Diana dijual oleh ayahnya sebagai penebus hutang kepada seorang kakek tua. Seperti dilempar bom tak kasat mata, dia mengira hendak dinikahkan dengan kakek tua tersebut. Namun siapa sangka? Orang yang akan menikahi Diana bukanlah seorang kakek tua. Melainkan pria tampan, tetapi berhati dingin dan kejam. Rumah besar nan mewah itu menjadi awal penderitaan Diana dimulai.
View More“Lunasi hutangmu!”
Suara menggelar Kakek Bram memenuhi kontrakan sempit milik Firman. Lelaki tua itu bersiap menarik pelatuk untuk ditembakkan bila mana targetnya kabur lagi.Firman mengangkat dua tangannya ke atas. Dia adalah mantan orang kepercayaan Bram. Bisa dibilang dia adalah sahabat yang sudah dianggap saudara. Namun karena gelap mata, Firman menggelapkan beberapa aset milik Kakek Bram senilai ratusan juta di masa lalu. Lelaki itu berjanji akan mengembalikan, nyata sudah puluhan tahun dia main kabur-kaburan dan berhasil menghindari kejaran orang-orang Bram.“Kali ini aku tidak akan membiarkanmu lolos, Fir. Jika kau tidak bisa melunasi hutangmu, maka nyawamu harus menjadi gantinya!” seru Bram lagi. Dia yang akan membunuh lelaki sialan itu dengan tangannya sendiri.Firman menarik napas panjang. Dia melirik sebuah pintu di mana putrinya yang tidak berguna sedang bersembunyi di sana.“Tunggu sebentar. Aku sudah menyiapkan sesuatu untukmu dari jauh-jauh hari.”Lelaki itu melenggang pergi menuju sebuah kamar. Bram hanya memperhatikan Firman tanpa bertindak lebih. Di luar sana orang-orang kepercayaannya sudah mengepung kontrakan ini, jadi sudah dipastikan Firman tidak akan mampu berbuat macam-macam apalagi sampai berani kabur.Ceklek …Pintu dibuka perlahan. Sesosok gadis cantik tengah mencicit ketakutan di samping lemari.“Ayah, aku tidak mau dijual pada orang itu. Aku janji akan membantu Ayah melunasi hutang-hutang Ayah, tapi tolong jangan serahkan aku kepadanya, Yah. Aku mohon!” Diana melirih dengan tubuh gemetar menahan takut. Dari suaranya saja Diana sudah bisa menebak kalau lelaki itu adalah kakek-kakek tua mengerikan.“Diamlah, Diana! Sekarang bukan saatnya untukmu bersikap tidak tahu diri. Kau hanyalah gadis pembawa sial yang tidak ada harganya di mataku!” hardik Firman penuh kebencian.“Tapi Ayah ….” Diana mendongak penuh permohonan. Matanya berkaca-kaca. Hal itu membuat Firman makin benci melihat wajah Diana yang mirip sekali dengan mendiang sang istri.“Jangan tunjukkan wajahmu melasmu itu kepadaku! Ayo keluar!”Firman mendekat ketika Diana bergerak mundur ke arah lain. dia mencengkram rahang gadis 19 tahun itu dengan tangannya yang besar dan kasar.“Sudah waktunya kau menebus dosamu kepadaku. Gara-gara melahirkan bocah tidak berguna sepertimu istriku meninggal untuk selamanya! Kau gadis pembawa sial,” maki Firman.Dia sudah menunggu dengan waktu yang cukup lama sekali. Sekarang saatnya Diana bisa dipergunakan untuk menyelamatkan hidupnya dari jerat hutang kepada Kakek Bram.Firman menarik kasar tangan Diana. Dia keluar dari kamar sambil membawa gadis itu. Diana terus menunduk tanpa berani melirik siapa pun. Dia hanya memperhatikan sepatu hitam yang dipakai oleh para bodyguard Bram.“Ambilah Diana. Dia putri kandungku satu-satunya!”“Apa maksudmu? Kamu pikir aku membutuhkan yang seperti itu?” Bram berdiri sambil mengarahkan pistolnya ke dada Firman. Ucapan Firman sukses melambungkan emosi dalam jiwa seorang Bram.Lelaki itu malah mengedikkan bahu dengan santainya. “Aku tidak punya harta secuil pun untuk diberikan kepadamu. Satu-satunya harta yang kusiapkan untuk menebus semua hutang-hutangku hanyalah putriku ini. Ketimbang kamu membunuhku tanpa membawa pulang apa pun, lebih baik kamu ambil saja Diana! Setidaknya anak ini masih berguna untuk menemani masa tuamu,” ujarmu Firman logis.Ekor mata Bram mengarah pada Diana. Meski dia tidak bisa melihat wajah Diana dengan jelas, Bram bisa menebak kalau gadis itu cukup layak untuk dibawa pulang. Meski hanya gadis desa Diana memiliki kulit seputih susu yang segar untuk dipandang.“Tunjukkan wajahmu!” seru Bram tak punya pilihan.Diana menggeleng. Dia malah bersembunyi di balik punggung Firman. “Aku tidak mau Ayah. Kita bisa mencari cara lain selain menggunakan cara seperti ini!”“Diam! Apa kau tidak melihat mereka semua membawa pistol?” bisik Firman pada sang putri.Lelaki paruh baya itu kemudian menjambak rambut Diana dari belakang. Menarik paksa gadis itu ke samping lalu membuat Diana mendongak supaya Bram bisa melihat dengan jelas seperti apa wajahnya.“Umurnya baru 19 tahun. Aku bisa memastikan kalau dia masih polos seperti seleramu,” ucap Firman dengan suara lantang.Tak puas melihat Diana dari kejauhan, Bram berjalan mendekati perempuan itu. Dia tersenyum puas saat melihat wajah Diana dari jarak dekat.Gadis belia itu menatap Kakek Bram dengan mata berkaca-kaca. Sorot matanya yang teduh menggambarkan sebuah keputus asaan.“Bagaimana? Dia cukup menarik bukan?” Firman tersenyum jahat. Dia bisa membaca gelagat puas yang terpancar di wajah Bram saat ini.“Bawa gadis ini ke mobil!” titah Bram pada salah satu bodyguardnya. Firman keparat ini benar-benar miskin. Selain anaknya mungkin tak ada sesuatu yang bisa diambil.Kalau dipikir-pikir lebih baik Bram mengambil Diana ketimbang melenyapkan nyawa Firman yang tidak ada harganya sama sekali.*********Firman membuka pintu mobil lalu menyodorkan sebuah tas berukuran sedang berisi baju-baju Diana.Dengan cepat Diana langsung menarik tangan ayahnya. Dia menggeleng dan memaksa untuk turun dari mobil.“Ayah, ampuni aku! Aku tidak mau tinggal bersama kakek itu,” pinta Diana. Air mata terus keluar membasahi pipi gadis itu. Refleks Firman mencampakkan tangan Diana dengan wajah kesal. Dia mendorong tubuh Diana hingga terjungkal kembali.“Anak sialan! Apa kau ingin melihat Ayahmu mati dibunuh oleh Tuan Bram? Apa susahnya menuruti permintaannya, hah? Buka matamu, tinggal bersamanya jauh lebih baik ketimbang hidup bersama ayah sepertiku!” maki Firman frustrasi.Bram tiba-tiba masuk dari pintu samping sambil mengendurkan dasi. Spontan Diana bergeser menghindari sentuhan tubuh dengan lelaki tua itu.“Yang Ayahmu katakan benar Diana! Lebih baik kamu tinggal bersamaku ketimbang dengan ayah yang tidak punya hati seperti dia,” sela Bram sengaja mengejek. Firman hanya diam lalu menutup pintu. Lelaki itu melepas kepergian Diana dengan hati biasa saja. Memang niatan ini sudah ia rencanakan sejak dulu.“Cepat jalan!” titah Bram pada sang supir.Mobil berjalan dengan kecepatan sedang meninggalkan kampung halaman. Dia terus menunduk tanpa berani melirik siapa pun. Diana ketakutan bukan main saat tangan keriput Bram membelai puncak kepalanya.“Jangan takut. Aku bukan orang jahat,” ucap Bram disertai senyum hangat. Diana langsung memalingkan wajahnya ke arah jendela. Dia jijik melihat senyum mesum kakek tua itu.Rasanya Diana ingin menjerit ketika membayangkan sebuah pernikahan dengan seorang kakek-kakek tua. Gadis itu masih ingin bermain dan bekerja. Ia tidak mau terjebak dalam pernikahan yang tidak diinginkan. Apalagi dengan Kakak tua seperti Bram ini.“Hallo?”Diana sedikit melirik saat Bram terlihat mengangkat sebuah panggilan dari seseorang.“Bagaimana dengan rencanaku? Yang biasa saja asal sah! Pokoknya aku mau pernikahan dilaksanakan besok pagi!”Sontak Diana menoleh dengan mata membelalak. Nikah? Besok pagi? Apa maksudnya ini?Rasanya lutut-lutut Diana seperti tidak bertulang lagi. Dia jelas paham bahwa Kakek Bram sedang membahas pernikahannya dengan Diana.“Kenapa dia tidak sabaran sekali? Arghhh, Aku tidak mau menikah dengan Kakek tua itu secepat ini!” jerit Diana dalam hati.Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments