DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU"Oh, jadi ini calon istri Mas Nabil?"Aku meneliti penampilan gadis itu dari atas ke bawah. Dia seorang gadis muda dengan penampilan sederhana tapi anehnya, sangat menarik. Wajahnya ramah, dengan senyum yang menarik dua dekikan dalam di pipinya. Cantik sekali. Hatiku langsung kebat kebit. Dia, berbeda dengan perempuan perempuan lain sebelumnya.Gadis itu mengangguk sambil tersenyum menatapku. Dia lalu mengulurkan tangannya."Meisya."Aku menatap tangan dengan jari jari polos itu. Tanpa perhiasan kecuali sebentuk cincin di jari manis tangan kirinya, yang kutahu cincin pengikat dari Mas Nabil yang diberikannya minggu lalu. Aku tahu, tentu saja. Mama selalu mengajakku diskusi tentang apapun."Vivian." Ujarku sambil menyambut tangan lembut itu. Hem, pasti dia gak pernah kerja berat. Tangannya mulus dan halus sekali."Dan Mbak ini, apakah sepupunya Mas Nabil? S
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (2)"Mama, ini aku belikan gelang baru. Bagus gak?" Ujarku sepulang kerja, dan mendapati Mama sedang duduk di teras rumah.Mama segera bangkit dari duduknya, menyambut kantung kertas dengan logo toko emas ternama di kotaku. Matanya berbinar, dikeluarkannya benda itu dari dalam. Sebuah gelang rantai emas yang cukup besar. "Vivian, sebaiknya kamu jangan boros. Tiap bulan belikan Mama perhiasan, baju, aksesoris. Belum lagi makanan kesukaan Mama selalu kamu sediakan di kulkas.""Gak apa apa Ma. Aku bingung mau belikan siapa. Soalnya kan aku gak punya orangtua lagi." Ujarku sambil tersenyum. Mama mengelus kepalaku sejenak."Sini Ma, aku pakein." Ujarku lembut sambil mengambil gelang itu dari tangan Mama dan memakaikannya.Mama mematut gelang itu, lalu tersenyum. "Terimakasih ya Vi. Ini bagus banget."Aku mengangguk sambil membereskan kantun
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (3)Tatapan kami saling mengunci. Mata bulat dan jernih miliknya terlihat tenang, tanpa sedikitpun emosi yang terpancar dari sana. Dia memang benar benar berbeda."Tentu saja aku sudah Move On. Kata siapa aku mau balikan sama Mas Nabil?" Tanyaku sambil tertawa.Meisya tersenyum."Kalau begitu, kenapa Mbak masih tinggal di sini?" Ujarnya tenang. Aku tertawa. Apakah kau merasa diriku adalah ancaman?"Tanyakan saja pada calon mertuamu. Eh, belum ya? Belum calon. Mama belum tentu setuju."Meisya mengangguk anggukan kepalanya sambil matanya tak lepas memperhatikanku. "Hemm, gitu ya. Jadi, apakah Mbak disini untuk memberi Mama kisi kisi, perempuan mana yang boleh dan tak boleh dinikahi Mas Nabil? Atau bahkan Mbak disini untuk menghalangi Mas Nabil menikah lagi? Atau, bahasa kasarnya, meng-ha-sut?"Wajahku memanas mendengar kata kata
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (4)Aku terbangun ketika mencium aroma minyak kayu putih yang terasa menyengat di hidung. Kepalaku pusing, bahkan tempat di mana tengkorak kepalaku terbentur tadi rasanya berdenyut. Aku mengerjapkan mata, menatap Mama dan Tiara yang berdiri di samping ranjang tempat tidurku. Sementara dari sudut mata, kulihat Mas Nabil berdiri dengan raut wajah kesal."Kamu gak apa apa Vi? Apa kita perlu ke dokter?" Tanya Mama dengan raut wajah panik.Aku menggeleng, meraba kepalaku yang pusing."Gak usah Ma. Aku cuma sedikit pusing.""Mama jatuh tadi kenceng banget." Ujar Tiara. Melihatnua sudah berdandan cantik, aku jadi teringat sesuatu."Loh, kamu dan Papa kok belum pergi? Ayo berangkatlah. Nanti Tante Meisya menunggu." "Telat. Ini sudah jam sebelas malam.""Astaga. Aku pingsannya lama banget berarti ya Mas?""Lumayan. Sampai aku dilalerin.
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (5)Kepalaku makin berdenyut mendengar kata kata gadis di depanku ini. Meski dia mengatakannya sambil tersenyum, aku yakin ada maksud tersembunyi di balik sikap manisnya. Apalagi kata katanya barusan. Apa? Gegar otak. Coba tanya Mas Nabil, kepala Vivi itu batu."Meisya?"Mama berdiri di ambang pintu, sudah mengenakan pakaian rapi. Sepertinya Mama mau pergi. Aku menghela nafas dalam dalam, merasa terselamatkan oleh situasi yang menyebalkan ini."Iya Ma. Maaf aku gak langsung nemuin Mama. Ini lagi nengokin Mbak Vivian, katanya semalam jatuh.""Oh iya. Kebetulan kalau begitu. Mama mau keluar sebentar, ada janji sama teman Mama. Bisa gak Mama titip Vivian?"Astaga Mama. Ngapain sih pake dititipin segala."Gak. Gak usah Ma. Aku gak apa apa kok." Seruku cepat. Mama melotot."Gak apa apa gimana? Kamu dari tadi megangin kepala terus. M
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (6)"Mama?"Kepala mungil Tiara muncul dari balik pintu yang dibukanya sedikit. Aku menoleh dengan malas, mengingat tawa riangnya di dapur tadi pagi. Jujur saja, aku sangat cemburu. Tapi aku tak mungkin menyampaikannya di depan anakku yang polos ini."Ditunggu Nenek di meja makan. Mama belum makan dari siang loh." Ujarnya, masih berdiri di ambang pintu."Iya. Sebentar lagi Mama turun." "Apa kepala Mama masih sakit?""Gak kok. Udah sembuh." Aku memaksakan sebuah senyum.Tiara ikut tersenyum. Dia manis sekali, mirip dengan Mas Nabil. "Tiara duluan ya Ma." Pamitnya.Aku mengangguk. "Emm… Ra…" Apakah aku harus bertanya padanya? Aku ingin tahu apa Meisya masih di sini? Apakah Mas Nabil juga datang untuk makan malam? Kepala Tiara muncul lagi dari balik pintu yang hampir ditutupnya. Aku bangun dari posisiku."Kenapa Ma?"Ah, sebaiknya tak perlu
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (7)Aku terbangun ketika adzan subuh baru saja selesai dikumandangkan. Kepalaku sudah tidak sakit lagi, tapi kurasakan mataku bengkak dan sulit dibuka. Oh, bodohnya aku, menangis semalaman hanya karena lelaki. Lima tahun aku berjuang untuk mendapatkan kembali cinta Mas Nabil, tapi sepertinya akan sia sia saja. Meisya ternyata telah menambat hatinya begitu erat. Usai sholat subuh, aku turun ke dapur, dan mendapati Mama sedang meracik makan pagi seperti biasanya. Beliau langsung tersenyum melihatku datang."Kepalamu masih sakit Vi?""Gak lagi Ma. Benjolnya juga sudah hilang kok." Jawabku sambil nyengir."Syukurlah. Mama takut kamu keterusan sakit kepalanya."Aku tersenyum, hatiku menghangat menyadari Mama benar benar tulus menyayangiku."Mama, sini biar Vi yang ngirisin tomat dan timunnya ya." Ujarku sambil mengambil alih timun dan tomat yang sudah dicuci Mama dan di
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,