Sudah cerai tapi masih tinggal serumah sama mantan mertua? memangnya kenapa? Vivian, yang telah bercerita dari Nabil lima tahun lalu, tapi masih bertahan tinggal di rumah mertua, terus berusaha mencegah Nabil menikah lagi. cinta atau obsesi? dan bagaimana ketika hadir Meisya?
View MoreISTRI BARU MANTAN SUAMIKU
"Oh, jadi ini calon istri Mas Nabil?"Aku meneliti penampilan gadis itu dari atas ke bawah. Dia seorang gadis muda dengan penampilan sederhana tapi anehnya, sangat menarik. Wajahnya ramah, dengan senyum yang menarik dua dekikan dalam di pipinya. Cantik sekali. Hatiku langsung kebat kebit. Dia, berbeda dengan perempuan perempuan lain sebelumnya.Gadis itu mengangguk sambil tersenyum menatapku. Dia lalu mengulurkan tangannya."Meisya."Aku menatap tangan dengan jari jari polos itu. Tanpa perhiasan kecuali sebentuk cincin di jari manis tangan kirinya, yang kutahu cincin pengikat dari Mas Nabil yang diberikannya minggu lalu. Aku tahu, tentu saja. Mama selalu mengajakku diskusi tentang apapun."Vivian." Ujarku sambil menyambut tangan lembut itu. Hem, pasti dia gak pernah kerja berat. Tangannya mulus dan halus sekali."Dan Mbak ini, apakah sepupunya Mas Nabil? Soalnya kata Mas Nabil, dia anak tunggal." Tanyanya kemudian.Aku tersenyum untuk pertama kalinya."Saya istrinya Mas Nabil. Emm, maksud saya, mantan istrinya."***"Ma, Meisya gak terima Vivian masih tinggal di rumah ini. Dia protes. Katanya mantan istri kok masih tinggal sama mertua."Kudengar suara Mas Nabil bicara dengan Mamanya di dapur. Aku menghentikan langkah, berdiri di balik tirai pembatas ruang tengah dan dapur. "Ya gimana Bil. Vivian itu gak punya keluarga. Dan Mama gak bisa bayangkan cucu Mama hidupnya terkatung katung gak jelas. Tiara itu anak kamu loh Bil. Jangan lupa.""Tapi kan aku sudah kasih rumah buat mereka Ma. Kenapa Vivian gak tinggal di sana?""Ah kamu. Rumah itu letaknya jauh dari sekolah Tiara. Kasian mereka. Lagian kompleknya masih sepi. Mama takut ada apa apa sama mereka.Kudengar Mas Nabil mendesah dengan keras."Aku gak mau gagal menikah lagi gara gara Vivian Ma. Ingat sudah berapa calon istri yang kubawa ke rumah ini. Dan semuanya memutuskan hubungan setelah tau mantan istriku masih tinggal sama Mama.""Ah, mereka aja yang aneh. Kan Vivian tinggal di rumah Mama. Kamu tinggal di rumahmu sendiri.""Tapi tetap aja Ma. Gak enak rasanya. Ma, bilanglah sama Vivian untuk tinggal di rumahnya sendiri."Kulihat Mama menghentikan gerakan tangannya mencuci piring. Dia memelototi Mas Nabil."Jangan aneh aneh ya Bil. Vivian itu sudah seperti anak Mama sendiri. Mama juga gak mau jauh jauh dari Tiara.""Mama bahkan masih mencuci piring sendiri. Tak pernah kulihat Vivian membantu Mama.""Vivian sudah capek bekerja dan juga mengurus Tiara. Anak kamu."Aku beringsut kembali ke dalam kamar. Jawaban Mama tadi sangat penting artinya buatku. Sambil tersenyum, aku menurunkan koper dari atas lemari. Lalu memasukkan beberapa setel bajuku dan Tiara ke dalamnya."Loh, Mama. Kita mau kemana?" Tiara yang baru pulang main langsung kaget melihat koper itu.Aku mengangkat kepala, mengusap usap mata."Kita pindah ya Nak. Papamu gak suka kita tinggal di sini."Wajah gadis kecilku yang berusia delapan tahun itu langsung merengut."Tiara gak mau pindah. Tiara sudah betah di sini."Aku tersenyum sambil terus mengusap usap mata. Ah, aneh memang rasanya. Menangis sambil tersenyum. Kutarik tangan Tiara dan mengajaknya berjalan menuju dapur sambil menyeret koperku."Mama…"Suara perdebatan Mama dan mas Nabil langsung berhenti. Mata Mama melebar melihatku menyeret koper sambil mengusap pipiku yang basah. Beliau tergopoh gopoh menghampiriku."Loh Vivian sama Tiara mau kemana?" Tanya Mama panik sambil memegang tangan Tiara. Tiara merengut, menatap Papanya dengan pandangan tak suka."Aku pamit mau pindah saja Ma. Sepertinya kehadiranku hanya menjadi penghalang bagi Mas Nabil."Aku menundukkan kepala, membuat air mataku menetes kian deras."Loh? Gak! Gak bisa. Kamu dan Tiara tetap di sini. Mama gak bisa jauh dari Tiara."Mama lalu menoleh, menatap Mas Nabil tajam. Dari sudut mata, aku melihat Mas Nabil mendesah dengan kesal."Kamu lihat ya Bil akibat kata katamu. Sekarang bujuk Vivian supaya gak pergi dari rumah ini.""Tapi Ma. Meisya hanya mau menikahi Nabil kalau Vivian tidak tinggal di sini.""Kalau begitu cari calon istri lain yang mau menerima Vivian dan Tiara. Mama gak akan membuang mereka!" Seru Mama keras."Vi! Kamu kan sudah aku kasih rumah. Kenapa masih tinggal di sini?"Mas Nabil masih ngotot. Tak seperti kemarin kemarin, dia akan langsung tunduk dan menuruti ultimatum Mama. Rupanya gadis bernama Meisya ini memang berbeda. Dia telah menambat hati Mas Nabil sedemikian rupa dibanding gadis gadis sebelumnya.Aku mengangkat kepala sambil mengusap pipiku."Aku mau pindah kok Mas.""Tiara gak mau!" Anakku tiba tiba menjerit. Dia menatap Papanya dengan garang."Papa gak sayang aku lagi ya? Papa mau misahin aku dari Nenek?" Tiara ikut menangis kencang.Mama langsung meraih anakku dalam pelukannya, membisikkan kata kata menenangkan. Dia lalu menuntun Tiara untuk duduk di kursi makan, memberinya sebuah susu kotak."Kalian akan tinggal di sini selamanya. Tiara jangan takut ya. Nenek gak akan membiarkan siapapun mengusir kalian."Mama lalu menoleh padaku."Bawa masuk koper itu Vivian. Jangan pernah berpikir mau pergi dari sini."Aku menundukkan kepala semakin dalam. Tak kudengar lagi bantahan dari Mas Nabil. Tak lama, kudengar suara kursi di geser, langkah kaki Mas Nabil terdengar mendekatiku."Kau memang hebat Vi. Sudah berapa kali kau menggagalkan pernikahanku? Tapi kali ini, aku tak akan kalah."Bisiknya di telingaku. Aku diam saja. Kurasakan Mas Nabil berjalan menjauhiku. Lalu suara pintu di tutup dengan keras, menandakan hatinya yang sedang kesal.Diam diam seulas senyum tersungging di bibirku.***DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments