Sesampainya di kamar mereka, Abian menyeret tangan gadis itu dengan kasar lalu mendorongnya ke tengah ranjang."Kenapa kamu mau nerima tawaran Kakek? Harusnya kamu bicarakan dulu padaku sebelum menjawab iya!" Pria itu menyentak Diana dengan tatapan marah."Maaf Mas! Aku juga bingung mau jawab apa," kilah Diana. Padahal dia memang berminat menerima tawaran itu sejak awal. "Kalau sudah begini sekarang aku yang repot. Kamu pikir masuk universitas gampang?""Aku akan berusaha Mas," jawab Diana dengan polosnya.Abian memandang remeh gadis di depannya ini. "Kamu cuma tamatan SMP. Mau usaha sampai jungkir balik pun percuma. Kemungkinan kamu diterima di universitas sangat kecil.""Meskipun kecil tapi masih ada kemungkinan kan Mas? Aku janji aku akan berusaha memanfaatkan kemungkinan kecil itu supaya aku tidak mengecewakan Mas Abian. Aku janji akan berusaha semaksimal mungkin," tekadnya.Abian membuang napas kasar. Karena capek berdebat dia gegas ke kamar mandi untuk mandi dan mendinginkan pik
Diana mematung di depan lemari sambil memilah baju yang akan dipakai nanti. Tak ada baju yang menurutnya cocok. Baju-baju yang ada di lemari terlalu bagus untuk Diana yang menurutnya B aja."Aku pakai baju yang mana?"Anak remaja itu iseng mengambil satu baju yang bahannya mirip saringan santen di kampungnya. Warnanya pink, dan terdapat dua pita gemoy di bagian pinggang. "Baju beginian siapa yang mau pakai?" Gadis itu terkekeh geli saat menempelkan baju itu ke tubuhnya yang masih dibalut handuk. "Kok ada orang berpikiran pengin pakai baju model begini?"Saat Diana sedang mematut-matut baju itu ke tubuhnya, tiba-tiba pintu terbuka. Diana mendongak hingga tatapannya saling bertemu dengan Abian. "Kenapa tidak dikunci?" tanya Abian dengan alis meninggi satu. Tadi bajunya kena tumpahan kopi, dan ia berniat mengambil kaos bersih yang baru. Sungguh ia tidak berpikir ada Diana karena pintunya tidak dikunci."Memang harus dikunci?" Diana menunduk malu. Tanpa sadar tangannya memeluk pakain be
Di jamuan makan malam, Abian sedikit merasa aneh dengan reaksi tubuhnya sendiri yang tidak seperti biasanya. Entah salah makan atau apa, yang jelas sejak tadi duduk lelaki itu tidak tenang. Dia terus bergeser ke sana ke mari sembari membenarkan posisi duduknya yang selalu dirasa salah.Diana sampai mengernyit heran mendengar tingkah Abian yang tidak biasa. Ia ingin bertanya, tapi sepertinya Diana tidak seakrab itu dengan Abian sampai berani menanyakan hal yang menurutnya kurang penting.Abian tiba-tiba berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangan. Wajah lelaki itu memerah seperti orang kepanasan."Mas Abian kenapa?" tegur Diana sok perhatian. Lebih tepatnya ia pura-pura perhatian supaya terkesan seperti seorang istri sungguhan di depan Kakek Bram."Aku nggak papa! Karena sudah selesai makan aku mau pamit istirahat duluan!" Buru-buru Abian melangkah menuju kamar. Pria itu masih terus mengibaskan tangan seperti orang kepanasan.Diana yang sudah selesai makan hendak menyusul, tapi Kakek Bram
"Cepat bantu aku sebelum aku hilang kendali dan memperkosamu! Kau tidak mau hal itu sampai terjadi kan?""A a aku harus gimana?" Diana menatap takut-takut. Dia bersiap lari ke luar jika Abian sampai berani melakukan hal yang tidak-tidak."Ikuti perintahku!' seru Abian lalu terduduk. Dengan gerakan cepat lelaki itu membuka celana dan mengeluarkan senjata nuklir yang sejat tadi meronta-ronta minta dilepaskan. Sontak Diana membeliak saat melihat pemandangan itu. Samar-samar matanya menangkap batang menjijikan yang tampak seperti monster hidup. Benda itu mengacung dengan tegak dan bergerak dengan cara mengerikan."Mas Abian mau ngapain?" Diana langsung memalingkan wajah. Dia jijik melihat kepemilikin seorang pria untuk pertama kalinya.Sambil memegang senjatanya Abian menarik tangan Diana dengan tatapan mengiba. "Masukan ini ke mulutmu!""Apa? Mas Abian sudah gila?"Diana yang masih sangat polos jelas terkejut mendengarnya. Permintaan Abian terlalu menjijikan dan di luar jangkauan otak po
Pelampiasan Dasyat itu membuat Abian terkapar di tengah ranjang sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Mata pria itu masih terpejam merasakan sisa-sisa kenikmatan yang baru saja ia rasakan untuk pertama kali.Ya, ini adalah pertama kalinya Abian mendapat service fore play dari seorang wanita. Meski Miranda sering menawarkan diri tapi Abian selalu berhasil menolaknya. Samar-samar abian mendengar suara Diana yang sedang mengeluarkan isi perut di kamar mandi. Di sisi lain ia cukup prihatin karena harus mengotori kepolosan gadis itu, tapi tak dipungkiri Abian sangat puas walau anunya sedikit ngilu ketabrak gigi milik Diana. Bagi Abian itu tidak jadi masalah.Untuk seorang pemula Abian akui Diana cukup lihai dalam memuaskan laki-laki. Buktinya Abian sangat puas meski anunya belum sepenuhnya tertidur. Ia masih dalam pengaruh efek obat, tapi setidak sekarang Abian mampu mengendalikan dirinya dengan benar. Dia tidak sebrutal tadi saat hasratnya belum tersalurkan sama sekali.Abian mencoba du
"Jangan Mas! Perjanjian awal kita tidak begini!" tahan Diana. Abian sendiri juga sedang berusaha menahan hasrat yang menggebu-gebu. Dia juga tidak ingin mengambil keperawanan gadis yang tidak ia cintai sama sekali walau Abian sangat-sangat menginginkannya saat ini."Kalau begitu terus mendesah. Aku akan berusaha menahan hasratku!" Abian mulai menurunkan risleting Diana lalu menurunkan dress milik gadis itu. "Jangan Mas. Tolong jangan lakukan itu!" pinta Diana terus menggeleng takut."Aku tidak akan macam-macam. Percayalah padaku," mohon Abian yang jelas tidak bisa dipercaya sama sekali. Ini saja ia sudah berani menurunkan dress milik Diana. Lalu apa lagi yang akan dia lakukan kalau sudah begini?"Percayalah padaku Diana. Aku cuma mau membuat kamu mendesah agar Kakek segera pergi dari pintu kamar kita," bisik Abian. Diana terpaksa melemaskan pertahanannya. Dia membiarkan tangan kekar Abian melucuti dressnya ke bawah lalu membuka pengait bra hingga dua benda kenyal itu terbebas dari
"Tidurlah! Sepertinya Kakek sudah pergi dari depan pintu kamar." Abian turun dari ranjang sambil menyelimuti tubuh setengah telanjang gadis itu. "Mas Abian mau kemana?""Aku masih ada urusan yang belum dituntaskan. Kamu tidur duluan saja!""Di kasur ini? Terus Mas Abian tidur di mana?" tanya Diana polos. Gadis itu tahu kalau Abian tidak mungkin mau tidur seranjang dengan dirinya. Dia sendiri yang mengatakan itu beberapa waktu lalu."Masalah tidur gampang. Sepertinya malam ini aku juga tidak bisa tidur karena efek obat itu cukup menyiksa!" Setelah mengatakan itu Abian langsung nyelonong ke kamar mandi. Terdengar gemericik air dari dalam sana. Sepertinya lelaki itu sedang mengguyur tubuhnya.Malam-malam begini mandi lagi? Diana mengernyitkan dahi sambi memunguti baju-bajunya yang berserakan. Cepat-cepat ia memakai bajunya sebelum Abian keluar dari kamar mandi..Saat hendak menaikkan risleting dressnya, gadis itu lalu beralih menatap cermin. Ada bercak merah di area dada yang sangat men
Meski Abian sudah berkata lupakan semua yang terjadi tadi malam, tapi Diana tetap saja merasa canggung terhadap Abian. Tidak seperti semalam yang dipengaruhi obat aneh itu, sekarang pria itu kembali bersikap dingin seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka sama sekali.Semudah itu kah Abian melupakannya? Lalu bagaimana dengan Diana? Dia jelas merasa gila sendirian karena itu pertama kalinya si tubuh dijamah oleh laki-laki. Sebelumnya dia tidak pernah dekat dengan pria apalagi pacaran mode barbar seperti Abian. Saat mereka sedang bedua di mobil seperti ini. Tak dipungkiri pikiran kotor itu terus merasuki otak Diana. Beberapa kali dia melirik malu sekaligus takut ke arah Abian. Dia juga membayangkan andai kejadian semalam terulang lagi di mobil ini."Arghhh!" jerit gadis itu dalam hati sambil melipat bibirnya. Seharusnya tadi ia minta turun di jalan saja lalu pulang ke kosan sendirian. Sayangnya ia malah menerima tawaran Abian untuk mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah