ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (2)
"Mama, ini aku belikan gelang baru. Bagus gak?" Ujarku sepulang kerja, dan mendapati Mama sedang duduk di teras rumah.Mama segera bangkit dari duduknya, menyambut kantung kertas dengan logo toko emas ternama di kotaku. Matanya berbinar, dikeluarkannya benda itu dari dalam. Sebuah gelang rantai emas yang cukup besar. "Vivian, sebaiknya kamu jangan boros. Tiap bulan belikan Mama perhiasan, baju, aksesoris. Belum lagi makanan kesukaan Mama selalu kamu sediakan di kulkas.""Gak apa apa Ma. Aku bingung mau belikan siapa. Soalnya kan aku gak punya orangtua lagi." Ujarku sambil tersenyum. Mama mengelus kepalaku sejenak."Sini Ma, aku pakein." Ujarku lembut sambil mengambil gelang itu dari tangan Mama dan memakaikannya.Mama mematut gelang itu, lalu tersenyum. "Terimakasih ya Vi. Ini bagus banget."Aku mengangguk sambil membereskan kantung belanja, lalu masuk ke dalam kamar. Dari sudut mata aku melihat Mama masih tersenyum sambil melihat lihat gelangnya. Di kamar, kulihat Tiara masih tiduran sambil bermain ponsel. Bungkus cemilan bertebaran di atas lantai."Tiara, kok kotor semua gini. Ayo beresin donk. Mama sumpek liatnya.""Nanti ah Ma. Atau gak biar Nenek aja kayak biasanya.""Sstt…" Aku meletakkan ujung telunjuk di bibir."Nenek gak boleh masuk kamar Mama ya Ra. Inget itu. Ayo cepat punguti."Sambil bersungut sungut, Tiara memungut bungkus cemilan di lantai dan membawanya ke luar. Aku menggelengkan kepala, meletakkan kantung belanja dan masuk ke kamar mandi. Pekerjaanku sebagai seorang manager keuangan di sebuah perusahaan property cukup menyita otak dan tenaga. Belum lagi mengelola sebuah minimarket lokal yang kuserahkan operasionalnya pada seorang kepercayaan. Uangku berlimpah. Harta bukan masalah buatku. Tapi, batinku sepi oleh kasih sayang. Sejak Mas Nabil memutuskan untuk menceraikanku lima tahun yang lalu. Untung saja Mama mertuaku yang tinggal seorang diri, memintaku untuk tetap tinggal dan menemaninya di rumah ini."Mama gak keluar?" Tiara masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dan sedang memilih pakaian, menoleh."Kenapa memangnya?"Bibir Tiara mencebik."Ada Papa sama Tante Meisya."Aku menghentikan gerakan tanganku memilih pakaian. Oh, dia rupanya akan tetap maju. Tidak seperti dua gadis lain yang diperkenalkan Mas Nabil pada Mama empat tahun terakhir ini, yang hanya bertandang sekali, lalu menghilang. Mereka semua punya alasan yang sama. Tak nyaman jika aku, mantan istri Mas Nabil masih tinggal dengan Mama. Ah, gadis gadis aneh. Aku toh tinggal dengan Mama, bukan dengan Mas Nabil. Meski sebenarnya, itulah tujuan akhirku bertahan di sini."Mama mau keluar. Kamu gak nemuin calon Ibu tirimu?"Mata Tiara membelalak. "Males banget punya Ibu tiri. Tiara maunya kita tinggal lagi serumah sama Papa. Bukan serumah sama nenek." Cetusnya.Aku tersenyum. "Sabaaarr!" Ujarku sambil mencubit pipinya.Aku lalu memilih sebuah dress rumahan semata kaki berwarna merah menyala. Tanpa lengan, sehingga kulit lenganku yang putih terlihat jelas. Dress itu berkerah V-neck yang cukup rendah, sehingga jika saja aku menunduk sedikit, kau bisa melihat pemandangan indah di dalamnya. Aku tersenyum sambil mematut diri di depan cermin, teringat kata kata Mas Nabil delapan tahun lalu ketika kami belum lama menikah."Warna merah menyala ini sangat cocok di kulitmu. Kau tampak seksi dan menggairahkan."Lalu dia segera mengangkatku ke tempat tidur. Ah, masa masa itu…"Mama cantik banget." Ujar Tiara usai aku mengoleskan lipstik merah muda tipis tipis di bibirku yang sensual. Aku mengedipkan sebelah mata padanya."Pasti donk."Seandainya saja aku tak membuat kesalahan itu, tentu pujian ini bukan hanya akan keluar dari bibir anakku. Tapi juga dari mulut Mas Nabil, satu satunya lelaki yang membuatku jatuh cinta. Bahkan hingga hari ini, setelah lima tahun bercerai, nyatanya aku masih belum mampu memalingkan wajah darinya.Di rumah tamu, aku melihat pemandangan yang membuatku nyaris tertawa. Mas Nabil duduk bersebelahan dengan Meisya, agak jauh. Terlihat gadis itu menjaga jarak. Ya ya… dia seharusnya malu dengan kerudung yang dipakainya jika mau saja duduk dekat lelaki yang belum tentu menikahinya. Iya kan? Meski kuakui, kerudung itu membuatnya tampak anggun dan cantik di saat bersamaan.Di meja, kulihat kotak kotak berisi beraneka macam kue. Hemm, jadi dia pintar bikin kue? Atau cuma beli? Lucu banget. Di sini, yang jualan kue banyaaakk. Mama tinggal bilang padaku mau makan apa, pasti akan langsung kubelikan. Kecuali kau membawa kue yang terbuat dari emas."Hai…" Mereka semua menoleh. Mama, yang sejak tadi diajak bicara oleh Meisya, tersenyum melihatku datang. Dilambaikannya tangan menyuruhku duduk di sebelahnya. Sementara kulihat Mas Nabil menahan nafas, lalu membuang pandang. "Wah, kamu pinter bikin kue ya Mei? Keren deh."Meisya tersenyum."Silahkan dicicip Mbak." Mesya membuka kotak yang lain. Terlihat jejeran sosis solo, risol mayo dan soes keju berbaris rapi dan cantik."Ini kayak yang ada di De'corner ya Mei? Kamu beli?" Tembakku langsung. Oh, no. Kamu mau bohongin Mama dengan bilang ini semua kue buatanmu padahal dapat beli? Sayang, aku tak sebodoh itu."Iya Mbak. Emang dari De'corner." Jawabnya ramah, tanpa melepaskan senyum yang memamerkan lesung pipinya. "Oh, aku kira kamu bikin.""Resep awalnya aku yang buat Mbak. Setelah anak anak mahir, bisa kulepas tapi tetap berpatokan dengan resep awal." Aku mengerutkan kening. "Maksudnya?""De'corner itu punya Meisya. Dia juga yang menciptakan resepnya." Jelas Mas Nabil. Tersirat jelas rasa bangga dalam kalimatnya."Oh…"'sialan' umpatku dalam hati. Rupanya kali ini aku dapat lawan yang sepadan."Vi, bisa gak kamu pake baju yang agak sopan?" Mas Nabil tiba tiba menyela pembahasan kami tentang kue itu. Dia berkata begitu tanpa mau menatapku. "Emang kenapa Mas? Kan di dalam rumah ini. Aku juga gak tau kalau ada tamu.""Ya, seenggaknya pake cardy buat nutupin lenganmu itu." "Udah udah gak apa. Vivian emang biasa pake baju kayak gini. Kenapa dimasalahin sih Bil? Kan tadi Vivi udah bilang kalo dia gak tau ada tamu." Bela Mama. Mas Nabil menghela nafas kesal. Dia berdiri."Aku mau ajak Tiara jalan malam ini. Nanti habis Maghrib aku jemput. Tolong disiapin."Meisya ikut berdiri, pamit pada Mama dan juga aku. "Nabil, Mama mau ngomong sebentar." Mama mengejar Mas Nabil yang sudah berjalan ke halaman, menuju mobilnya. Aku memperhatikan lelaki yang pernah jadi suamiku itu. Dia, semakin hari, entah mengapa semakin tampak mempesona."Mbak…"Aku menoleh. Meisya berdiri sangat dekat denganku. Aroma parfumnya yang lembut menyapa hidung. Kami bertatapan."Mantan terkadang memang serupa tantangan. Tapi kalau mantan sudah tak mau balikan, sebaiknya lupakan. Move on. Oke Mbak?"***ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (3)Tatapan kami saling mengunci. Mata bulat dan jernih miliknya terlihat tenang, tanpa sedikitpun emosi yang terpancar dari sana. Dia memang benar benar berbeda."Tentu saja aku sudah Move On. Kata siapa aku mau balikan sama Mas Nabil?" Tanyaku sambil tertawa.Meisya tersenyum."Kalau begitu, kenapa Mbak masih tinggal di sini?" Ujarnya tenang. Aku tertawa. Apakah kau merasa diriku adalah ancaman?"Tanyakan saja pada calon mertuamu. Eh, belum ya? Belum calon. Mama belum tentu setuju."Meisya mengangguk anggukan kepalanya sambil matanya tak lepas memperhatikanku. "Hemm, gitu ya. Jadi, apakah Mbak disini untuk memberi Mama kisi kisi, perempuan mana yang boleh dan tak boleh dinikahi Mas Nabil? Atau bahkan Mbak disini untuk menghalangi Mas Nabil menikah lagi? Atau, bahasa kasarnya, meng-ha-sut?"Wajahku memanas mendengar kata kata
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (4)Aku terbangun ketika mencium aroma minyak kayu putih yang terasa menyengat di hidung. Kepalaku pusing, bahkan tempat di mana tengkorak kepalaku terbentur tadi rasanya berdenyut. Aku mengerjapkan mata, menatap Mama dan Tiara yang berdiri di samping ranjang tempat tidurku. Sementara dari sudut mata, kulihat Mas Nabil berdiri dengan raut wajah kesal."Kamu gak apa apa Vi? Apa kita perlu ke dokter?" Tanya Mama dengan raut wajah panik.Aku menggeleng, meraba kepalaku yang pusing."Gak usah Ma. Aku cuma sedikit pusing.""Mama jatuh tadi kenceng banget." Ujar Tiara. Melihatnua sudah berdandan cantik, aku jadi teringat sesuatu."Loh, kamu dan Papa kok belum pergi? Ayo berangkatlah. Nanti Tante Meisya menunggu." "Telat. Ini sudah jam sebelas malam.""Astaga. Aku pingsannya lama banget berarti ya Mas?""Lumayan. Sampai aku dilalerin.
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (5)Kepalaku makin berdenyut mendengar kata kata gadis di depanku ini. Meski dia mengatakannya sambil tersenyum, aku yakin ada maksud tersembunyi di balik sikap manisnya. Apalagi kata katanya barusan. Apa? Gegar otak. Coba tanya Mas Nabil, kepala Vivi itu batu."Meisya?"Mama berdiri di ambang pintu, sudah mengenakan pakaian rapi. Sepertinya Mama mau pergi. Aku menghela nafas dalam dalam, merasa terselamatkan oleh situasi yang menyebalkan ini."Iya Ma. Maaf aku gak langsung nemuin Mama. Ini lagi nengokin Mbak Vivian, katanya semalam jatuh.""Oh iya. Kebetulan kalau begitu. Mama mau keluar sebentar, ada janji sama teman Mama. Bisa gak Mama titip Vivian?"Astaga Mama. Ngapain sih pake dititipin segala."Gak. Gak usah Ma. Aku gak apa apa kok." Seruku cepat. Mama melotot."Gak apa apa gimana? Kamu dari tadi megangin kepala terus. M
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (6)"Mama?"Kepala mungil Tiara muncul dari balik pintu yang dibukanya sedikit. Aku menoleh dengan malas, mengingat tawa riangnya di dapur tadi pagi. Jujur saja, aku sangat cemburu. Tapi aku tak mungkin menyampaikannya di depan anakku yang polos ini."Ditunggu Nenek di meja makan. Mama belum makan dari siang loh." Ujarnya, masih berdiri di ambang pintu."Iya. Sebentar lagi Mama turun." "Apa kepala Mama masih sakit?""Gak kok. Udah sembuh." Aku memaksakan sebuah senyum.Tiara ikut tersenyum. Dia manis sekali, mirip dengan Mas Nabil. "Tiara duluan ya Ma." Pamitnya.Aku mengangguk. "Emm… Ra…" Apakah aku harus bertanya padanya? Aku ingin tahu apa Meisya masih di sini? Apakah Mas Nabil juga datang untuk makan malam? Kepala Tiara muncul lagi dari balik pintu yang hampir ditutupnya. Aku bangun dari posisiku."Kenapa Ma?"Ah, sebaiknya tak perlu
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (7)Aku terbangun ketika adzan subuh baru saja selesai dikumandangkan. Kepalaku sudah tidak sakit lagi, tapi kurasakan mataku bengkak dan sulit dibuka. Oh, bodohnya aku, menangis semalaman hanya karena lelaki. Lima tahun aku berjuang untuk mendapatkan kembali cinta Mas Nabil, tapi sepertinya akan sia sia saja. Meisya ternyata telah menambat hatinya begitu erat. Usai sholat subuh, aku turun ke dapur, dan mendapati Mama sedang meracik makan pagi seperti biasanya. Beliau langsung tersenyum melihatku datang."Kepalamu masih sakit Vi?""Gak lagi Ma. Benjolnya juga sudah hilang kok." Jawabku sambil nyengir."Syukurlah. Mama takut kamu keterusan sakit kepalanya."Aku tersenyum, hatiku menghangat menyadari Mama benar benar tulus menyayangiku."Mama, sini biar Vi yang ngirisin tomat dan timunnya ya." Ujarku sambil mengambil alih timun dan tomat yang sudah dicuci Mama dan di
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (8)Aku menahan nafas, kupaksakan diriku menatap langsung ke matanya. Aku bukan Vivian yang lemah, hanya karena cintalah aku rela merendahkan diriku seperti ini. Kulihat Mas Nabil menatapku dalam dalam. Dari jarak satu meter, aku dapat mencium aroma parfumnya, masih sama dengan aroma parfum yang dulu sering kubeli untuknya.Mas Nabil menoleh pada Tiara, memintanya masuk lebih dahulu ke dalam mobil. Tiara mengangguk patuh, lalu meninggalkan kami dalam suasana yang kaku. Tak pernah aku menyangka akan berhadapan seperti ini dengan-nya, dengan aku menundukkan kepala memohon maaf."Vi, aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Berkali kali aku bahkan berniat menemuimu untuk memperbaiki hubungan kita. Tapi setiap kali aku datang ke rumah, kau tak pernah ada. Kau bahkan tampak bahagia jauh dariku. Aku kerap memperhatikan setiap foto dan status yang kau bagikan di sosial media. Bagaimana kau begitu menikmati hidup bersama tema
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 9Aku menatap mobil Pak Adrian yang berlalu keluar pagar. Masih kuingat matanya yang sedikit terkejut saat dia tahu aku tinggal bersama mantan mertuaku. Ah, sebetulnya, ada gak sih mantan mertua? Bagiku, Mama tetaplah Mama, aku menyayanginya sebagaimana beliau menyayangiku. Jika hanya karena tak ada hubungan darah dan ikatan pernikahan, maka aku harus menjauhinya, kurasa itu tidak adil."Ada lelaki menemuimu di sini, di rumah mantan mertua. Kamu memang hebat Mbak."Seperti biasa, Meisya mengucapkan kalimat itu dengan suara tenang, meski kata katanya pedas di telinga. Aku berbalik, menenteng dompet yang tadi diserahkan Pak Adrian. "Dan kamu juga hebat sekali Mei, bisa merebut hati anakku dengan mudah. Aku ingatkan ya, jika nanti jadi menikah dengan Mas Nabil, jangan pernah coba menyakiti anakku."Meisya tersenyum."Oh, tentu saja. Mbak gak usah khawatir. Kupastikan
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 9BKamu gak apa apa kan Vi Mama tinggal sendirian?" Mama menatapku dengan cemas. perhatiannya itu kerap membuatku merasa memiliki seorang Ibu."Gak apa apa ya ditinggal sebentar sama Mama dan Tiara?"Ah, Mama selalu menganggapku seperti anak kecil. Aku tertawa."Mama, jangan begitu. Nanti ada yang cemburu."Mama justru tertawa. Beliau sudah berdandan rapi. Pagi Ini, Mama, Mas Nabil dan Tiara ditemani beberapa orang kerabat akan datang ke rumah Meisya untuk melamar. Sebelumnya Mama dan Tiara sudah diajak pula oleh Mas Nabil untuk berkenalan. Kudengar dari Mama, keluarga Meisya tak keberatan dengan status Mas Nabil yang duda. "Kebetulan Vivi mau nengokin minimarket. Sudah lama gak dilihat."Mama mengangguk. Aku tersenyum melihat Mama memakai gamis baru yang kubelikan Minggu lalu. Bahkan tas dan juga sendalnya, semua pemberianku. Kulihat gelang baru Mama mengintip dar
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,