Rani menatap ke depan, melihat hamparan kota yang penuh lampu yang berkelap-kelip. Untung dia ada di lantai 3 jadi bisa melihat pemandangan yang tidak mau dia lihat ulang lagi, karena ini ada di rumah sakit.
“Anda pernah bilang, kalau Anda yakin, istri Anda masih hidup. Jadi, bilamana itu terjadi benar, dan kita masih dalam ikatan pernikahan, apa yang akan Anda lakukan?”
Doni terdiam, dia tidak pernah menyangka kalau wanita di depannya akan berpikir sejauh itu.
“Apa Anda akan langsung membuang Saya? Karena kebutuhan diri Anda sudah ada yang mengisi kembali, atau ... Anda akan tetap bersama Saya yang mungkin waktu itu telah mengandung benih dari Anda.”
Doni semakin dibuat terdiam. Dia tidak habis pikir dengan jalan pikiran Rani, karena dia pikir itu tidak akan terjadi sebab mereka menikah dikarenakan Fania dan tidak akan ada cinta di dalamnya.
“Saya tidak bisa munafik, mungkin saja berbagi peluh akan Saya minta, walaupun menikah tanpa cinta. Lagian, cinta dan suka akan tumbuh dengan sendirinya, bila kita saling memperhatikan dan saling dekat walaupun hanya di depan Fania.”
Doni tidak bisa menyangkal, apa yang di ucapkan Rani. Apa lagi dia memang laki-laki yang selalu haus akan berjibaku diranjang, walaupun selama ini dia tahan dan bermain sendiri karena takut akan berimbas pada Fania di kemudian hari.
Embusan nafas keduanya menjadi irama yang begitu terdengar jelas.
Doni dan Rani termenung dengan pikiran masing-masing.
“Bagaimana kalau kita menikah kontrak?” Doni menatap wanita di depannya.
Dia tahu, ini memang cara yang pastinya merugikan bagi Rani. Karena menikah kontrak, sedikit banyak pihak wanitalah yang paling dirugikan.
Embusan nafas kuat terdengar, Rani berbalik menatap laki-laki di depannya.
“Saya tidak setuju! Lebih baik kita menikah seperti biasa, dengan Syarat, 1. Jangan melarang Saya pergi, bila Anda kembali bertemu dengannya, karena saat itu, talak pernikahan kita jatuh satu. 2. Jangan melarang dan memaksa Saya untuk tidak mencintai Anda, apalagi membesarkan benih yang tertanam. Bagaimana?”
Doni menatap Rani, “apa kamu yakin?”
“Ya!” Rani menjawab tegas, walaupun dia merasa ragu, tapi dia tidak mau melakukan kesalahan yang membuat Fania kembali sakit.
“Baiklah, bila itu keinginanmu.” Doni tidak banyak berpikir, karena dia yakin satu dari dua syarat itu mustahil akan terjadi.
“Kalau begitu, malam ini juga kita menikah.”
“Apa! Apa kamu tidak_”
“Jangan mengulur waktu lagi, pekerjaan yang baik itu harus disegerakan dengan sesegera mungkin.” Doni menarik Rani dan memangkunya karena Rani terus ingin melepaskan diri.
“Heeey, lepaskan! Saya memang menyetujuinya, tapi bukan saat ini juga, DONIII ...!!!”
Tanpa sadar Rani memanggil Doni dengan namanya langsung.
Mereka saling bertatap dan terkejut, “maaf, itu spontan.” Ucap Rani lirih, “Jadi, bisa turunkan Saya sekarang?”
“TIDAK! Sekarang kita temui semua orang.” Doni kembali berjalan menuju orang tuanya.
“Apa! Tidak, tidak. Cepat turunkan Saya!” Rani kembali berontak, membuat Doni akhirnya mengubah pangkuan menjadi panggulan.
“Diamlah! Apa kamu tahu, seluruh wanita itu menginginkan dekat denganku.” Tanpa canggung Doni menepuk bokong Rani.
“Heeey, apa yang Anda lakukan! Turunkan Saya!” Rani terus meronta, sembari memukul dengan kuat ketika Doni melangkah, dia terus mencoba untuk bisa lepas dari Doni.
“Mih, Doni mau menikah saat ini jug_”
“Hey, siapa yang mau menikah dengan Tuan Arogan Sepertimu!” Rani terus meronta, sampai akhirnya Doni pun menurunkannya.
“Bukannya tadi kamu sudah menyetujuinya? Jangan maluuu, sekarang kita menikah saja, masalah_”
Sebelum Doni menjelaskan, sebuah pukulan melayang di punggung Doni, membuat semua orang terkejut sebab itu terdengar jelas, sehingga Doni terhuyung ke depan.
“Kamu itu memang orang jahat, Don! Bagaimana janji kita? Bukannya akulah yang harusnya menikah denganmu!” Mawar berkacak pinggang.
Rani ingat, Mawar adalah wanita yang tadi ingin memeluk Fania tapi di tolak.
“Apa selama ini yang kita lakukan tidak ada apa-apanya untukmu?”
Mendengar itu Rani menatap Doni, pikiran kotor antara Doni dan wanita itu terbayang membuat Rani merinding.
Dengan perlahan dia mencoba melepaskan diri dari pertengkaran dua orang di depannya.
“Mau ke mana?” Doni mencengkeram tangan, menatap Rani.
“Lepaskan!” Rani meminta untuk lepas, “sepertinya Anda harus menyelesaikan urusan yang lebih penting, sebelum kita menikah!”
“Apa! Kalian berencana untuk menikah, Apa itu benar?” Mawar menatap Doni dan Rani bergantian.
Namun keduanya tidak kunjung bicara, apalagi Rani, dia tidak berani mengiyakan karena dia sendiri pun belum yakin setelah mendengar apa Mawar ucapkan.
“Hey, wanita murahan yang tidak tahu asal usulnya! Asal kamu tahu, ya! Doni dan aku sudah_”
“Mawar!” Doni membentak, dia paling tidak suka mendengar orang berteriak di depannya, kecuali 3 wanita yang dia sayang.
“Keluar kamu! Saya rasa, kamu harus pergi sekarang, sebelum Saya menyuruh mereka untuk menyeretmu!”
Mawar terlihat kesal, tapi dia tidak berani membantah karena itu bisa berdampak buruk bagi dirinya.
“Apa kamu tidak punya, telinga!” Suara teriakan Doni membuat Rani terkejut,
“Apa Anda ingin membuat semua orang jantungan!” Rani akhirnya bisa melepaskan tangan dari Doni.
Interaksi keduanya membuat Mawar kesal, sehingga sebelum dia pergi, Mawar mendekati Rani,
“Saya tidak akan tinggal diam, asal kamu harus tahu, kami bukan hanya sekedar dekat, tapi lebih dari itu. Jadi_”
“Seret dia keluar!” Doni memerintahkan para penjaganya untuk mengeluarkan Mawar secara paksa.
“Kamu tidak akan bisa bersamanya!” Mawar diseret dengan paksa.
“Dengar dan ingat itu, wanita murahan!” Mata Mawar menatap tajam Rani dengan permusuhan.
Setelah Mawar pergi, Doni membawa Rani ke depan Fania, “Sayang, kalau Mamah Rani jadi mamah benaran kamu, kamu_”
“Sebaiknya, itu di tunda dulu, Pak. Saya tidak ingin menikah dengan laki-laki yang sudah berjanji pada wanita lain. Jadi, selesaikan dulu semua urusan itu, baru kita bisa menikah.”
“Apa yang kamu lakukan! Bukannya, kamu sudah_”
“Maaf, Saya tidak bisa.” Rani melepaskan pegangan. Dia menatap Fania,
“Maafkan Mamah, ya. Ini yang terbaik untuk kita semua.” Tangannya terulur mengusap Fania.
“Jadi, kamu lebih memilih meninggalkan Fania?” Doni menatap lekat Rani.
Entah sedari kapan, dia merasa tidak rela bila wanita ini meninggalkannya.
“Bila Anda masih punya urusan dengan wanita lain? Itu akan membuat pernikahan hancur, dan Fanialah yang akan menjadi korban kedua kalinya. Jadi, lebih baik Anda selesaikan dulu semua urusan dengan wanita itu.”
“Kalau begitu, silakan kamu pergi!” Doni akhirnya berucap kasar kembali.
Rani terkejut, dia tidak menyangka kalau Doni mengusirnya saat itu juga. Tapi, Rani tidak bisa apa-apa karena ini mungkin yang lebih baik.
“Kenapa masih diam? Bukannya itu yang kamu inginkan!” Doni menatap lekat wanita yang kembali sudah mengisi hatinya yang sedikit terbuka.
“Sayaaang, Mamah pulang dulu.” Ucap Rani pelan karena Fania tertidur, setelah diberi obat.
“Kamu harus ingat, mulai saat ini, bila kamu pergi keluar dari kamar, tidak akan lagi bisa bertemu dengan Fania.”
Rani tidak menjawab, dia melangkah perlahan. Walaupun berat, tapi inilah yang harus Rani jalani supaya tidak kembali sakit akibat laki-laki.
“Apa kamu yakin, tidak akan terjadi apa-apa pada Fania?” Mamih Doni yang sejak tadi hanya melihat interaksi keduanya terlihat kawatir.
Doni menggeleng “Mungkin ini yang terbaik.” Doni melangkah lesu, “Doni pulang dulu, Mih.” Akhirnya dia pun pulang.
Doni pulang dengan hati cukup hampa. Ruang hati yang mulai terbuka terasa kosong karena wanita yang dia harapkan malah memilih pergi.“Bang!” Sang adik menghampiri, “kalau dia buat aku saja bagaimana?”Doni mengerutkan kening,“Ya elaaah! Wanita yang tidak jadi menikah dengan Abang!”“Maksud kamu?”“Karena dia tidak jadi menikah dengan Abang, bagaimana kalau dia menikah denganku, itu sama saja kan.”Doni menatap tajam, sedangkan sang adik malah tersenyum.“Jangan _”“Selama janur kuning belum melengkung, aku akan pastikan dia menikah denganku.” Dia pergi tanpa menghiraukan ucapan Doni.Tangan Doni terkepal kuat, “tidak akan aku biarkan kamu kembali mengambil kebahagiaanku!” Kakinya kembali melangkahkan pergi.Doni pulang dengan hati cukup kacau. Wanita yang bernama Rani itu benar-benar sudah membuat hatinya terasa tidak tenang. Ditambah lagi dengan adiknya yang berucap demikian.“Apa ini balasan yang kamu berikan untuk aku, Fan? Karena tidak bersamamu, Apa lagi ketika kamu sakit.” Don
Setelah kejadian kemarin malam, Doni pikir hubungannya dengan Rani berjalan semakin dekat.Namun, ternyata tidak. Hari ini, ketika dia pergi ke kantor seperti biasa, Doni melihat Rani tengah di bonceng Tori dengan wajah ceria.Doni yang merasa kesal menurunkan kaca jendela, menegur Rani.“Ran, kamu mau ke mana?”“Eh, Pak Doni. Selamat pagi ... Biasa Pak, Saya mau ke tempat kerja. Bapak juga mau pergi kerja, ya?”Rani cukup kaget ketika Doni menyapanya di samping ketika lampu merah, tapi Rani mencoba untuk tenang dan bersifat normal, sampai keluarlah ucapan demikian.Doni mengangguk, “kalau begitu, kamu bisa_”“Wah, sudah hijau. Kalau begitu, Saya duluan, ya, Pak. Selamat jalan ...” Rani bicara sopan tanpa peduli seperti apa wajah Doni saat itu.“Kamu tidak apa-apa?” Tori melihat lewat kaca spion.“Sudahlah, cepat pergi!” Rani meminta Tori untuk melaj
“Kamu ken_” Tori yang mengekor dari belakang tidak melanjut perkataan ketika melihat Doni.“Bukankah itu, orang yang_”“Pak, Anda datang ke sini?” Rani memotong perkataan Tori dan bergegas mendekati Doni.“Bapak, ada keperluan apa ke mari?” Rani mengulang pertanyaan.Doni, menaikkan alis ketika mendengar Rani memanggilnya dengan sebutan Bapak.Terlihat ada seulas senyum di sana, “kamu ingin main-main dengan Saya! Akan Saya ikuti.” Doni berucap di dalam hati.“Ya! Karena Saya ingin menemui calon istri Saya!”“Apa, calon istri! Siapa sih itu ... aku penasaran banget!” Celetuk seorang pengunjung.“Apa mungkin ...” Semua orang menatap Rani, tidak terkecuali Tori. Dia langsung terlihat penasaran.Keadaan itu membuat Rani sungguh tidak karuan.“Ran, dia itu_”“Eh, Pak. Bapak ingin menanyakan itu, mari ikut Saya dulu.” Rani gelagapan, secara kasar menarik Doni untuk keluar dan itu malah membuat semua orang semakin penasaran.“Ran!”“Aku bicara dulu dengan Pak Doni, tolong kerja sendiri du
Dan akhirnya, Rani memilih diam memperhatikan jalan asing tapi tidak membuat bosan karena pemandangannya membuat berdecap kagum.“Kita sudah sampai, ayo kita turun.” Doni turun terlebih dahulu dan dengan cepat, membukakan pintu untuk Rani.Semua orang melotot tidak percaya karena, baru kali ini Tuan mereka melakukan hal yang demikian setelah Nyonya tidak ada.Rani pun terkejut dengan apa yang Doni lakukan. Dengan sangat canggung, dia turun sembari menatap sekeliling.“Sungguh arsitektur yang sangat indah.” Gumam Rani sembari menatap sekeliling.“Mas, ini rumah siapa?” Rani menatap takjub.“Rumah kita. Ayo masuk. Saya sudah menyuruh dapur untuk menyediakan berbagai macam bahan masakan.”“Rumah kita? Maksudnya!” Rani menatap Doni yang tersenyum bangga.“Rumah yang akan kita tempati setelah kita menikah. Kamu suka?” tangannya merangkul pundak Rani.“Selamat sore, Tuan, Nyonya. Semua yang di butuh kan sudah kami siapkan.” Seorang pelayan membungkuk hormat.Doni hanya mengangguk, membawa R
Sekitar satu jam tiga puluh menit yang lalu Rani sudah menyelesaikan semua makanan yang dia masak.Bahkan sudah tertata rapi dan tersimpan di kotak makan tahan panas dan pastinya tetap menjaga suhu makanan tetap baik sampai nanti ketika dimakan.“Kenapa Mas Doni belum juga datang.”Leher Rani sudah terasa pegal karena terus menengok ke arah pintu masuk.Dia mulai gelisah, apalagi pesan yang dia kirim belum juga dibuka.“Apa urusan sangat susah, sampai lama begini.” Rani kembali menatap layar TV yang membosankan.Suara deringan telepon membuat Rani duduk dengan ceria, namun itu langsung hilang ketika melihat nama yang tertera bukanlah orang yang dia tunggu.“Hallo,”“Kamu di mana? Kenapa rumahmu masih gelap!”Rani duduk menegang, “em ... ak_aku sedang di rumah teman, ya, rumah teman.”“Teman yang mana, aku akan menyusulnya, untuk menjemp
Doni menatap punggung Rani, dia melihat begitu besar kekecewaan yang tidak mudah Doni hilangkan. Ingin sekali Doni mengejar, tapi dia tidak mau kembali membuat Rani sedih. Dia sadar, semua ini memang salahnya yang tidak bisa bersikap tegas pada Mawar. Tadi, setelah Doni sampai di rumah Mawar, dia melihat Mawar tengah menangis dengan luka di tangannya. “Apa yang terjadi!” Doni menatap Mawar dan beberapa pelayan bergantian. “Dia datang lagi, Don. Dia datang lagi!” Mawar menangis dengan memeluk lutut. Doni mendekat, memeluk dan mengusap punggung, “kamu jangan takut, ada aku di sini.” Mawar semakin menangi, memeluk Doni dengan mata menatap para pelayan supaya pergi. “Ka_karena sudah ada Tuan di sini, kami akan pergi.” “Ya, kami mohon jaga Nona, karena saat ini dia tengah rapu, Tuan.” “Kapan orang itu datang?” Doni berucap dengan mata penuh amarah. “Setengah jam yang lalu, saat ini dia tengah tertidur
Doni menatap Pram yang menyeringai. Dia mendengus melihatnya.“Kamu dengarkan apa yang Mamih katakan, Don?”“Iya, Mamih. Doni dengar.”“Syukurlah. Sekarang cepat bawa Mawar pulang, ini sudah malam.” Doni mengangguk.“Oh, iya, Bang. Bisa minta nomor Rani, tidak?”“APA!” Doni menatap Pram dentang permusuhan.Pram kembali menyeringai, “kalau memang tidak boleh, tidak apa. Aku bisa cari cara yang lain untuk mendapatkannya.”“Kamu jangan coba-coba_”“Makanya, Mamih sudah bilang kan, cepat pilih salah satunya.”“Betul, tuh Mam!” Sahut Pram dengan seringai licik.Doni kembali mengepalkan tangan, ingin sekali dia menonjok wajah Pram, tapi sayang, saat ini ada sang Mamih.Mamih tidak tahu di balik ke akrabkan mereka berdua ada sebuah lubang besar yang sukar untuk tertutup.Namun, mereka sepakat un
Doni langsung membekap Rani dengan ciuman, tanpa memedulikan orang lain yang melihat kelakuannya.“emmmh!” Rani memukul dada Doni karena kehabisan nafas.“Apa ... yang ... An, Mas lakukan!” Rani bicara dengan nafas yang tersengal-sengal.“Non Rani tidak apa?” Pak satpam menegur ketika dia sadar dari sok.“Apa perlu Saya_”Rani menggeleng, “tidak apa-apa, Pak. Dia_”“Saya calon suaminya, jadi bisakah Saya membawanya malam ini?” Doni maju sembari menggenggam tangan Rani.“Oooh, calon suami. Tapi, maaf Den. Bapak tidak bisa mengizinkan_”“Bapak, jangan takut, Saya membawanya ke rumah ujung!” Doni menunjuk jalan sebelah kanan darinya sekarang.Satpam terkejut karena, rumah ujung adalah rumah paling besar, dan itu dihuni oleh seorang laki-laki yang begitu dermawan. Seluruh penghuni di kawasan itu pasti kenal dengannya pun men