Seumur hidup Diana tidak pernah menemukan orang sebaik Raka meski dia pernah memiliki beberapa teman laki-laki sebelumnya. Kehadiran lelaki itu di dekat Diana seolah menghapus kesialannya karena harus tinggal dengan lelaki bernama Abian. Sikap Raka yang begitu perhatian dan penuh sopan santun sangat bertolak belakang dengan Abian yang galak dan jutek. Perbedaan mereka seperti langit dan bumi."Oh! Jadi kalian bertiga sahabatan?" tangkap Diana setelah mendengar cerita Raka tentang pertemanan Abian, Doni, dan juga dirinya."Iya. Kita semua sahabat! Oh ya, mengenai pertemuan kita tadi siang, usahakan jangan sampai Abian tahu ya! Soalnya aku tidak enak pada Abian kalau ketahuan membantumu secara diam-diam. Engga masalah kan?""Iya Mas! Aku paham," jawab Diana seraya menganggukan kepala. "Pokoknya terima kasih karena sudah membantu aku nyari pekerjaan tambahan! Aku nggak tahu harus balas kebaikan Mas Raka dengan cara apa! Semoga kebaikan Mas Raka di balas sama Tuhan karena aku gak bisa ba
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore saat Diana membuka bungkusan makanan yang dibelikan oleh Raka. Lagi, gadis itu tampak berbinar senang mendapati makanan yang paling ia sukai sersaji di depan mata. Ayam tepung atau biasa disebut fried cicken. Menurut Diana makanan itu adalah makanan paling enak dan berharga yang jarang-jarang bisa ia nikmati seperti ini. Karena Raka membelikannya dua porsi, Diana sengaja menaruh satu porsi lagi ke kulkas untuk dimakan besok pagi. Bertepatan dengan itu Miranda keluar dari kamar Abian dengan penampilan acak-acakan khas bangun tidur. Diana hanya melirik sedikit lalu berusaha mengabaikan gadis itu yang berjalan menuju kulkas."Lagi makan?" tanya Miranda sambil membuka kulkas dan mencari minuman dingin."Iya Mbak!" "Kok pembantu makannya kayak gitu! Emang kamu gak bisa masak sendiri?""Bahan-bahan untuk masaknya belum ada. Lagi pula Mas Abian tidak menugaskan saya untuk masak!""Terus tugas kamu di sini ngapain aja?"Pertanyaan Miranda berikutnya mem
Tak terasa sudah satu bulan lebih Diana tinggal di Ibu kota. Perlahan gadis itu mulai bisa menyesuaikan kehidupan di sana. Tapi ada satu hal yang mengganjal di benak Diana. Dia mulai tidak betah tinggal di apartemen milik Abian. Pemicunya sendiri adalah Miranda yang sering bersikap semena-mena pada Diana terlepas ada Abian atau tidak. Tentunya pria yang juga tidak menyukai kehadiran Diana itu hanya bersikap cuek dan masa bodo.Seperti tadi pagi, Miranda sengaja menumpahkan nasi goreng milik Diana dengan alasan tidak sengaja. Entah karena cemburu, atau karena merasa terganggu, yang jelas Miranda mulai terang-terangan membenci kehadiran Diana di antara mereka. Dia tak segan menyindir Diana sebagai benalu, lalu pamer kemesraan setiap hari di hadapan Diana.“Kalau tahu Mas Abian akan tinggal dengan Mbak Miranda setiap hari aku tidak akan mau tinggal di sini,” guman Diana setengah melamun.Prank!Piring di tangannya tiba-tiba pecah. Diana langsung tersentak begitu pun beberapa temannya yang
Paling tidak seminggu sekali Abian dan teman-temannya akan berkumpul di suatu tempat untuk membuang penat.Seperti sore ini, Abian, Doni, dan Raka sengaja menyempatkan diri untuk berkumpul di area golf sambil menikmati kesejukan sore. Mereka bersenang-senang dengan permainan. Menikmati makanan. Tapi pandangan Abian terus tertuju pada Doni dari sejak mereka bertemu.Sampai tibalah waktu makan. Abian berpangku tangan sambil memperhatikan Doni yang sibuk memainkan ponsel."Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Don!"Sontak laki-laki itu menoleh heran. Tak terkecuali Raka yang melirik sedikit di sela-sela keterdiamannya. Raka sedikit khawatir bahwa pertanyaan yang akan ditanyakan Abian mengacu pada Diana. Pasalnya hingga detik ini pria itu belum berani jujur kalau selama ini dirinya sedang berusaha mendekati pembantu Abian."Tanya apa? Sepertinya dari tadi kamu terus memperhatikanku! Ada yang aneh?" ucap Doni sinis."Apa kamu kenal sama Diana?" Abian langsung bertanya tanpa basa-basi."Di
"Mas Raka!" Diana sedikit berseru sambil mengangkat tangan saat menyadari kehadiran Raka yang celingak-celinguk mencari dirinya. Lelaki itu tersenyum dan perlahan mendekat. Jantung Diana langsung berdebar-debar tidak karuan. Wanita itu meneguk ludah susah payah saat tubuh tinggi Raka sudah ada di depan mata."Hai," sapa Raka yang membuat Diana spontan menunduk karena malu."Duduk Mas!" "Iya. Makasih Diana!" Raka pun duduk diikuti gerakan Diana yang juga kembali terduduk. Hatinya sangat senang bisa melihat Diana dari jarak sedekat ini. Biasanya Raka hanya sesekali menyapa atau berkunjung di restoran milik Doni, dan kalau kangen dia akan menghubungi telepon rumah Abian untuk mendengarkan suara gadis itu. Itu pun Raka lakukan di waktu pagi-pagi sekali saat Abian belum bangun.Pernah sekali Raka menawarkan bantuan pada Diana untuk mengantarnya pulang. Namun gadis itu menolak dengan alasan ingin jalan kaki sampai ke restoran. Katanya olahraga, tapi Diana melakukan itu hampir setiap hari.
Hampir saja Diana mengatakan 'IYA'' sebelum lelaki yang paling menyebalkan itu datang dengan langkah super duper marah. Melihat tampang garang Abian dari kejauhan, pupil mata Diana membulat diikuti tangan yang tanpa sadar meremas pahanya sendiri di bawah sana."Mas Abian?" pekik Diana nyaris tanpa suara. Seketika itu juga Raka menoleh ke belakang. Melihat sosok yang tengah berjalan tergesa-gesa ke arah mereka berdua."Bian, aku bisa jelaskan!" Raka berdiri menahan bahu Abian yang langsung berjalan mengarah pada Diana. Lelaki itu benar-benar enggan melihat Raka bahkan seperti tidak menganggap ada pria itu di sana."Bian, please!" Raka mendesah. Kalau sudah begini ia yakin Abian tak akan mau bicara dengannya sampai berhari-hari. "Ikut aku! Ayo kita pulang ....""Aku tidak mau!" sahut Diana cepat.Sementara Raka menelan ludah. Dia merasa malu sekaligus tidak enak pada Abian karena tidak berterus terang sejak awal. Andai Raka jujur ingin mendekati pembantunya mungkin Abian tidak akan s
Abian menghalau kepergian Diana di depan pintu. Dia merentangkan tangannya dengan tatapan sedikit takut. Jelas ia takut karena kalau sampai Diana pergi Abian juga akan mendapat masalah besar. Bisa-bisa sang Kakek akan marah dan menyeret mereka berdua kembali ke rumah utama."Kenapa dihalangi? Bukannya kamu bilang aku sedang memanfaatmu! Jadi aku mau pergi supaya tidak ada kata memanfaatkan lagi di antara kita!" Kini Diana kembali memanggil kamu. Hilang sudah kalimat 'Mas' yang selama ini ia ucapkan dengan suara imut."Aku tidak mengizinkan kamu pergi!" tahan Abian.Diana melempar senyuman getir pada lelaki itu. "Atas dasar apa kamu melarangku untuk pergi?""Atas dasar aku adalah suamimu!""Hahaha." Tawa Diana menggema. Suaranya masih sangat imut tapi kali ini terdengar mengerikan di telinga Abian."Sejak kapan kamu menganggapku sebagai istri? Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau aku cuma wanita pembawa sial di kehidupanmu!” Lelaki di depan Diana menarik napas panjang. “Terserah k
“Tega kamu ya Bian! Cuma gara-gara pembantu kampung itu kamu berani bentak aku kayak gini?” Sambil mencebik wanita itu langsung melepas cekalan tangannya pada lengan Abian. Secepat kilat Miranda berbalik arah membentuk gerakan merajuk. Dia meninggalkan Abian begitu saja sama halnya Diana yang pergi meninggalkan Abian tadi."Dasar pembantu sialan," decak Miranda diikuti hentakan kaki. Kini kebenciannya pada gadis itu semakin jadi karena sikap Abian yang membela Diana seakan gadis itu layak untuk dibela.Sejatinya Miranda adalah gadis yang suka dimanja dan diprioritaskan oleh pasangan. Ia tidak suka jika Abian secara terang-terangan membela wanita lain entah itu pembantu atau siapa pun."Miranda! Mau ke mana?"Lelaki dengan postur tegap tinggi 184 itu mendesah. Dia kembali menciptakan adegan mencekal lengan tepat di depan lift dengan wanita yang berbeda dalam waktu singkat."Aku mau kerja! Tadi aku ke sini cuma mau ngambil carger hape aku yang ketinggalan di apartemen kamu! Eh, ternyata
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah