.“Oooh, calon suami. Tapi, maaf Den. Bapak tidak bisa mengizinkan_”“Bapak, jangan takut, Saya membawanya ke rumah ujung!” Doni menunjuk jalan sebelah kanan darinya sekarang.Satpam terkejut karena, rumah ujung adalah rumah paling besar, dan itu dihuni oleh seorang laki-laki yang begitu dermawan. Seluruh penghuni di kawasan itu pasti kenal dengannya pun men
“Maaf, karena waktu itu ada sesuatu yang terjadi dengan Mawar, sehingga Saya mengabaikan pesan darimu. Emmmh ... soal pesan itu, karena Saya ...”“Dadar laki-laki berengsek! Tidak punya pendirian, sudah janji mau nikahi orang malah ngajak nikah!”Doni tertegun dengan apa yang Rani katakan, dia menatap Rani dan semakin terkejut ketika melihat Rani tertidur.Dia mengulum senyum dan menatap Rani yang mendengkur halus.“Dasar kamu! Sebegitu kecewakah kamu sama Saya, dalam mimpi pun masih bisa memaki.” Doni mengusap pipi Rani, dan cepat-cepat keluar dari mobil.Doni membawa Rani masuk, setelah seseorang membukakan pintu.“Lo menculik anak orang!” Dia menatap terkejut.“Berisik! Kamarnya sudah siap, bukan?”“Yaaa, seperti yang Tuan inginkan.” Ucapnya mengejek.Doni masuk menuju kamar yang biasa dia gunakan ketika datang ke rumah tersebut.Setelah me
Doni tidak mau mendengar apa pun yang istrinya katakan, dia menutup telepon dengan kasar dan melemparnya ke samping.Sedangkan di tempat lain, Rani tengah mengusap muka sembari menghembuskan nafas kasar. Dia tidak tahu harus berbuat apa, karena saat ini, dia tidak mungkin meminta Pram untuk memutar, dan kembali ke rumah. Sebab, dia sudah janji untuk membawa Fania ke tempat mandi bola, sebagai permohonan maaf.“Kamu kenapa, sepertinya tidak baik-baik saja?” Pram menatap Rani.Dia berpikir inilah waktu yang tepat untuk lebih mendekatkan diri pada istri kakaknya.Pram sudah tidak sabar ingin melihat raut wajah Doni yang marah dan kembali kalah dengan apa yang Pram lakukan.Dia pun akan sedikit demi sedikit mempengaruhi Rani supaya berpaling padanya seperti Fani di waktu dulu sehingga menghasilkan anak yang ada di antara mereka sekarang.“Tidak apa, Bang.” Rani malah menatap Fania yang tengah bermain dengan bonekanya.“Sayan
“Sekarang kalian bisa pergi.” Akhirnya semua pergi dan menyisakan satu wanita paruh baya yang membuat kening, Rani mengerut ketika melihatnya masih berdiri di.“Apakah masih ada yang mau Bibi tanyakan?”“Maaf, Nyonya. Masakan tadi ... maksud Saya masakan uang tadi Nyonya buat_”“Oh, iya. Kalian bisa memakannya. Saya sudah tidak berselera, lagian sebentar lagi Saya pergi.”Pekerja itu mengangguk dan pergi. “Kamu mau pergi ke mana? Apa kamu sudah tidak sakit lagi?”“Sakit, aku?” Rani mengerutkan kening, tapi tidak lama menggeleng, “itu sudah tidak apa. Sekarang aku mau bertemu dengan Fania. Aku rindu. Semalam Mas malah langsung membawaku sebelum melihatnya.”Doni tersenyum, mengikuti istrinya pergi. Akan tetapi, sebelum Rani mencapai pintu rumah, dia langsung menarik Rani supaya medekat padanya.“Kamu pergi dengan, Pram?” Doni menatap sang istri yang malah melambaikan tangan. Sehingga dengan cepat Doni meraih tangan itu dan membawanya ke sebalik badan.“Mas tidak akan mengizinkan kam
“Tidak usah, aku masak sendiri saja.” Rani memilih melangkah ke dapur dan menyiapkan semua yang ingin dia makan.“Maaf, Nyonya. Pak Doni itu tidak suka nasi goreng yang di campur telur. Dia lebih suka yang telurnya di simpan di atas nasi dan ditaburi bawang goreng.” Ucap si pembantu dengan bangga karena dia bisa menghafal semua yang disukai sang tuan.Sedangkan Rani langsung berhenti dan mengerutkan kening, “apakah kamu meragukan apa yang akan Saya buatkan untuk, suami Saya?” Rani menekankan kata terakhir sembari melipat tangan.“Yang istrinya itu kamu, apa Saya?” Rani menatap lekat sang pembantu yang sepertinya merasa jadi Nyonya rumah.“Eh, m-maaf, maaf Nyonya. Saya tidak bermaksud demikian. Tapi yang Saya_”“Benarkah begitu! Kalau begitu Saya tidak peduli!” Rani memberikan tatapan tajam.“Kamu bisa pergi dari sini! Jangan ngelunjak!” Rani kembali pada kegiatannya.“Di sini, Saya Nyonya kamu!” Rani benar-benar kesal.
“Maaas!” Dengan cepat Rani mengalungkan tangan di leher sang suami.“Masih sakit, kan.” Ucap Doni tanpa menggubris rengekan sang istri yang ingin turun.Dia membaringkan tubuh Rani dengan hati-hati. “Maaas, aku cape.” Mata Rani terbuka ketika merasakan embusan nafas Doni mendekat.Doni mengulum senyum, “iyaaa, Mas, tahu. Mas hanya ingin_” Doni mendaratkan kecupan di kening.“Selamat malam, Sayang.” Rani tersenyum, dia tidak menyangka kalau Doni bisa semanis itu.“Sekarang, ayo kita tidur.” Doni membawa Rani dalam pelukan setelah menyelimuti tubuh mereka berdua.Rani pun semakin dalam menyembunyikan kepala di pelukan hangat suaminya, dan akhirnya mereka pun tidur dengan saling memeluk membawa hati bahagia ke peraduan yang akan merubah semua kehidupan keduanya.*** Rani terbangun dengan uluman senyum menghiasi wajahnya. Dia tidak menyangka mulai hari ini dia benar-benar sudah menjadi seorang i
Rani melipat bibir ke dalam dengan tangan saling berpautan dan mata tidak berani menatap.Doni menghembuskan nafas, meraih dagu sang istri, “tatap Mas, Sayaaang. Katakan, sejak kapan kamu sering bertukar kabar dengan Pram.”Rani terdiam dengan otak bekerja mencari alasan yang tepat supaya sang suami tidak marah.“Mas, tidak butuh diammu, Rani. Yang Mas butuh kan kejujuran dari istri Mas.”Doni berucap pelan di depan telinga, membuat Rani berjengket. Andai pinggangnya tidak di pegang, mungkin dia tersungkur.“Hati-hati Sayaaang, Mas hanya minta kejujur.”Rani menghembuskan nafas, dan akhirnya mau tidak mau Rani pun membalas tatapan Doni dengan menelan saliva seret.“Emmm, sebenarnya, sudah lama. Kalau tidak salah ketika di antar pulang waktu dari rumah sakit.”Doni terkejut, tubuhnya menegang menatap sang istri mencari kebohongan, namun dia tidak mendapatkannya. Hati Doni mulai tidak tenang.“Apa kalian sering bertemu di luar atau di rumah tanpa se_”“Tidak dan iyah!”Rani cemberut dan
Rani di bawa masuk ke kamar dan di jatuhkan sedikit kasar, membuat dia menjerit.“Bisa kan pelan-pelan, sakit tahu!” Rani menggerutu dan duduk di atas kasur.“Itu hukuman kamu karena tidak bisa diam.”“Ya wajarlah aku berontak, Mas bikin aku malu di depan Mamih dan orang rumah.”Doni tidak menggubrisnya, dia malah masuk ke kamar mandi tanpa berucap sedikit pun.“Mas, tenggorokannya sakit, ya? Perasaan dari tadi aku yang jerit-jerit.”Doni mendengus, sembari menatap Rani dengan ujung matanya.Rani yang melihat itu hanya mengedikkan bahu. Dia malah turun menapaki kaki yang sedikit berjinjit.“Jangan coba-coba untuk kabur! Kita selesaikan semua hari ini.”Rani mengangguk sebelum Doni menutup pintu kamar mandi, dan dia pun keluar.Perutnya terasa lapar karena, sejak pulang dari supermarket dia belum makan apa-apa.“Perutku lapar sekali, mudah-mudahan ada yang bisa di makan.” Ucap Rani sembari mengusap perut yang sudah berdemo.Namun, semua dipatahkan dengan cukup keras ketika Rani membuka
Doni melepaskan tangan Mawar, berlari dan kembali menghampiri Rani, “Sayaaang, Mas mohon, jangan seperti ini.”“Seperti apa, Mas?”“Emmm,” Doni tidak bisa menjawab. Dia merasa pertanyaan itu sebuah jebakan yang akhirnya bisa merugikan dirinya.“Maaas, apa?”“Kamu pulang ke rumah kita, ya. Nanti Mas pulang ke sana.” Doni mengalihkan pembicaraan dan meraih kepala Rani pun mendaratkan satu kecupan di kening.Setelah itu, Doni pergi kembali pada Mawar dan belanjaan mereka.Rani menghembuskan nafas menatap kepergian suaminya, “sepertinya aku harus berpikir ulang.” Gumamnya sembari naik ke mobil dan akhirnya pulang bersama Pram.Pram berdehem menatap Rani dari kaca depan, “emmm, kita pulang ke_”“Rumah utama saja, Bang. Rumah itu kan jauh. Kasihan Fania, dia sudah ingin tidur di kasur empuk. Lagian, Mamih pasti sudah merindukan cucunya."Pram mengangguk, akhirnya Rani pun di bawa pulang ke rumah uta
Kedua orang itu, mengangguk karena baru sadar. Dengan cepat mereka berjalan kembali, apalagi sudah banyak orang yang memperhatikan, seolah pikiran keponya memberontak."Siap! ayo kita pergiiii!"Doni menggendong Fania, membawa mengelilingi supermarket seperti kapal terbang.Rani kembali mengusap ujung mata dan tersenyum melihat kekonyolan orang yang saat ini sudah menjadi yang terpenting dalam hidupnya.“Maafkan Rani, Kak. Sepertinya hati Rani mulai terbuka untuk suami Rani.” Rani mengusap dadanya yang bergemuruh dan menghela nafas berat.“Jangan terlalu berharap banyak, Ran. Kamu harus sadar dengan apa yang kamu rasakan. Di hatinya masih bertakhta kan nama orang lain.” Gumam Rani sembari berjalan mengekori anak dan suaminya.“Loh, Mas! kita kan belum_” Pundak Rani melorot melihat Doni dan Fania pergi.Dengan langkah pelan, Rani berbelok untuk mengambil troli belanjaan.Setelahnya dia tidak lagi menghiraukan anak dan suami yang sudah tidak terlihat rimbanya.“Nanti juga mereka mencar
“Bagaimana ini, Bu. Semua tidak mau dengan apa yang Bu Rani sarankan. Haruskah_”“Tidak usah, Bu. Kita pakai cara ambil suara saja, dan karena tadi banyak yang menyetujui, kita ambil kesimpulan saja, kalau kita tetap tidak mengizinkan untuk membawa mobil pribadi.”“Baiklah. Kalau begitu, nanti Saya bagikan suratnya lewat grup.”Rani tersenyum, “terima kasih, Bu. Kalau begitu Saya pamit undur diri.”“Silakan, Bu. Terima kasih atas kerja samanya.” “Sama-sama, Bu.” Rani menerima uluran tangan Bu Ira dan pergi untuk menemui Fania yang tengah bersama satpam sekolah.“Mamaaah!” Fania berlari menghampiri Rani yang tersenyum sambil merentangkan tangan.“Kamu keluar dari tadi, Sayang?”Fania menggeleng, “baru saja, Mah.”“Ok. Sekarang kamu mau ke mana? Apa mau langsung pulang, atau kita_”“Papaaah!” Fani kembali menghampiri Doni yang baru saja datang.“Aduuuh, ternyata Papahnya Fania itu sangat mengerikan.”Rani mengerutkan kening ketika mendengar ucapan salah satu wali murid yang terus men