“Cih! Sepertinya kakek sangat berniat sekali ingin merendahkan harga diriku dengan cara paling menjijikan!” Abian membatin sambil mengepalkan tangannya di bawah meja.
Dia memalingkan mukanya kesal saat melihat perempuan jelek yang sedang digandeng oleh Bram. Baru melirik saja Abian serasa ingin muntah, apalagi sampai melihat wanita itu dari jarak dekat. Rasanya Abian ingin mati saja ketimbang menikahi gadis kampungan bermuka tua seperti itu.Sayangnya Abian tidak bisa protes karena beberapa saksi sudah hadir. Penghulu juga sudah di depan muka. Abian tak mungkin mampu kabur karena penjagaan di tempat ini cukup ketat.Sebenarnya tadi pagi Abian sempat melakukan itu. Sayang niat buruknya diketahui para bodyguard hingga Bram ikut turun tangan.Sempat terjadi perdebatan. Kakek Bram kembali mengingatkan soal tantangan yang dilakukan Abian. Dia juga berkata tidak akan mewariskan hartanya secuil pun jika Abian masih kekeh ingin menikahi Miranda. Dan kali ini pria itu terpaksa mengalah dan mengikuti alur cerita yang dibuat oleh kakeknya sendiri.“Saya terima nikahnya Diana Permata Sari dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!”“Sah?”“Sah!” Semuanya berteriak kompak diikuti ucapan puji syukur. Abian menarik napas panjang. Dia tidak menyangka berhasil mengucapkan janji suci itu dengan lantang meski calonnya bukan yang ia inginkan.“Sekarang kalian sudah sah. Diana, kamu boleh mencium tangan suamimu,” ucap Bram dengan nada perintah.Abian langsung bergeser dengan muka jijik. Diana sempat mengerutkan alis saat Abian tak kunjung mengulurkan tangan.“Abian,” lirih sang kakek dari samping.Abian terpaksa mendekat lagi. Dia mengulurkan tangan yang langsung disambut hangat oleh Diana. Lelaki itu juga sempat mengecup kening Diana dengan harapan acara itu segera dibubarkan.Kakek Bram merangkul kedua bahu cucunya dengan bangga. Senyumnya mengembang sempurna. “Sekarang kalian sudah sah menikah. Karena keadaannya masih seperti ini, Kakek belum bisa mengadakan acara resepsi atau mengundang anggota keluarga lain. Tapi Kakek berjanji suatu hari nanti kakek akan membuatkan resepsi besar-besaran untuk kalian! Kakek harap ke depannya kalian bisa saling menyayangi satu sama lain.”Diana hanya membalas ucapan Bram dengan senyum. Sementara Abian tampak melengos tidak senang. Bram yang menyadari sikap cucunya langsung melempar tatapan tajam pada Abian.“Mulai sekarang Diana adalah istrimu Abian! Jaga Diana dan jangan sekali-kali kamu berani menyakiti dia.”“Hmmm.” Lelaki itu berdeham tanpa kata.“Cepat atau lambat kalian pasti akan menerima satu sama lain. Pacaran setelah menikah jauh lebih baik ketimbang memacari gadis tidak jelas di luar sana,” sindir Bram pada cucunya.Sontak Abian menoleh. Memandang kakeknya dengan tatapan benci. Namun dia tidak bisa melakukan apa-apa selain menahan gondok dan rasa emosi di dalam hati.Akhirnya acara pernikahan yang dilakukan dengan begitu sederhana itu selesai. Pukul sembilan pagi setelah sarapan Diana digiring masuk ke sebuah kamar yang sudah dirias sebelumnya. Kata pelayan dia dipersilahkan untuk istirahat kembali.Diana meneguk ludahnya saat melihat kamar pengantin yang dipenuhi bunga-bunga itu.“Apa ini kamar yang biasa biasa dipakai orang untuk malam pertama?” gumam Diana heran. Bersamaan dengan itu Abian juga ikut masuk.“Jangan kebanyakan bermimpi. Aku tidak mungkin sudi melakukan malam pertama dengan wanita tua peot seperti kamu!” sahutnya sambil berjalan.Diana refleks menoleh. Menatap Abian dengan tatapan tajam tanpa mengatakan sepatah kata pun.“Kenapa? Nyesel nikah sama aku? Kamu pasti berharap bisa menjalani pernikahan normal seperti pasangan lain denganku! Sudah kutebak isi pikiranmu. Khayalanmu terlalu tinggi! Melihat wajahmu yang lebih tua dari umurnya saja aku ingin muntah. Dasar gadis pembawa sial!” maki Abian."Sial?" Diana tersentak. Lagi-lagi ia mendengar kalimat menyakitkan yang sering diucapkan oleh ayahnya ketika sedang mabuk. Biasanya Diana akan menangis saat dimaki seperti itu, tapi kali ini dia berusaha tegar menghadapi semua omongan Abian.Gadis itu berjalan ke kamar mandi tanpa menghiraukan Abian sedikit pun. Abian langsung mengernyit saat menyadari sikap Diana yang acuh tak acuh.“Apa dia sedang mengabaikan aku? Cih! Kita lihat saja sampai mana dia mampu bertahan. Aku tidak akan membiarkan dia bahagia sedikit pun. Kupastikan dia menderita karena sudah menjadi penghalang hubunganku dengan Miranda.” Abian mengeraskan rahang. Matanya tertuju pada pintu kamar mandi yang baru saja ditutup.******Hari sudah sore. Sebentar lagi mungkin langit akan menggelap. Diana masih stay di dalam kamar hanya seorang diri. Sejak masuk tadi dia tidak pernah keluar kamar karena tidak ada satu pun orang yang masuk untuk memberi instruksi.Abian juga pergi beberapa saat setelah memaki Diana. Sekarang dia seperti manusia terbuang yang bahkan tak ada satu pun orang yang menganggap keberadaannya.“Aku lapar sekali,” gumam Diana sambil memegangi perut. Dia masih memakai riasan pengantin karena tidak tahu baju-bajunya ada di mana. Hidup Diana benar-benar miris karena sampai kelaparan begini. Padahal dia tinggal di rumah orang kaya.“Apa aku bakalan mati kelaparan di tempat ini?” Rasanya Diana ingin keluar minta makan, tapi rasa malu dan gengsi membuat Diana harus mengurungkan niatnya sedari tadi. Diana hanya berharap ada pelayan yang datang membawakan dirinya makanan ke kamar. Sialnya sejak siang tidak ada satu pun yang berani masuk ke kamar ini.“Aku tidak boleh mati di sini. Aku harus keluar mencari makanan,” gumam Diana penuh tekad. Gadis itu menarik kebayanya yang cukup panjang hingga mata kakinya kelihatan. Dia membuka pintu perlahan. Kepalanya celingak-celinguk mencari pelayan untuk dimintai makanan.“Kenapa tidak ada orang sama sekali,” guman Diana merasa kesal. Dia terus menunggu di depan pintu sampai tak sadar Abian datang dari arah belakang.“Apa yang kau lakukan di sini? Kau mau mencuri?” Abian memperhatikan tingkah Diana yang aneh. Gadis itu terus saja diam setiap kali Abian mengajaknya bicara.Tak lama kemudian pelayan terlihat lewat dari kejauhan. Buru-buru Diana mengejar perempuan itu untuk minta makan. Dia tak menghiraukan Abian sama sekali.“Sialan, berani sekali dia mengabaikan aku!” kesal Abian lalu masuk ke dalam.Dengan langkah susah payah Diana mengejar perempuan itu. Dia berlari kecil hingga tanpa sengaja kebayanya tersangkut oleh hak tinggi yang ia kenakan.“Awkk!” Diana terjatuh. Pelayan yang ada di depannya langsung menoleh dan membantu perempuan itu berdiri lagi.“Apa yang terjadi? Kenapa Anda bisa jatuh seperti ini?” tanya pelayan itu.“Tidak apa. Aku hanya mengejarmu tapi bajuku tersangkut,” ucap Diana malu.“Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan?” tanya pelayan itu lagi.Diana tampak ragu-ragu memandang pelayan itu. Dia memegangi perut dengan pipi sedikit merona. “Aku lapar,” ucap gadis itu dengan suara lirih sekali.“Ah, ya ampun! Kalau begitu mari saya antar ke ruang makan. Apakah Nona belum makan sejak siang? Maaf. Kami tidak diizinkan mendekati kamar pengantin. Lain kali jika Anda membutuhkan sesuatu Anda bisa menekan bell yang ada di kamar. Pelayan pasti akan segera datang.”“Aku tidak tahu. Aku cuma orang kampung,” balas Diana canggung. Pelayan itu tak menjawab untuk menghargai Diana. Dia segera menyiapkan aneka makanan untuk Diana. Gadis itu sampai bingung harus makan yang mana dulu karena makanannya terlalu banyak.“Apa masih ada makanan lain yang Anda inginkan, Nona?”“Tidak. Ini sudah lebih dari cukup. Terima kasih banyak, Mbak.” Diana membuka piring lalu menyerok nasi.“Kalau begitu saya permisi dulu. Anda bisa memanggil saya di dapur jika ada yang dibutuhkan lagi.”Diana mengangguk lalu mengambil beberapa lauk karena perutnya sangat lapar. Toh pelayan langsung pergi setelah tidak dibutuhkan lagi, jadi ia bisa makan sesuka hati tanpa rasa malu.Saat Diana sedang asik menyendok, Abian tiba-tiba datang menyeret dua koper. Dia menghampiri Diana lalu duduk di hadapan wanita itu.“Tidak pernah makan enak, ya? Gaya makanmu kampungan sekali,” ejek Abian. Dia juga ikut makan hanya saja lauk yang diambil tidak sebanyak milik Diana.Gadis itu merasa malu karena sudah bersikap seenaknya di rumah orang. Jujur saja yang Abian katakan ada benarnya. Jangankan makan enak, bisa makan 3 kali sehari saja Diana jarang sekali. Uang hasil kerjanya di kampung sering habis dipakai mabuk-mabukan oleh Firman. Tak jarang Diana harus menahan lapar ketika tanggal tua datang menyapa.“Lanjutkan saja makannya! Kakekku tidak akan bangkrut hanya karena makanan itu,” ejek Abian ketika Diana menghentikan kegiatan makannya.Lagi-lagi gadis itu selalu pura-pura bisu ketika berhadapan dengan Abian.Selesai makan Abian menyingkirkan piringnya. Diana masih menghabiskan makanan yang ada di piringnya. Ia benar-benar malu karena sepanjang makan Abian terus meliriknya dengan wajah jijik dan sedikit mengintimidasi.“Ambil baju-bajumu. Mulai nanti malam kita tidak tinggal di sini lagi.”Sontak Diana mendongak. Meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya ke atas piring.Abian langsung memandang geli wajah Diana yang terlihat tua sekali. Padahal di akta kelahirannya gadis itu baru 19 tahun. Yang artinya 7 tahun lebih muda di bawah Abian.“Aku meminta Kakek untuk memberikan apartemen untuk kita berdua. Bagaimanapun juga aku tidak mungkin bisa hidup bebas jika masih tinggal di rumah ini bersamamu. Jadi kalau nanti Kakek bertanya macam-macam kamu harus bilang kalau itu sudah menjadi kesepakatan kita berdua. Bilang kalau kita ingin lebih mengenal satu sama lain dengan cara seperti itu,” ucap Abian lagi.Diana kemudian menunduk. Dia bisa membayangkan hidupnya ke depan akan sengsara karena hanya tinggal berdua dengan lelaki kejam macam Abian.“Bagaimana ini? Aku tidak ingin tinggal berdua saja dengan laki-laki mengerikan itu,” batin Diana.“Ayo cepat! Tunggu apa lagi?” Abian menyentak kesal Diana saat gadis itu masih bergeming di depan pintu kamar sambil menenteng tas berisi baju miliknya. Dia sudah bosan menunggu, tapi Diana malah bersikap tidak tahu diri seperti itu.“Aku mau pamitan dulu sama Kakek. Aku belum sempat bertemu dengan kakek lagi.” Akhirnya Diana menjawab setelah sekian lama pura-pura bisu. Abian cukup tersentak. Ternyata suara Diana begitu imut dan halus selayaknya gadis belia. Sayang saja mukanya terlalu buluk untuk ukuran gadis 19 tahun.“Kakek tidak ada di rumah! Dia mendadak ada urusan. Pamitnya lain kali saja,” desak Abian. Dia harus segera tiba di apartemen baru mereka karena Abian ada janji temu dengan Miranda pukul tujuh nanti. Miranda pasti akan mengamuk kalau ia telat satu detik saja.“Lah, malah diam! Ternyata selain bisu kamu juga tuli?” ejek Abian makin dibuat kesal. Matanya menatap tajam. Dia melempar sorot kebencian yang terkesan begitu mengintimidasi Diana.Gadis itu sendiri merasa ragu
“Astaga!” Abian terhenyak kaget saat membuka pintu kamar. Dia melihat Diana masih duduk di sofa dengan baju kebayanya dan riasan yang masih lengkap.“Ngapain kamu masih betah pakai baju seperti itu? Kamu pikir penampilanmu yang seperti itu menarik di mataku?” Diana tak menjawab. Gadis itu berjalan ke arah Abian lalu membalikkan punggungnya ke belakang. “Tolong bantu aku membuka kemben yang ada di dalam. Aku tidak bisa,” pinta Diana. Gadis itu mulai membuka kebayanya. Menyisakan kemben berwarna putih yang hanya bisa dibuka dari arah belakang. “Kau sengaja mau menggodaku?” kesal Abian sembari mendengkus. Dia juga kesal karena Diana hanya mau bicara dengan Abian saat membutuhkan bantuan. Diana tersenyum miris lalu menyahut, “Wajahku tidak semenarik itu untuk membuat orang sepertimu tergoda. Aku benar-benar minta tolong. Sejak tadi aku juga sudah risih sekali dengan baju sialan ini!”“Cih! Alasan saja.” Abian mencibir. Tiba-tiba terlintas sebuah ide untuk memanfaatkan situasi ini.“Ak
Lampu kelap-kelip di sertai suara musik yang keras menjadi sajian pertama saat Abian memasuki sebuah club malam tempat kekasihnya bekerja. Pria itu mengedarkan pandangannya ke sana ke mari. Dia mencari sosok Miranda di antara lautan manusia yang menari-nari tapi tak ada nampak batang hidung gadis itu sama sekali. Saat menghampiri meja bartender Abian juga tidak menemukan keberadaan Miranda. Ia lalu melirik jam di pergelangan tangan dan seketika itu juga matanya membulat sempurna."Sial!" Pria itu menggeram saat melihat jam sudah menunjukkan pukul 8 malam lewat 5 menit. Miranda pasti akan ngambek karena dia telat satu jam lebih."Bian!" panggil seorang gadis dengan rok seksi dan kaos hitam ketat yang menampakkan belahan dada indah. "Nyariin Miranda? Dia ada di lantai dua," ucap gadis itu."Ah. Di lantai dua? Thanks ya Gisell. Aku ke atas dulu!" Abian buru-buru berlari menaiki tangga setelah melempar senyum pada gadis bernama Gisell. Dia menabrak beberapa orang saking buru-burunya.“Ups
“Iya Abian! Hamil duluan! Masa kamu gak paham?” ulang Miranda penuh nada penekanan. Tubuhnya semakin mepet ke dada Abian sampai lelaki itu merasa kesulitan bernapas karena kekurangan pasokan oksigen.“Setelah dipikir-pikir akan lebih baik kalau aku hamil duluan saja! Dengan begitu Kakek pasti akan mempertimbangkan hubungan kita.” Abian tak mampu lagi menjawab ucapan Miranda. Lelaki itu mematung kaku karena tangan Miranda terus bergerilya di antara dadanya yang bidang. Wanita itu bermain-main cukup lama di bagian sana. Membuat Abian nyaris hilang kendali dan ingin sekali menerkam wanita yang ada di hadapannya saat ini.“Kata temenku solusi hubungan kita ya begitu. Mau tidak mau kakekmu pasti akan setuju kalau ada calon pewarisnya di perutku,” ujar Miranda dengan suara genit.Dia kembali melingkarkan tangannya di leher Abian tapi kali ini pria itu segera menepisnya sembari menjauh. “Tidak Miranda! Tidak!”Abian merasa takut karena sikap Miranda hari ini tidak seperti biasa. Apa jangan-
Setelah mendapat alamat yang diberikan oleh Abian, Raka gegas menuju apartemen yang dimaksud oleh pria itu. Diana sedang membuka celengan yang dibawakan ayahnya saat mendengar suara bell berbunyi di luar sana. Gadis itu baru saja mandi, dan niatnya besok ia ingin mencari pekerjaan dengan sedikit uang yang ia miliki. Untungnya sang ayah tidak setega itu, dia masih mau membawakan celengan ayam milik Diana yang selama ini disembunyikan di bawah kolong tempat tidur.“Siapa, sih? Apa orang galak itu pulang lagi?” gumam Diana yang sudah lupa dengan nama suaminya sendiri. Dia membuang celengan plastiknya ke tempat sampah lalu mengantongi pecahan uang 350 ribu ke saku roknya. Dengan sedikit ragu gadis itu membukakan pintu untuk tamu yang menekan bell di luar sana.“Maaf yang punya rumah ini sedang tidak ada,” ucap Diana saat melihat sosok asing di hadapannya.Raka yang melihat pintu baru saja dibuka langsung melongo cengo. Dia terpaku melihat sosok gadis yang berdiri di hadapannya saat ini.“
“Maaf ngerepotin, Mas! Aku mohon Mas Raka mau terima uang ini ....” Diana menyodorkan uang pecahan tiga puluh ribu kepada Raka. Tadi gadis itu sempat melirik nominal promo makanan yang ia pesan, jadi kemungkinan harganya adalah segitu. Padahal 30 ribu yang Diana pikir belum termasuk tambahan ppn."Makanannya enak banget! Berkat Mas Raka aku jadi bisa makan makanan seenak ini. Terima banyak, Mas." Gadis itu tersenyum kembali. Raka terpaksa mengambil uang 30 ribu yang disodorkan oleh Diana demi menghargai niatan gadis itu. Sejujurnya hati Raka sedikit tercubit karena Diana sampai mengatakan makanan itu sangat enak. Padahal yang Diana makan hanya ayam kentucky yang harganya tidak seberapa bagi Raka."Uangnya aku terima! Tapi lain kali kamu harus mau kalau aku traktir, ya. Ngomong-ngomong aku boleh minta nomor hape kamu, nggak?"Mendengar itu Diana spontan melipat bibir. Gadis itu tertunduk malu sambil memainkan jari-jemari di bawah meja. Raka sendiri langsung menyadari sedikit perubah
Matahari semakin meninggi tepat berada di puncak kepala. Entah ini sudah jam berapa, yang jelas Diana sudah ke sana sini menawarkan jasa tapi tak ada satu pun yang mau menerima surat lamaran kerjanya.Padahal Diana hanya melamar pekerjaan di toko-toko biasa atau rumah makan sederhana, tapi mereka bilang yang dibutuhkan adalah tamatan SMA sederajat. Sebagian lagi lebih suka menolak dengan dalil tidak ada lowongan."Susah banget nyari kerjaan! Apa di Jakarta sama sekali tidak bisa menerima tamatan SMP?"gumam Diana nyaris putus asa. Sudah puluhan tempat ia datangi tapi tak ada satu pun yang mau menerima dirinya.Kini Gadis itu sedang duduk di dekat trotoar sambil memijat-mijat kakinya yang terasa pegal sekali. Tind ... Tind! Suara klakson dan mobil yang tiba-tiba berhenti di tepi jalan membuat Diana mendongak. Detik kemudian seseorang tampak menurunkan kaca mobilnya sembari melongokkan kepalanya keluar."Diana, kamu ngapain di sini?" Raka yang baru saja pulang dari tempat golf cukup ter
Seumur hidup Diana tidak pernah menemukan orang sebaik Raka meski dia pernah memiliki beberapa teman laki-laki sebelumnya. Kehadiran lelaki itu di dekat Diana seolah menghapus kesialannya karena harus tinggal dengan lelaki bernama Abian. Sikap Raka yang begitu perhatian dan penuh sopan santun sangat bertolak belakang dengan Abian yang galak dan jutek. Perbedaan mereka seperti langit dan bumi."Oh! Jadi kalian bertiga sahabatan?" tangkap Diana setelah mendengar cerita Raka tentang pertemanan Abian, Doni, dan juga dirinya."Iya. Kita semua sahabat! Oh ya, mengenai pertemuan kita tadi siang, usahakan jangan sampai Abian tahu ya! Soalnya aku tidak enak pada Abian kalau ketahuan membantumu secara diam-diam. Engga masalah kan?""Iya Mas! Aku paham," jawab Diana seraya menganggukan kepala. "Pokoknya terima kasih karena sudah membantu aku nyari pekerjaan tambahan! Aku nggak tahu harus balas kebaikan Mas Raka dengan cara apa! Semoga kebaikan Mas Raka di balas sama Tuhan karena aku gak bisa ba
Hari itu, ruangan dokter terasa lebih hangat dari biasanya bagi Abian. Dengan senyum yang tak bisa disembunyikan, dia memandangi layar USG yang menunjukkan gambar bayi mereka yang kedua. Antusiasme terpancar dari matanya yang berbinar saat membayangkan kehadiran anggota keluarga baru."Semoga aja yang kedua perempuan. Jadi formasi keluarga kita bakalan lengkap. Tapi kalau laki-laki juga tidak masalah. Aku juga suka," ujarnya sambil terus menatap foto hasil usg, seolah bisa melihat masa depan keluarganya yang bahagia.Di sampingnya, Diana yang mendengar ucapan Abian itu menoleh dengan ekspresi yang rumit. Matanya yang tadinya memancarkan kebahagiaan kini seolah tertutup oleh awan kegelisahan. "Sebenarnya hubungan kita ini bagaimana sih Mas? Kita jadi cerai atau tidak?" tanyanya dengan suara yang mendadak serius.Abian menoleh, ekspresi bahagianya berganti dengan tatapan yang lebih dalam. "Kamu maunya gimana?" tanyanya, mencoba menggali perasaan dan keinginan Diana yang sebenarnya."Ak
Lupakan isi hati perempuan yang sulit dipahami. Abian berusaha memaklumi sikap Diana yang aneh karena wanita itu sedang hamil sekarang.Pagi harinya, Abian dikejutkan oleh kabar Diana yang pingsan mendadak. Dia dilarikan ke rumah sakit karena kekurangan cairan.Abian saat itu cukup panik. Dia baru saja duduk di kursi kantor saat kabar itu datang. Tanpa basa-basi Abian langsung pergi menuju rumah sakit tempat Diana dilarikan.Sesampainya di rumah sakit ada kakeknya yang menunggu Diana. "Gimana keadaannya, Kek?" tanya Abian dengan wajah pucat pasi."Masih di dalam, dokter sedang menanganinya," jawab kakeknya sambil memandang lekat-lekat ke arah pintu ruang gawat darurat.Abian menghela napas berat. Pundaknya terasa seolah ditumpuk beban berat. Dia duduk di samping kakeknya, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya lebih lanjut tapi kata-kata terasa tersangkut di tenggorokannya.Beberapa menit terasa seperti jam berlalu hingga akhirnya seorang dokter keluar dari ruang tersebut. A
Diana menatap pintu kamar anaknya yang tertutup rapat, berharap suara lembut dari luar tidak akan membangunkan si kecil. Punggungnya terasa kaku, tangannya gemetar sedikit saat memegang gagang pintu. Ketika Abian berbicara, suaranya menimbulkan desas-desus yang menambah ketegangan di udara."Azka sudah tidur?""Sudah," sahut Diana, suaranya hampir tak terdengar, berusaha keras menyembunyikan kegugupannya."Kalau sudah selesai ayo tidur ke kamar. Bagaimanapun kita belum resmi cerai. Jadi usahakan jangan membuat orang salah paham," kata Abian dengan nada yang mencoba terdengar tenang namun Diana bisa mendengar sedikit kekecewaan di dalamnya.Kata-kata itu seperti jarum yang menusuk-nusuk perasaan Diana, membuatnya semakin merasa tidak nyaman. Tanpa menjawab, ia melangkah pergi, meninggalkan Abian yang masih berdiri di ambang pintu. Setiap langkahnya terasa berat, seolah-olah lantai di bawahnya menjadi lumpur yang menahan kakinya."Kamar kita masih sama kayak dulu. Ada di atas," sambun
Kakek Bram berdiri tegak di halaman villa, keriput di wajahnya semakin terlihat jelas, namun matanya masih tajam dan penuh semangat.Diana baru saja sampai di villa dan melihat sosok Kakek Bram yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Tubuh Kakek Bram tampak lebih renta, namun ia tetap berdiri tegap dan berkharisma."Kakek," sapa Diana dengan suara agak gemetar, mengetahui Kakek Bram pasti punya maksud tertentu mendatanginya.Kakek Bram tersenyum tipis, "Apa kabar Diana? Lama tidak berjumpa!""Kabar baik, Kek!" jawab Diana sambil berusaha tersenyum, menutupi rasa cemas yang menyelimuti hatinya."Ayo masuk, Kakek pasti sudah menunggu lama di sini kan," ajak Diana, berharap bisa mengalihkan pembicaraan.Namun Kakek Bram menggelengkan kepalanya pelan, "Maaf, Diana. Kakek tidak mau basa-basi. Kamu pasti paham tujuan Kakek ke sini buat apa."Diana menelan ludah, hatinya berdebar semakin kencang. Ia tidak tahu apa yang akan dibahas Kakek Bram, namun ia tahu, apa pun itu, pasti sangat pentin
Diana menatap Prass dengan mata berkaca-kaca, seolah tak sanggup menahan kesedihan yang mendalam. Prass, yang sejak tadi mencoba menunjukkan sikap tegas, mulai merasa jantungnya berdegup kencang. Ia sadar, ini bukan hanya tentang kebahagiaan dirinya, tapi juga tentang Diana dan Bian."Maafkan aku, Mas Prass. Menurutku ini jalan terbaik untuk kita bertiga. Aku dengan jalanku, Mas Bian dengan jalannya, dan Mas Prass dengan langkah Mas sendiri," ungkap Diana dengan nada lirih.Prass mengepalkan tangannya, merasakan rasa kecewa yang begitu dalam. "Jadi begitu menurutmu. Jujur aku kecewa sekali dengan putusnya hubungan kita , Diana. Tapi aku cukup tercengang dengan isi pikiranmu. Menurutku kamu salah!"Diana terkejut, "Salah?""Hum. Kalau kamu masih sayang pada Abian. Kejarlah dia. Untuk apa kamu ikut menyerah?" kata Prass, mencoba menyadarkan Diana."Biar adil untuk Mas. Menurutku tidak etis jika aku berbahagia dia atas penderitaan orang," jawab Diana dengan suara terputus-putus."Sejak
Diana merasa hampa, ia menatap lantai dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa tidak berdaya, tidak bisa mencegah Abian pergi meninggalkannya. Diana memang terlalu egois untuk mengatakan bahwa dirinya masih membutuhkan laki-laki itu.Saat sedang tenggelam dalam kesedihan, tiba-tiba pintu terbuka dan Firman datang. Firman, bapak Nuna yang dulunya jahat namun kini sudah bertobat."Nuna, apa yang terjadi?" tanya Firman cemas, melihat wajah anaknya yang sembab karena menangis. "Mas Bian baru saja pergi, Yah. Dia minta tinggal satu bulan di sini sebelum kita bercerai, dan sekarang waktunya sudah tinggal di sini habis," jawab Nuna dengan suara serak."Terus kenapa kamu nangis?" tanya Firman heran, berusaha menenangkan Nuna.Nuna menangis semakin keras, Firman mencoba merangkul dan mengusap punggung Nuna, berusaha memberi dukungan pada anaknya yang sedang berduka. Di tengah kekacauan hati ini, Diana merasa sendiri dan terluka, namun ia bersyukur masih memiliki Firman yang peduli dan siap mend
Abian merasakan perasaan yang tidak adil menyeruak dalam hatinya. Ini seharusnya hari yang penuh kebahagiaan karena ia mengetahui istrinya sedang mengandung anak mereka. Namun, kebahagiaan itu sirna saat ia melihat Diana menangis sambil menyebut nama Prass, pria yang membuat harapan Abian dalam mendapatkan Diana kembali sedikit terhambat, malahan terancam hancur berantakan."Kenapa kamu nangis, Diana? Harusnya kamu bahagia dengan kehamilanmu," ujar Abian dengan nada sedih yang mencoba ditekan."Bahagia gimana? Kamu lupa kalau kita mau cerai. Dan juga, aku sudah terlanjur janji sama Mas Prass kalau kita akan menikah setelah pengajuan perceraianku dikabulkan. Sekarang gimana caranya aku cerai kalau aku hamil!" isak Diana yang tak mampu menahan tangisnya."Pras lagi Prass lagi! Kalau kamu hamil artinya Tuhan tidak ingin kita berdua cerai. Harusnya kamu sadar Diana. Bisa jadi ini petunjuk dari Tuhan," gerutu Abian, rasanya ingin meludah mendengar nama pria itu. Namun sekali lagi, ia ber
Mata Abian terus menatap Diana yang muntah-muntah di pojok kamar mandi. Dengan cepat, ia bergegas ke apotik untuk membeli obat.Sambil mengendarai mobil, pikirannya terus menerka apakah Diana benar-benar hamil atau tidak.Setibanya di rumah, Abian segera menyodorkan 5 buah tespack kepada Diana yang masih terengah-engah."Apa ini?" tanya Diana heran."Dicoba saja! Barangkali..." ucap Abian dengan nada bersemangat."Kamu gila ya? Aku tidak hamil. Datang bulanku bahkan masih kurang satu minggu lagi," bantah Diana."Apa salahnya mencoba," sahut Abian. Ia segera menarik tangan Diana dan membawanya ke kamar mandi. Abian memberikan sebuah wadah kecil untuk menampung urin Diana."Kamu ngapain?" tanya Diana dengan kesal."Ayo, kita buktikan sekarang juga. Aku hanya ingin memastikan secara langsung kalau kamu tidah hamil," jawab Abian dengan nada lembut namun tegas."Gila ya? Kalau mau coba benda ini paling tidak kamu keluar dulu!""Tidak mau! Mana tahu kamu nanti ganti air urin nya dengan air
"Wah ... Wah. Sepertinya ada tontonan gratis dan seru nih," gumam Bian."Mas Bian ngapain kesini?" Diana rasanya ingin menonjok muka Abian. Mau apa dia malah menyusul ke sini.Sudah tahu situasinya sedang tidak baik-baik saja, Abian malam datang seakan menyiram kobaran api dengan minyak tanah."Salam buat si miniom Prass," seru Abian.Prass merasa darahnya mendidih ketika mendengar kata-kata Abian.Wajahnya tampak merah padam, sedangkan tangannya mengepal erat hingga kulit putih memerah. Dia menatap sengit ke arah Abian, yang berdiri di ambang pintu gerbang dengan senyum sinis yang menghina."Kamu tenang aja. Mas nggak ada bayangin apa-apa. Kamu dan Abian masih sepasang suami istri. Kalian sah jika melakukan hal semacam itu," ujar Prass dengan suara bergetar. Dia berusaha menenangkan diri dan tidak terpancing oleh provokasi Abian."Akhirnya kamu sadar!" celetuk Abian, sambil tertawa kecil. Laki-laki itu muncul seperti hantu, dengan wajah pucat dan mata yang menyala mengejek."Menyerah