“Astaga!”
Abian terhenyak kaget saat membuka pintu kamar. Dia melihat Diana masih duduk di sofa dengan baju kebayanya dan riasan yang masih lengkap.“Ngapain kamu masih betah pakai baju seperti itu? Kamu pikir penampilanmu yang seperti itu menarik di mataku?”Diana tak menjawab. Gadis itu berjalan ke arah Abian lalu membalikkan punggungnya ke belakang. “Tolong bantu aku membuka kemben yang ada di dalam. Aku tidak bisa,” pinta Diana.Gadis itu mulai membuka kebayanya. Menyisakan kemben berwarna putih yang hanya bisa dibuka dari arah belakang.“Kau sengaja mau menggodaku?” kesal Abian sembari mendengkus. Dia juga kesal karena Diana hanya mau bicara dengan Abian saat membutuhkan bantuan.Diana tersenyum miris lalu menyahut, “Wajahku tidak semenarik itu untuk membuat orang sepertimu tergoda. Aku benar-benar minta tolong. Sejak tadi aku juga sudah risih sekali dengan baju sialan ini!”“Cih! Alasan saja.” Abian mencibir. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk memanfaatkan situasi ini.“Aku mau menolongmu tapi ada syaratnya,” ucap Abian disertai senyuman jahat.“Katakanlah,” jawabnya Diana lirih.“Syarat gampang, aku cuma mau kamu pura-pura jadi pembantuku setiap kali ada temanku yang datang ke sini. Maaf bukannya mau menghina. kamu tahu sendirilah bagaimana perbedaan kita! Tidak mungkin kan, aku jujur pada orang lain kalau aku menikahi gadis sepertimu? Selain itu, aku juga punya pacar! Aku harap kamu tidak mengganggu hubunganku dengan pacarku. Jangan juga mengadukan yang jelek-jelek tentangku dihadapan kakek!”“Hanya itu?” Diana tersenyum sinis disertai perasaan miris.“Hanya itu saja. Aku harap kamu cukup tahu diri,” ujar Abian.“Baiklah.” Diana mengangguk. Sudah ia tebak nasibnya pasti akan semiris ini. Jika ada yang lebih dari ini pun Diana masih bisa menerimanya dengan hati lapang.“Kau tidak protes?” tanya Abian heran.“Syaratmu masih manusiawi, kok. Kenapa aku harus protes? Kecuali jika kamu menyuruhku makan kotoran hewan baru aku protes. Toh aku juga ingin bebas. Aku mau bekerja dan pacaran dengan cowok kota juga,” jawab Diana asal.Abian sontak tergelak. “Hahaha. Siapa yang mau pacaran dengan gadis jelek seperti kamu?!” Lelaki itu terus terkekeh dengan nada mengejek. Tapi tangannya mulai bergerak membantu Diana melepas baju. Saat kebaya yang sejak tadi menutupi punggung dibuka, Abian langsung terperanjat melihat banyak sekali luka lebam di tubuh Diana. Tawa lelaki itu seketika lenyap.“Ada apa dengan tubuhmu?” Pria itu memundurkan langkah saking kagetnya. Sekujur tubuh Abian ikutan merinding karena luka lebam di tubuh Diana sangat banyak.“Tidak usah banyak bertanya. Kurasa kamu bukan orang yang suka kepo dengan urusan orang lain!” sindir Diana.Mendengar itu Abian melotot kesal. “Ini bukan sekadar masalah kepo! Sekarang statusmu adalah istriku. Aku harus tahu soal luka itu karena aku tidak mau kamu menggunakan lukamu sebagai alasan untuk memfitnahku!”“Siapa yang mau memfitnahmu?” Diana berbalik badan sembari menyipitkan mata. Postur tubuh Abian yang cukup tinggi membuat gadis itu harus mendongak penuh ke arahnya.“Mana tahu nanti kamu memangadu pada Kakek kalau aku habis memukulimu! Sebagai manusia normal aku perlu waspada terhadap orang baru sepertimu! Pokoknya aku tidak mau membantumu jika kamu tidak memberi tahu dari mana asal luka-luka yang banyak itu,” desak Abian.Selain curiga ia juga sedikit penasaran kenapa seorang gadis seperti Diana sampai memiliki luka sebanyak itu. Mana tahu kalau luka itu didapat karena Diana suka mencuri di kampungnya.Diana mendesah lalu kembali memunggungi Abian. “Sehari yang lalu aku habis dipukuli ayahku. Dia sering melakukan ini ketika mabuk,” jawab gadis itu apa adanya.“Kenapa dia memukulimu?”Tangan Abian mulai bergerak membuka kemben milik Diana. Entah kenapa matanya tidak bisa berpaling dari punggung putih yang dipenuhi luka itu.“Sama sepertimu. Ayahku juga menganggap aku sebagai gadis pembawa sial!”Abian tersentak. Tangannya berhenti bergerak. Dia memang sempat mengatakan itu, tapi semua perkataan itu hanyalah makian asal yang terlintas di kepala. Bukan sesuatu yang diucapkan dari lubuk hati seperti tuduhan Diana barusan.“Ayah bilang semua orang yang dekat denganku akan bernasib sial. Dulu ibuku meninggal karena melahirkanku. Temanku juga pernah meninggal kecelakaan sepulang mengantarkanku pulang dari sekolah. Dan kamu … kamu harus bernasib sial karena menikahi orang seperti aku. Apa penjelasan itu sudah cukup membuatmu puas?” tanya Diana dengan suara lirih yang mengandung jejak putus asa.Abian refleks meneguk ludah. Dia tidak tahu harus menjawab apa.“Cepat lanjutkan. Nanti kamu bisa tambah sial kalau lama-lama dekat denganku,” seru Diana membuyarkan Abian dari lamunan.Buru-buru Abian meneruskan tugasnya. Diana kembali berbalik setelah semua kancing dibuka oleh Abian.“Aku harap kamu orang terakhir yang bernasib sial karena aku. Aku juga tidak mau dilahirkan sebagai gadis pembawa sial!” Diana tersenyum lalu melangkah ke kamar mandi setelah mengatakan itu.Abian masih terpaku di tempat. Matanya menyorot ke arah pintu kamar mandi. Dia bisa melihat senyum getir Diana saat menatapnya beberapa saat lalu.“Keburukan apa yang sudah dialami gadis jelek itu sampai hatiku ikut merasakan sakit juga?”Lelaki itu menekan dadanya. Ada denyut tidak wajar yang terasa di bagian sana. Lebih tepatnya rasa sakit dan sesak yang tiba-tiba menghantam perasaan Abian.Lampu kelap-kelip di sertai suara musik yang keras menjadi sajian pertama saat Abian memasuki sebuah club malam tempat kekasihnya bekerja. Pria itu mengedarkan pandangannya ke sana ke mari. Dia mencari sosok Miranda di antara lautan manusia yang menari-nari tapi tak ada nampak batang hidung gadis itu sama sekali. Saat menghampiri meja bartender Abian juga tidak menemukan keberadaan Miranda. Ia lalu melirik jam di pergelangan tangan dan seketika itu juga matanya membulat sempurna."Sial!" Pria itu menggeram saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam lewat 5 menit. Miranda pasti akan ngambek karena dia telat satu jam lebih."Bian!" panggil seorang gadis dengan rok seksi dan kaos hitam ketat yang menampakkan belahan dada indah. "Nyariin Miranda? Dia ada di lantai dua," ucap gadis itu."Ah. Di lantai dua? Thanks ya Gisell. Aku ke atas dulu!" Abian buru-buru berlari menaiki tangga setelah melempar senyum pada gadis bernama Gisell. Dia menabrak beberapa orang saking buru-burunya.“Ups
“Iya Abian! Hamil duluan! Masa kamu gak paham?” ulang Miranda penuh nada penekanan. Tubuhnya semakin mepet ke dada Abian sampai lelaki itu merasa kesulitan bernapas karena kekurangan pasokan oksigen.“Setelah dipikir-pikir akan lebih baik kalau aku hamil duluan saja! Dengan begitu Kakek pasti akan mempertimbangkan hubungan kita.” Abian tak mampu lagi menjawab ucapan Miranda. Lelaki itu mematung kaku karena tangan Miranda terus bergerilya di antara dadanya yang bidang. Wanita itu bermain-main cukup lama di bagian sana. Membuat Abian nyaris hilang kendali dan ingin sekali menerkam wanita yang ada di hadapannya saat ini.“Kata temenku solusi hubungan kita ya begitu. Mau tidak mau kakekmu pasti akan setuju kalau ada calon pewarisnya di perutku,” ujar Miranda dengan suara genit.Dia kembali melingkarkan tangannya di leher Abian tapi kali ini pria itu segera menepisnya sembari menjauh. “Tidak Miranda! Tidak!”Abian merasa takut karena sikap Miranda hari ini tidak seperti biasa. Apa jangan-
Setelah mendapat alamat yang diberikan oleh Abian, Raka gegas menuju apartemen yang dimaksud oleh pria itu. Diana sedang membuka celengan yang dibawakan ayahnya saat mendengar suara bell berbunyi di luar sana. Gadis itu baru saja mandi, dan niatnya besok ia ingin mencari pekerjaan dengan sedikit uang yang ia miliki. Untungnya sang ayah tidak setega itu, dia masih mau membawakan celengan ayam milik Diana yang selama ini disembunyikan di bawah kolong tempat tidur.“Siapa, sih? Apa orang galak itu pulang lagi?” gumam Diana yang sudah lupa dengan nama suaminya sendiri. Dia membuang celengan plastiknya ke tempat sampah lalu mengantongi pecahan uang 350 ribu ke saku roknya. Dengan sedikit ragu gadis itu membukakan pintu untuk tamu yang menekan bell di luar sana.“Maaf yang punya rumah ini sedang tidak ada,” ucap Diana saat melihat sosok asing di hadapannya.Raka yang melihat pintu baru saja dibuka langsung melongo cengo. Dia terpaku melihat sosok gadis yang berdiri di hadapannya saat ini.“
“Maaf ngerepotin, Mas! Aku mohon Mas Raka mau terima uang ini ....” Diana menyodorkan uang pecahan tiga puluh ribu kepada Raka. Tadi gadis itu sempat melirik nominal promo makanan yang ia pesan, jadi kemungkinan harganya adalah segitu. Padahal 30 ribu yang Diana pikir belum termasuk tambahan ppn."Makanannya enak banget! Berkat Mas Raka aku jadi bisa makan makanan seenak ini. Terima banyak, Mas." Gadis itu tersenyum kembali. Raka terpaksa mengambil uang 30 ribu yang disodorkan oleh Diana demi menghargai niatan gadis itu. Sejujurnya hati Raka sedikit tercubit karena Diana sampai mengatakan makanan itu sangat enak. Padahal yang Diana makan hanya ayam kentucky yang harganya tidak seberapa bagi Raka."Uangnya aku terima! Tapi lain kali kamu harus mau kalau aku traktir, ya. Ngomong-ngomong aku boleh minta nomor hape kamu, nggak?"Mendengar itu Diana spontan melipat bibir. Gadis itu tertunduk malu sambil memainkan jari-jemari di bawah meja. Raka sendiri langsung menyadari sedikit perubah
Matahari semakin meninggi tepat berada di puncak kepala. Entah ini sudah jam berapa, yang jelas Diana sudah ke sana sini menawarkan jasa tapi tak ada satu pun yang mau menerima surat lamaran kerjanya.Padahal Diana hanya melamar pekerjaan di toko-toko biasa atau rumah makan sederhana, tapi mereka bilang yang dibutuhkan adalah tamatan SMA sederajat. Sebagian lagi lebih suka menolak dengan dalil tidak ada lowongan."Susah banget nyari kerjaan! Apa di Jakarta sama sekali tidak bisa menerima tamatan SMP?"gumam Diana nyaris putus asa. Sudah puluhan tempat ia datangi tapi tak ada satu pun yang mau menerima dirinya.Kini Gadis itu sedang duduk di dekat trotoar sambil memijat-mijat kakinya yang terasa pegal sekali. Tind ... Tind! Suara klakson dan mobil yang tiba-tiba berhenti di tepi jalan membuat Diana mendongak. Detik kemudian seseorang tampak menurunkan kaca mobilnya sembari melongokkan kepalanya keluar."Diana, kamu ngapain di sini?" Raka yang baru saja pulang dari tempat golf cukup ter
Seumur hidup Diana tidak pernah menemukan orang sebaik Raka meski dia pernah memiliki beberapa teman laki-laki sebelumnya. Kehadiran lelaki itu di dekat Diana seolah menghapus kesialannya karena harus tinggal dengan lelaki bernama Abian. Sikap Raka yang begitu perhatian dan penuh sopan santun sangat bertolak belakang dengan Abian yang galak dan jutek. Perbedaan mereka seperti langit dan bumi."Oh! Jadi kalian bertiga sahabatan?" tangkap Diana setelah mendengar cerita Raka tentang pertemanan Abian, Doni, dan juga dirinya."Iya. Kita semua sahabat! Oh ya, mengenai pertemuan kita tadi siang, usahakan jangan sampai Abian tahu ya! Soalnya aku tidak enak pada Abian kalau ketahuan membantumu secara diam-diam. Engga masalah kan?""Iya Mas! Aku paham," jawab Diana seraya menganggukan kepala. "Pokoknya terima kasih karena sudah membantu aku nyari pekerjaan tambahan! Aku nggak tahu harus balas kebaikan Mas Raka dengan cara apa! Semoga kebaikan Mas Raka di balas sama Tuhan karena aku gak bisa ba
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Diana membuka bungkusan makanan yang dibelikan oleh Raka. Lagi, gadis itu tampak berbinar senang mendapati makanan yang paling ia sukai sersaji di depan mata. Ayam tepung atau biasa disebut fried cicken. Menurut Diana makanan itu adalah makanan paling enak dan berharga yang jarang-jarang bisa ia nikmati seperti ini. Karena Raka membelikannya dua porsi, Diana sengaja menaruh satu porsi lagi ke kulkas untuk dimakan besok pagi. Bertepatan dengan itu Miranda keluar dari kamar Abian dengan penampilan acak-acakan khas bangun tidur. Diana hanya melirik sedikit lalu berusaha mengabaikan gadis itu yang berjalan menuju kulkas."Lagi makan?" tanya Miranda sambil membuka kulkas dan mencari minuman dingin."Iya Mbak!" "Kok pembantu makannya kayak gitu! Emang kamu gak bisa masak sendiri?""Bahan-bahan untuk masaknya belum ada. Lagi pula Mas Abian tidak menugaskan saya untuk masak!""Terus tugas kamu di sini ngapain aja?"Pertanyaan Miranda berikutnya mem
Tak terasa sudah satu bulan lebih Diana tinggal di Ibu kota. Perlahan gadis itu mulai bisa menyesuaikan kehidupan di sana. Tapi ada satu hal yang mengganjal di benak Diana. Dia mulai tidak betah tinggal di apartemen milik Abian. Pemicunya sendiri adalah Miranda yang sering bersikap semena-mena pada Diana terlepas ada Abian atau tidak. Tentunya pria yang juga tidak menyukai kehadiran Diana itu hanya bersikap cuek dan masa bodo.Seperti tadi pagi, Miranda sengaja menumpahkan nasi goreng milik Diana dengan alasan tidak sengaja. Entah karena cemburu, atau karena merasa terganggu, yang jelas Miranda mulai terang-terangan membenci kehadiran Diana di antara mereka. Dia tak segan menyindir Diana sebagai benalu, lalu pamer kemesraan setiap hari di hadapan Diana.“Kalau tahu Mas Abian akan tinggal dengan Mbak Miranda setiap hari aku tidak akan mau tinggal di sini,” guman Diana setengah melamun.Prank!Piring di tangannya tiba-tiba pecah. Diana langsung tersentak begitu pun beberapa temannya yang
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah