Meski Abian sudah berkata lupakan semua yang terjadi tadi malam, tapi Diana tetap saja merasa canggung terhadap Abian. Tidak seperti semalam yang dipengaruhi obat aneh itu, sekarang pria itu kembali bersikap dingin seolah tidak ada sesuatu yang terjadi di antara mereka sama sekali.Semudah itu kah Abian melupakannya? Lalu bagaimana dengan Diana? Dia jelas merasa gila sendirian karena itu pertama kalinya si tubuh dijamah oleh laki-laki. Sebelumnya dia tidak pernah dekat dengan pria apalagi pacaran mode barbar seperti Abian. Saat mereka sedang bedua di mobil seperti ini. Tak dipungkiri pikiran kotor itu terus merasuki otak Diana. Beberapa kali dia melirik malu sekaligus takut ke arah Abian. Dia juga membayangkan andai kejadian semalam terulang lagi di mobil ini."Arghhh!" jerit gadis itu dalam hati sambil melipat bibirnya. Seharusnya tadi ia minta turun di jalan saja lalu pulang ke kosan sendirian. Sayangnya ia malah menerima tawaran Abian untuk mengantarkannya sampai ke tempat tujuan.
Penampakan kamar sederhana menjadi pusat perhatian Abian saat membuka kamar kos milik Diana. Dia melirik ke sudut ruangan. Tampak satu biji kardus yang diisi beberapa baju milik gadis itu. Abian tertegun miris melihat betapa sederhananya kamar itu.Dia jadi merasa bersalah karena selama ini sering mengabaikan kehidupan susah Diana. Niatnya supaya gadis itu sadar diri dan tidak bergantung padanya, tapi Abian merasa sikapnya belakangan ini kurang manusiawi. Dia sampai mengabaikan Diana tanpa peduli apakah wanita itu bisa makan dengan benar atau tidak selama tinggal dengannya. Abian juga tahu bahwa selama bekerja Diana sering jalan kaki dari apartemen tapi ia tidak pernah sedikit pun memiliki inisiatif ingin memberi tumpangan. Dia tahu karena saat berangkat kerja suka melihat Diana menyusuri trotoar dengan baju basah dipenuhi keringat. Selama ini Abian benar-benar mengabaikan Diana tanpa ada rasa nurani sedikit pun.Dan sekarang perasaan Abian serasa diketuk. Sudut hatinya ikut merasak
******Dengan santainya Abian masuk ke dalam lalu duduk di kasur milik Diana. Padahal gadis itu belum mempersilakan Abian untuk masuk sama sekali tapi tingkah Abian sudah seperti tuan rumah di kosan gadis itu."Kenapa Mas Abian kasih uangnya banyak banget," tegur gadis itu. Tambahan 500 ribu itu artinya Abian akan menginap di sini selama satu bulan, dan Diana jelas tidak mau hal itu sampai terjadi. "Bagaimana ya Diana? Semalam Kakek suruh aku menjagamu lebih intens lagi. Mungkin aku akan sering-sering datang ke sini untuk memastikan kamu baik-baik saja," kilah Abian. Padahal dia sengaja begitu supaya Diana tidak betah lalu mau kembali ke apartemennya lagi. Aksi Abian kali ini benar-benar licik sampai Diana merasa merinding ngeri.Namun sebenarnya Abian hanya takut Kakek Bram datang mengunjungi lalu tahu kalau Diana tidak ada di tempatnya. Dia bisa mati kalau hal itu sampai terjadi."Kalau mau datang kenapa harus kasih 500 ribu? Kan Mas Abian gak sampe nginep," protes gadis itu."Biar
[Uangnya sudah aku belikan lemari. Sisa 60 ribu aku pakai untuk membayar ongkos kirim]Abian tersenyum membaca pesan yang baru saja dikirim oleh Diana. Ada sebuah kiriman gambar lemari plastik dengan ukuran sedang, dan sepertinya gadis itu benar-benar menuruti perintah Abian untuk membeli lemari dengan sisa uang yang ditaruh lelaki itu di samping kipas."Ngapain senyum-senyum? Ada yang lucu?" Miranda menatap pria itu curiga. Keduanya sedang makan siang bersama di cafe dekat kos-kosaan Miranda, tapi sejak tadi fokus Abian tertuju pada ponselnya bahkan ketika sedang mengunyah sekalipun.Alih-alih makan ia justru terlihat seperti menunggu sesuatu, dan tak lama kemudian matanya berbinar senang setelah mendapati apa yang ditunggu hadir yaitu balasan pesan dari Diana.[Bagus. Kalau kamu butuh uang bilang aku saja][Terima kasih banyak! Aku nggak butuh uang Mas Abian.]"Bian! Kamu dengar aku ngomong gak sih?" Miranda mulai kesal. Dia menaruh garpu dan sendok ke atas piring dengan suara sedi
Selagi Diana belajar, Abian bergulang-guling di atas kasur sambil bermain ponsel. Sesekali dia melirik Diana yang fokus menyimak materi yang diberikan oleh Miss Nancy, ternyata gadis itu cukup humble terbukti DIana bisa langsung akrab dengan guru barunya meski baru kenalan beberapa menit lalu.Abian jadi teringat saat mereka bertemu untuk pertama kali. Dia sempat mengira Diana bisu karena wanita itu enggan bicara padanya sama sekali. Klik!Diana mengakhiri panggilan video di ponselnya setelah tiga jam berlalu. Gadis itu tampak merentangkan tangan ke kanan dan ke kiri sembari memijit leher karena sejak tadi terus menunduk ke arah buku."Sudah?" tegur Abian merasa diabaikan dan tidak ada gunanya di tempat itu.Diana menoleh ke samping. Kepala gadis itu mengangguk dengan lugu dan terlihat kuyu."Sudah," jawab Diana dengan suara pelan. Abian yang sejak tadi tiduran segera merubah posisinya menjadi duduk. "Pelajarannya susah?" "Lumayan. Tapi aku sedikit-sedikit mulai paham. Mungkin setel
"Oh shit!" Abian menggeram kesal saat manusia yang paling tidak ia inginkan kehadirannya berdiri tepat di belakang pria itu. Dengan wajah sedikit gugup dia menoleh. Giginya yang rapi menyeringai ramah pada manusia tersebut. Namun tercetak jelas aura kepaksaaan di sana.“Hai,” sapa Abian kikuk. Perasaannya masih diselimuti antara syok dan juga kaget. Sial, kenapa Miranda bisa ada di sini, pikirnya.“Gak usah sok ramah sama aku!” ketus Miranda. Kaki jenjang gadis itu melangkah setengah menghentak kemudian menarik satu biji kursi. Dia duduk di antara Diana dan Abian yang posisinya saling berhadapan. "Jadi ini rapat penting yang lagi kamu kerjain? Rapat yang katanya nggak bisa ditunda sampai kamu nolak antar aku ke tempat kerja?" Dua tangan Miranda terlipat di depan dada. Tatapan gadis itu penuh aura mengintimidasi sampai Diana yang melihat ikut merinding takut."Sorry Mir! Aku bisa jelasin!" ucap Abian cepat-cepat. Nadanya mengayun lembut setengah dibuat merayu.“Jelasin apa? Jelasin k
"Terserah aku mau apa! Lagi pula kamu tidak mau jujur sama aku." Miranda menoleh pada Diana lagi. "Cepat jelas! Kenapa kamu sangat percaya diri sekali bisa menghancurkan hubunganku dengan Abian? Memangnya kamu siapanya dia?"'Siapa aku bukan urusan Mbak Miranda. Tapi yang jelas aku bukanlah pembantu Mas Abian .... aku adalah ...." Diana sengaja menggantung ucapannya supaya makin seru.Ketegangan di antara mereka bertiga semakin tercipta kala Abian menggila sambil memegang dua tangan Diana tanpa sadar. Maksud pria itu sedang memohon tapi sikapnya yang berlebihan cukup menarik perhatian Miranda."Diana please, kita sudah berjanji untuk saling merahasiakan masalah ini," kecam Abian."Maaf Mas! Untuk kali ini aku tidak bisa menuruti permintaan Mas Abian. Aku capek, aku mau jujur," lirih Diana penuh dramatisir. Dia memang sengaja melakukan itu supaya terkesan seperti adegan yang ada di sinetron ikan terbang. "Ya Tuhan! Apa kamu tega sama aku Di?"Diana hanya tersenyum jahat tanpa berniat m
"Ma .. Mas Bian serius?" Gadis itu tergagap. Jemarinya di bawah sana saling bertaut dengan kepala menunduk takut."Serius apanya? Kamu kalau ngomongnya yang jelas dong!" goda Abian sambil menaik turunkan alisnya."Maksud aku Mas Bian seriusan mau nginap di tempatku?"Digoda seperti itu mendadak jantung Diana bertalu-talu tidak jelas. Seperti ada sesuatu yang mau meledak tapi ia tidak tahu itu perasaan apa. "Iya, Diana. Sepertinya efek obat yang kemarin malam muncul lagi. Aku butuh kamu," ucap Abian mengulum senyum. Ia sengaja mendekatkan bibirnya ke telinga Diana. Spontan gadis itu membeliak. Air muka di wajah gadis itu langsung berubah seketika. Ia yang tadinya merona, kini berubah pucat pasi mendengar ucapan Abian yang tak terduga."Mas Abian lagi nggak bercanda kan? Bukannya efek obat itu sudah hilang? Tadi juga Mas Abian nggak kenapa-napa. Apa karena ini sudah malam jadi efeknya datang lagi?"Diana langsung memberingsut takut. Dia sedikit bergeser dan mendorong tubuh Abian supay
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah