Raka sangat mengenal jelas bagaimana watak Abian, tapi selama mereka berteman baru kali ini ia melihat sikap Abian yang sangat aneh. Anak itu terlihat marah sekali. Padahal Raka pikir kesalahannya tidak begitu fatal. Raka hanya mendekati pembantunya, tapi sikap Abian terlihat posesif sekali seakan wanita yang didekati Raka adalah istri sah Abian.Merasa galau, pria itu sengaja mendatangi restoran Doni untuk membahas masalah ini. Dia menceritakan semuanya dengan detail dari pertama Abian memergoki mereka sampai mereka bertengkar cukup hebat karena Abian merasa terbohongi."Menurutmu wajar tidak kalau Abian marah sekali denganku hanya gara-gara aku deketin pembantunya," tanya Raka. "Dia juga marah padamu karena kamu dianggap ikut berbohong dan membelaku!""Agak aneh! Tapi beneran dia tidak memberi alasan?" Doni menyesap sebatang roko di tangannya. Kini dua pria itu sedang duduk saling berhadapan di luar ruang tepatnya di area smoking."Alasannya sih hanya karena dia merasa terbohongi. A
“Gadis penebus hutang? Ck!” Abian berdecak. Kalimat itu terus terngiang-ngiang di kepala Abian karena terdengar seperti sinetron ikan terbang. Bisa-bisanya nyawa manusia dijadikan penebus hutang? Abian rasa Diana tidak semenarik itu sampai sang Kakek merelakan uangnya yang banyak untuk ditukar dengan seonggok gadis model Diana!Andai Abian jadi kakek Bram! Mungkin dia lebih baik menghukum Firman di penjara atau membuat lelaki itu mati saja. Hal seperti itu jauh lebih memuaskan dibanding menerima gadis seperti Diana yang mudah didapatkan di mana saja.Dan sialnya, sekarang Abian kembali terjebak dengan kegilaan ini. Pria itu harus mencari keberadaan Diana karena nanti malam kakek meminta Abian dan Diana untuk menginap. Pagi-pagi sekali Abian memacu mobilnya menuju restoran Doni. Dia menunggu gadis itu cukup lama sampai akhirnya Abian melihat sosok Diana sedang menuruni angkot pukul 8 pagi.Buru-buru Abian mengejar Diana sebelum wanita itu masuk ke dalam.“Diana!” Dia mencekal lengan
"Diana menikah dengan siapa? Jelas-jelas waktu itu dia bilang kalau dia masih single-- argghhhh ini gila! Ini gila sumpah!" Raka menjerit sambil menjambak rambutnya. Pria itu merasa tertipu dengan kepolosan yang Diana miliki selama ini. Dia tidak menyangka gadis yang terlihat polos seperti Diana tega membohonginya seperti itu."Tenang dulu Rak! Masalah ini biar nanti aku yang tanyakan pada Diana secara langsung. Mana tahu ini hanya salah paham," ujar Doni berusaha menenangkan pria itu.Sepertinya Raka sudah terlanjur cinta berat pada Diana. Namun Raka lupa kalau Diana masih tergolong perempuan bocah. Bagaimanapun juga pemikiran anak 19 tahun tidak bisa disandingkan dengan Raka yang sudah berumur matang. Andai Diana memang membohongi Raka pun itu sudah tidak aneh bagi Doni. Anak seusia Diana memang sedang menjajaki arus-arus kehidupan yang menurut Doni termasuk hal wajar."Apa jangan-jangan Diana adalah istri Abian?" tebak Raka sembari tertawa getir.“Jangan sembarangan menuduh. Jika A
Diana tertunduk dalam-dalam sembari meremas apron berbahan dasar kain katun. Dia masih belum tahu apa yang terjadi. Tapi pikirannya berusaha menebak-nebak apa yang terjadi sampai dua manusia di hadapannya terlihat bersitegang dan menatap Diana tanpa henti."Diana masih karyawanku, jadi biar aku saja yang bicara!" ucap Doni menghardik Raka supaya diam. Raka terlihat mengedikkan bahu pertanda pria itu mempersilakan Doni untuk bicara."Sebelumnya aku minta maaf Diana. Jujur aku tidak mau ikut campur urusan pribadi kalian berdua, tapi tadi aku tidak sengaja melihat data diri yang kamu berikan kemarin." Doni membalik laptopnya menghadapi Diana.Kemarin memang Doni menyuruh manajernya untuk mengirim foto scan ktp Diana kepadanya, tapi ia baru melihat keanehannya pada hari ini."Di KTP ini statusmu sudah menikah! Apa benar kamu memang sudah menikah?" tanya Doni. Diana termenung menatapi scan ktp miliknya yang tertera pada layar laptop Doni. Dia memang tidak pernah membahas soal status dengan
"Masih perawan?" Gumaman pelan itu keluar dari mulut kering Raka begitu saja. Ia beberapa kali menggeleng tidak percaya dengan penuturan Diana yang terkesan aneh di telinga."Sial. Kenapa otakku malah jadi mikir ke arah sana terus?" rutuknya dalam hati karena terus membayangkan pernyataan Diana.Sayangnya Raka adalah tipe pria yang jika sekali dibohongi tidak akan mudah menaruh kepercayaan lagi dengan orang tersebut. Sekalipun orang itu adalah pujaan hatinya sendiri, dia tetap tidak mudah percaya. Dan juga, memangnya ada orang yang menikahi wanita secantik Diana tapi tidak bernafsu menyentuhnya? Andai itu Raka mungkin ia akan mengurung Diana di kamar supaya hanya dirinya saja yang bisa menikmati kecantikan Diana. Sebagai laki-laki normal jelas Raka merasa janggal dengan kejujuran Diana barusan.Raka kembali ke kantor setelah berhasil mengintrogasi Diana. Dia sengaja membawa satu cup kopi kesukaan Abian untuk mendekati pria itu. Niatnya Raka akan minta maaf, juga menyelidiki sesuatu.
"Belum kawin?" Raka sedikit mengerutkan alisnya. Namun beberapa saat kemudian pria itu menarik napas lega karena berpikir kecurigaannya tidak benar.Padahal Abian memang sengaja belum mengganti statusnyai di KTP. Kemarin saat mereka mendaftarkan pernikahannya di catatan sipil hanya Diana seorang yang statusnya berubah. Sementara Abina menolak status perubahan KTP tanpa sepengetahuan Diana.Raka kemudian menaruh benda itu ke tempat asalnya. Pria itu memggeleng dengan suara lemah. "Bisa-bisanya aku mencurigai temanku sendiri. Padahal aku tahu persis bagaimana watak Abian. Maafkan aku Bian ... aku terpaksa melakukan ini," gumam Raka.Setelah itu dia pura-pura menghubungi Abian untuk memberi tahu pria itu kalau dompetnya terjatuh di depan pintu tadi."Biar aku saja yang antar. Kau tunggu saja di lobi!" ucap Raka gegas turun menggunakan lift saat Abian bilang akan ke atas mengambil dompetnya.Tak lama kemudian Raka keluar dari pintu lift. Dia berlari kecil lalu menyerahkan dompet Abian pad
Abian hanya menatap datar saat melihat Miranda tersenyum senang dengan ponsel baru yang ada di tangan. Gadis itu terlihat bahagia dengan ponsel limited seharga 50 juta yang baru saja dibelikan oleh Abian."Suka?" celetuk pria itu. Masih dengan tatapan yang datar karena Abian tak tahu harus memberi reaksi apa atas sikap Miranda yang menurutnya sangat berlebihan."Jelas suka banget. Ponsel ini udah aku incer dari bulan lalu. Makasih ya!""Hmmm," jawab Abian dengan dehaman. Spontan perempuan itu mendongak tidak senang. "Kok cuma hmm doang? Kamu nyesel beliin aku hape mahal ini?" kesal gadis itu."Apaan si, Mir? Terus aku harus kasih reaksi apaan?" Abian menarik gelas mix jus di depannya. Sekarang mereka sedang ada di sebuah restoran dan menikmati makan siang bersama."Terserah kamu! Yang penting jangan cemberut. Aku jadi ngerasa kamu gak rela beliin aku hape!""Kalau nggak rela aku gak bakalan ada di sini buat nurutin permintaan kamu,," balas Abian logis."Hmmm. Terus aja ketus sama aku!
"Kamu berani nolak pemberian aku?" tanya Abian geram.Diana menatap pria itu dengan berani. "Iya. Soalnya aku nggak mau tinggal di apartemen Mas Abian lagi! Aku nggak betah tinggal di sana!""Alasannya?" Pria bertubuh jangkung itu menaikkan sebelah alis. Entah sejak kapan Diana pintar bicara dengan bahasa non formal, tapi menurut Abian lebih baik Diana menggunakan bahasa santai seperti ini agar pembicaraan mereka tidak terlalu kaku seperti biasanya."Harus berapa kali aku bilang alasannya? Aku nggak mau mata aku yang suci ternodai karena kemesuman kalian! Pokoknya selama Mbak Miranda masih sering nginap di apartemen itu aku nggak mau ikutan tinggal di sana!""Ngomong saja cemburu," cibir Abian. Dia kembali melajukan mobilnya tanpa memedulikan wajah Diana yang berubah kesal karena mendengar tuduhannya."Siapa yang cemburu? Aku bahkan tidak peduli Mas Abian mau dekat dengan siapa pun. Andai Mas Abian punya pacar 10 pun aku tidak peduli," balasnya dengan suara sewot.Mendapat jawaban sep
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah