ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (4)
Aku terbangun ketika mencium aroma minyak kayu putih yang terasa menyengat di hidung. Kepalaku pusing, bahkan tempat di mana tengkorak kepalaku terbentur tadi rasanya berdenyut. Aku mengerjapkan mata, menatap Mama dan Tiara yang berdiri di samping ranjang tempat tidurku. Sementara dari sudut mata, kulihat Mas Nabil berdiri dengan raut wajah kesal."Kamu gak apa apa Vi? Apa kita perlu ke dokter?" Tanya Mama dengan raut wajah panik.Aku menggeleng, meraba kepalaku yang pusing."Gak usah Ma. Aku cuma sedikit pusing.""Mama jatuh tadi kenceng banget." Ujar Tiara. Melihatnua sudah berdandan cantik, aku jadi teringat sesuatu."Loh, kamu dan Papa kok belum pergi? Ayo berangkatlah. Nanti Tante Meisya menunggu." "Telat. Ini sudah jam sebelas malam.""Astaga. Aku pingsannya lama banget berarti ya Mas?""Lumayan. Sampai aku dilalerin. Lagian kenapa minyak itu bisa tumpah pas di depan pintu kamarmu? Siapa yang numpahin?""Aku gak sengaja tadi Mas, habis olesin kakiku yang sakit." Ujarku pelan."Jadi ulahmu. Apa kamu sengaja?""Sudah sudah. Kamu apaan sih Bil. Mana mungkin Vivi sengaja melukai dirinya sendiri. Kamu kira kebanting dan kejedot lantai kayak gitu gak sakit? Mama malah takut Vivi gegar otak." Potong Mama."Gak akan Ma. Kepala Vivi itu batu." Sindir Mas Nabil pedas. Aku merengut, tahu kenapa dia mengataiku batu. Tentu saja karena aku memang keras kepala. "Maaf ya Mas. Padahal tadi aku ditinggal aja gak apa apa. Kan ada Mama." Ujarku kemudian sambil menatap Mas Nabil dengan pandangan memohon.Mas Nabil membuang pandang."Sudahlah. Kalau kamu sudah siuman dan tak perlu ke dokter. Aku mau pulang saja."Dia lalu menoleh kepada Tiara."Minggu depan saja kita jalan jalan ya Nak. Nanti Papa dan Tante Meisya ajakin nonton Nusa Rara di bioskop. Gimana?" Tanya Mas Nabil sambil tersenyum cerah.Kulihat Tiara terbelalak sedikit. Dia memang suka serial itu dan kerap menontonnya di youtube. Lalu dia melirikku."Boleh gak Ma?"Aku tersenyum."Tentu saja boleh. Kamu kan harus lebih dekat dengan calon Mamamu."Tiara memajukan sedikit bibirnya. Mas Nabil lalu keluar kamar, sedikit berjengit melihat Mama mengusap usap rambutku."Sakit banget Vi? Betulan gak perlu ke dokter?""Gak usah, Ma. Besok juga sudah baikan. Mama tidur ya. Sudah malam."Mama mengangguk."Tiara biar tidur di kamarmu malam ini ya. Mama takut kamu kenapa napa. Nanti kalau mau keluar kamar hati hati. Lantainya sudah Mama bersihkan tapi sepertinya masih agak licin."Aku mengangguk, "Makasih banyak ya Ma. Aku selalu merepotkan Mama."Mama tersenyum sambil mengusap usap rambutku, lalu melangkah keluar. Tiara langsung merebahkan tubuh di sampingku."Ada untungnya juga Mama jatuh. Aku gak jadi jalan sama Tante Meisya." Ujar Tiara pelan.Aku meletakkan ujung jari telunjuk di bibir. "Sstt, gak boleh gitu. Kasian kan Tante Mei nungguin kalian gak datang datang.""Papa udah telpon kok. Malah Tante Meisya mau kesini tadi. Cuma gak boleh sama Papa."Aku tersenyum, membayangkan wajah cantik itu kesal. Ah, siapa suruh kamu menantangku Mei. Seharusnya kamu mundur saja, seperti yang lainnya, karena Mas Nabil, akan segera kembali padaku.***"Mama, Tiara sudah berangkat sekolah ya? Maaf aku bangun kesiangan. Kepalaku sakit sekali."Mama, yang sedang sibuk membereskan dapur langsung menghampiriku."Sakit banget Vi? Kan Mama bilang juga apa. Kita ke dokter aja yuk."Kepalaku memang sakit. Tapi setidaknya itu lebih baik dari pada merasakan sakit di dadaku membayangkan mereka pergi bertiga seperti sebuah keluarga yang bahagia."Gak usah Ma. Aku izin gak kerja hari ini biar bisa istirahat di rumah. Itu aja udah cukup kok."Mama menghela nafas, menyorongkan sepiring salad buah kesukaanku. Pilihan utama sarapan agar badanku tetap langsing dan menawan. Jangan harap ada topping keju dan susu di atasnya. Salad buah bagiku cukup di taburi minyak zaitun. Dan Mama, paling tahu kesukaanku itu."Oh ya, Tiara tadi Mama pesankan taksi online. Nanti pulangnya mau dijemput Meisya katanya."Uhukk!Aku nyaris menyemburkan anggur yang baru saja kukunyah. Mama bergegas menyodorkan segelas air. "Apa gak ngerepotin Ma? Kan dia juga kerja.""Dia kan hanya perlu tengok tengok saja itu cafenya. Gak perlu kerja.""Oh."Aku kembali menyuap buah di piringku. Membayangkan wajah gadis bernama Meisya itu. Setelah gagal jalan jalan semalam, kupikir dia akan ngambek seperti banyak gadis muda lainnya. Rupanya dia tidak. Meisya memang masih muda, usianya baru dua puluh empat tahun. Bagaimana Mas Nabil tidak bangga mendapatkannya. Duda berusia tiga puluh tiga tahun mendapatkan gadis muda yang mapan dan mandiri. Keren juga. Dan yang jelas, dia memang berbeda.Aku membantu Mama mengangkat piring di meja bekas sarapan, tapi seperti biasa Mama langsung melarang."Sudah istirahat sana. Nanti kepalamu tambah sakit."Aku menatap Mama."Ma, kita cari ART aja ya. Nanti Mas Nabil kira aku menjadikan Mama pembantu di rumah Mama sendiri."Mama tertawa."Gak usah. Mama gak suka ada orang asing di rumah. Lagipula Mama kan gak ngapa-ngapain. Malah capek kalau diam saja.""Ya sudah kalau begitu Vivi ke kamar ya Ma."Mama mengangguk. Aku lalu masuk ke kamar. Sambil memegangi kepalaku yang sedikit benjol, otakku terus berputar. Jika Meisya benar benar tak peduli dengan keberadaanku, maka aku harus mencari cara lain untuk membuatnya mundur. Tapi apa? Selama ini, kehadiranku di rumah Mama sudah menjadi momok tersendiri bagi perempuan yang ingin dekat dengan Mas Nabil.Hufft, sudahlah biar kupikirkan nanti saja. Aku menatap wajahku di cermin. Ingat bagaimana aku mencoba meminta rujuk pada Mas Nabil, tentu saja melalui Mama. Aku masih gengsi memintanya sendiri."Vivian sudah menghinaku Ma. Sakit sekali rasanya." Jelas Mas Nabil waktu itu. Aku menguping tentu saja, itulah gunanya aku tinggal di rumah ini."Itu hanya luapan emosi sesaat Bil. Vivi gak selingkuh, gak melakukan kesalahan fatal. Rujuklah dengannya.""Entahlah, Ma. Sejak saat dia mengataiku seperti sampah, rasanya cintaku langsung pudar.""Ah, Mama rasa kamu salah dengar. Vivi itu berpendidikan tinggi, gak mungkin ngomong sembarangan.""Mama lebih percaya Vivi daripada anak Mama sendiri." Keluh Mas Nabil."Ya habis gimana. Dia yang setiap hari menemani Mama, melakukan apa saja untuk Mama. Kamu kan sibuk."Aku tersenyum mengingat pembelaan Mama. …"Mama?"Tiara muncul dari balik pintu, masih mengenakan seragam sekolah. Dia baru kelas dua sekolah dasar."Kamu pulang sama siapa?" Tanyaku "Boleh saya masuk Mbak? Katanya Mbak sakit." Meisya tiba tiba muncul dari balik bahu Tiara. "Masuklah." Aku terpaksa membiarkannya masuk kamar. Lalu berbaring sambil memegangi kepalaku. Meisya menarik kursi dan duduk tak jauh dariku."Maaf ya, semalam gara gara aku jatuh kalian gak jadi jalan jalan."Gadis itu tersenyum, menatapku dengan pandangan yang sulit kuterjemahkan."Gak apa apa Mbak. Namanya juga musibah. Cuma hati hati Mbak. Jangan sering sering jatuh, takutnya nanti gegar otak beneran."***Hayooo cungg! Kamu TIM VIVIAN atau TIM MEISYA?ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (5)Kepalaku makin berdenyut mendengar kata kata gadis di depanku ini. Meski dia mengatakannya sambil tersenyum, aku yakin ada maksud tersembunyi di balik sikap manisnya. Apalagi kata katanya barusan. Apa? Gegar otak. Coba tanya Mas Nabil, kepala Vivi itu batu."Meisya?"Mama berdiri di ambang pintu, sudah mengenakan pakaian rapi. Sepertinya Mama mau pergi. Aku menghela nafas dalam dalam, merasa terselamatkan oleh situasi yang menyebalkan ini."Iya Ma. Maaf aku gak langsung nemuin Mama. Ini lagi nengokin Mbak Vivian, katanya semalam jatuh.""Oh iya. Kebetulan kalau begitu. Mama mau keluar sebentar, ada janji sama teman Mama. Bisa gak Mama titip Vivian?"Astaga Mama. Ngapain sih pake dititipin segala."Gak. Gak usah Ma. Aku gak apa apa kok." Seruku cepat. Mama melotot."Gak apa apa gimana? Kamu dari tadi megangin kepala terus. M
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (6)"Mama?"Kepala mungil Tiara muncul dari balik pintu yang dibukanya sedikit. Aku menoleh dengan malas, mengingat tawa riangnya di dapur tadi pagi. Jujur saja, aku sangat cemburu. Tapi aku tak mungkin menyampaikannya di depan anakku yang polos ini."Ditunggu Nenek di meja makan. Mama belum makan dari siang loh." Ujarnya, masih berdiri di ambang pintu."Iya. Sebentar lagi Mama turun." "Apa kepala Mama masih sakit?""Gak kok. Udah sembuh." Aku memaksakan sebuah senyum.Tiara ikut tersenyum. Dia manis sekali, mirip dengan Mas Nabil. "Tiara duluan ya Ma." Pamitnya.Aku mengangguk. "Emm… Ra…" Apakah aku harus bertanya padanya? Aku ingin tahu apa Meisya masih di sini? Apakah Mas Nabil juga datang untuk makan malam? Kepala Tiara muncul lagi dari balik pintu yang hampir ditutupnya. Aku bangun dari posisiku."Kenapa Ma?"Ah, sebaiknya tak perlu
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (7)Aku terbangun ketika adzan subuh baru saja selesai dikumandangkan. Kepalaku sudah tidak sakit lagi, tapi kurasakan mataku bengkak dan sulit dibuka. Oh, bodohnya aku, menangis semalaman hanya karena lelaki. Lima tahun aku berjuang untuk mendapatkan kembali cinta Mas Nabil, tapi sepertinya akan sia sia saja. Meisya ternyata telah menambat hatinya begitu erat. Usai sholat subuh, aku turun ke dapur, dan mendapati Mama sedang meracik makan pagi seperti biasanya. Beliau langsung tersenyum melihatku datang."Kepalamu masih sakit Vi?""Gak lagi Ma. Benjolnya juga sudah hilang kok." Jawabku sambil nyengir."Syukurlah. Mama takut kamu keterusan sakit kepalanya."Aku tersenyum, hatiku menghangat menyadari Mama benar benar tulus menyayangiku."Mama, sini biar Vi yang ngirisin tomat dan timunnya ya." Ujarku sambil mengambil alih timun dan tomat yang sudah dicuci Mama dan di
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (8)Aku menahan nafas, kupaksakan diriku menatap langsung ke matanya. Aku bukan Vivian yang lemah, hanya karena cintalah aku rela merendahkan diriku seperti ini. Kulihat Mas Nabil menatapku dalam dalam. Dari jarak satu meter, aku dapat mencium aroma parfumnya, masih sama dengan aroma parfum yang dulu sering kubeli untuknya.Mas Nabil menoleh pada Tiara, memintanya masuk lebih dahulu ke dalam mobil. Tiara mengangguk patuh, lalu meninggalkan kami dalam suasana yang kaku. Tak pernah aku menyangka akan berhadapan seperti ini dengan-nya, dengan aku menundukkan kepala memohon maaf."Vi, aku sudah memaafkanmu sejak dulu. Berkali kali aku bahkan berniat menemuimu untuk memperbaiki hubungan kita. Tapi setiap kali aku datang ke rumah, kau tak pernah ada. Kau bahkan tampak bahagia jauh dariku. Aku kerap memperhatikan setiap foto dan status yang kau bagikan di sosial media. Bagaimana kau begitu menikmati hidup bersama tema
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 9Aku menatap mobil Pak Adrian yang berlalu keluar pagar. Masih kuingat matanya yang sedikit terkejut saat dia tahu aku tinggal bersama mantan mertuaku. Ah, sebetulnya, ada gak sih mantan mertua? Bagiku, Mama tetaplah Mama, aku menyayanginya sebagaimana beliau menyayangiku. Jika hanya karena tak ada hubungan darah dan ikatan pernikahan, maka aku harus menjauhinya, kurasa itu tidak adil."Ada lelaki menemuimu di sini, di rumah mantan mertua. Kamu memang hebat Mbak."Seperti biasa, Meisya mengucapkan kalimat itu dengan suara tenang, meski kata katanya pedas di telinga. Aku berbalik, menenteng dompet yang tadi diserahkan Pak Adrian. "Dan kamu juga hebat sekali Mei, bisa merebut hati anakku dengan mudah. Aku ingatkan ya, jika nanti jadi menikah dengan Mas Nabil, jangan pernah coba menyakiti anakku."Meisya tersenyum."Oh, tentu saja. Mbak gak usah khawatir. Kupastikan
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU 9BKamu gak apa apa kan Vi Mama tinggal sendirian?" Mama menatapku dengan cemas. perhatiannya itu kerap membuatku merasa memiliki seorang Ibu."Gak apa apa ya ditinggal sebentar sama Mama dan Tiara?"Ah, Mama selalu menganggapku seperti anak kecil. Aku tertawa."Mama, jangan begitu. Nanti ada yang cemburu."Mama justru tertawa. Beliau sudah berdandan rapi. Pagi Ini, Mama, Mas Nabil dan Tiara ditemani beberapa orang kerabat akan datang ke rumah Meisya untuk melamar. Sebelumnya Mama dan Tiara sudah diajak pula oleh Mas Nabil untuk berkenalan. Kudengar dari Mama, keluarga Meisya tak keberatan dengan status Mas Nabil yang duda. "Kebetulan Vivi mau nengokin minimarket. Sudah lama gak dilihat."Mama mengangguk. Aku tersenyum melihat Mama memakai gamis baru yang kubelikan Minggu lalu. Bahkan tas dan juga sendalnya, semua pemberianku. Kulihat gelang baru Mama mengintip dar
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (10A)"Kita sungguh sungguh akan pindah Ma?"Tiara menatap koper koper yang sudah aku susun dengan tatapan tak rela. Bibir mungilnya mencebik."Iya sayang. Papa akan segera menikah. Mama tak mungkin tinggal di sini lagi.""Tapi nenek bilang kita akan tinggal di sini selamanya."Aku menghela nafas. Memberi Tiara pengertian biasanya sangat mudah. Dia bukan anak yang manja. Meski aku dan Mas Nabil bercerai Tiara nyaris tak mengenal artinya perpisahan karena kami masih sering bersama sama. "Atau Tiara mau tinggal di sini sama Nenek?"Tiara menggeleng."Tiara mau tinggal di rumah yang ada Mama."Aku memeluknya. Dia satu satunya kekuatanku saat ini. Aku tak akan membiarkan Meisya merebut Tiara dariku.Kugandeng tangan Tiara menuju kamar Mama. Mama yang sedang membaca buku dengan pintu kamar terbuka, sedikit terkejut melihat kami."Vivian?""Boleh
ISTRI BARU MANTAN SUAMIKU (10B)"Wah, sungguhkah Mbak Vivian akan pindah?"Meisya, lagi lagi kuman itu muncul pagi pagi sekali ketika aku baru saja selesai memasukkan koper terakhir ke dalam mobil. Kali ini dia datang sendiri dengan menyetir sebuah sedan berwarna hitam berkilat. Langkahnya anggun menghampiriku."Em, cuma segitu Mbak perjuanganmu?"Aku tertegun. Berusaha mencerna maksud perkataannya. Sejak pertama kali berinteraksi dengannya, aku tahu dia suka sekali menyindir dengan bahasa yang halus dan tutur kata lembut. Wajah cantik tanpa dosa yang suka menebar senyum membuat banyak orang terkecoh. Tapi tidak denganku."Aku tidak sedang memperjuangkan apa apa Mei. Asal kau tahu, aku pindah demi kesehatan mataku. Rasanya mataku lelah karena terlalu sering melihatmu." Ujarku sambil menatap matanya. Seperti biasa, dia akan tersenyum lebih dulu, memamerkan dekikan dalam di kedua pipinya. Dia benar-benar tahu bagaimana carany
DIA BUKAN IBUKU 30 (ENDING)Aku menatap tubuh beku Om Gilang untuk terakhir kalinya sebelum dibawa dengan ambulans. Nenek memutuskan memakamkan Om Gilang di tanah makam keluarga. Bagaimanapun dia telah dianggap anak oleh Nenek. Sungguh miris, sementara makan Mama Meisya berada jauh di pemakaman umum."Kita akan memindahkan makam Mamamu kesini." Ujar Nenek setelah pemakaman Om Gilang selesai. Tak ada yang hadir, hanya kami, pelayan dan satpam yang mengenal Om Gilang. Baru kali inilah aku menyaksikan pemakaman tanpa air mata dan sedu sedan.Aku menggeleng."Tidak Nek, jangan. Makam Mama dan Papa berdampingan. Mereka sudah bahagia di alam sana, biarkan saja seperti itu. Aku telah meminta penjaga untuk merawat makam Mama dan Papa secara khusus."Nenek mengangguk sambil memegang tanganku."Baiklah jika itu keinginanmu Naura. Nenek akan mengikuti semua saranmu. Kau telah dewasa. Zaman Nenek tinggal dan dibesarkan tentu jauh berbeda dengan zaman ini."Aku tersenyum dan menuntun Nenek meningg
DIA BUKAN IBUKU 29PoV GILANG"Gi, apa kau sudah gila? Naura itu anakku!"Wajah Meisya terlihat sedih. Aku tercenung menatapnya. Dia tampak tak bahagia mengetahui semua yang kulakukan untuknya."Tapi dia mengkhianatimu Mei. Dia hidup bersama musuhmu, Vivian. Dia bahkan terlihat sangat mencintai perempuan itu."Meisya menggeleng."Kau tak mengerti Gi. Aku memang menitipkan Naura pada Vivian. Hanya Vivian yang mau dan bisa merawat Naura, mencintainya dengan tulus seperti anaknya sendiri.""Aku tak percaya itu keinginanmu.""Gi, tolong terima saja kenyataan, bahwa kita sudah berpisah. Bukan hanya jarak, tapi juga ruang dan waktu. Hati kita bahkan telah terpisah lama. Lupakan aku dan hiduplah dengan baik."Aku menggeleng. "Aku ingin bersamamu Mei."Meisya tersenyum. Dua dekikan dalam di pipinya terlihat dengan jelas dan aku tak pernah tak terpesona melihatnya."Aku menyayangimu sebagai sahabat dan saudara. Tak lebih. Kuharap kau berhenti menyakiti Naura dan juga Mama."Meisya berbalik, k
DIA BUKAN IBUKU 28Ibu Ismi, Ibunya Lisa akhirnya dibawa ke rumah sakit setelah diberi pertolongan pertama. Nenek berpesan kepada dokter Inka untuk melakukan apa saja yang sekiranya bisa menyelamatkan nyawa tanpa perlu memikirkan biaya. Arsen dan Adit yang mengantar ke rumah sakit sekaligus menyelesaikan administrasi. Mama melarangku ikut ke rumah sakit. Saat ini keselamatanku adalah prioritas bagi semua orang."Jenazah Lisa baru selesai diotopsi. Dia jelas mati karena cekikan sehingga tak ada oksigen yang masuk." Jelas Om Alfian. Aku terdiam, membiarkan Mama menggenggam tanganku yang terasa dingin. Mengapa setelah bertemu Nenek hidupku berubah bak sinetron? Kulihat Nenek terpekur di kursinya. Beliau sudah pulih dan mulai bisa berjalan meski masih terlihat sulit. Menurut dokter, Nenek selama bertahun-tahun minum obat yang melemahkan syaraf dan otot kakinya. Obat itu diberikan oleh Lisa atas perintah Om Gilang agar mudah mengendalikan Nenek. Sungguh, mereka benar-benar manusia biad*b.
DIA BUKAN IBUKU 27POV GILANGLisa terjatuh kembali ke atas kasur akibat kerasnya tamparanku. Ada darah mengalir dari sudut bibirnya yang pecah. Suaranya yang merengek dan berisik itu sungguh-sungguh membuatku kesal."Tuan, anda jahat sekali." Ujarnya sambil menyeka bibirnya. "Berhenti bicara jika kusuruh berhenti. Suaramu membuatku tak bisa berpikir.""Aku hanya mengkhawatirkan Ibuku.""Naura tidak mungkin mencelakainya. Dia anak yang baik.""Jangan terlalu yakin Tuan. Bukankah dia anak Meisya? Dia punya sifat kejam yang sama dengan Meisya. Aku yakin."Aku terkejut mendengar kata-katanya. Di satu sisi, aku mengakui bahwa apa yang Lisa katakan benar. Tapi di sisi lain, ada rasa tak terima mendengar orang lain mengatakan hal buruk tentang orang yang kucintai."Meisya, si jal*ng itu, yang suka mengobral tubuhnya pada lelaki lain hingga tertular HIV. Bukankah dia terlibat banyak kejahatan sebelum mati? Dia juga tega melaporkan Sofyan ke…"PLAK!"Jangan lancang Lisa! Berhenti mengatakan
DIA BUKAN IBUKU 26Kamarku tak berubah, tetap rapi dan bersih seperti biasa saat aku masih tinggal di sini. Puluhan buku koleksiku berjajar rapi di rak kecil yang terbuat dari kayu dan menempel di dinding. Itu adalah buku-buku favorite yang kujaga sepenuh hati sementara buku lainnya bergabung di perpustakaan keluarga yang berada di sudut lantai atas ini. Aku merebahkan diri di atas kasur, memandang seisi kamar. Seandainya tidak ingat bahwa Om Gilang dan Lisa sedang mengincarku, tentu aku akan merasakan hidupku kembali normal disini. Tapi kenyataan itu pupus begitu aku ingat, Nenek dan Ibu Lisa berada di kamar lain, menanti kepastian untuk kembali.Aku mendesah, rasanya nyaman sekali tidur bergelung di kamarku sendiri. Kamar yang sudah kutempati selama lebih dari dua puluh tahun. Aku ingin terus berada disini. "Naura?"Mama melongokkan kepala dari celah pintu yang sedikit terbuka. Aku menoleh, dan bangun dari kasur. Mama, di usianya yang sudah melewati lima puluh tahun, tetap energik
DIA BUKAN IBUKU 25Aku tiba di rumah sakit dan terkejut mendapati banyak orang berkumpul di ruang rawat Nenek. Mama, Tante Ria, si kembar Adit dan Arsen, juga Alesha. Langkah kakiku terhenti melihat mereka semua menatapku. Yang pertama kali berlari menghampiriku adalah Alesha, yang langsung menubruk tubuhku sambil menangis."Kakak…"Aku tertegun, mataku langsung terasa panas menatap orang-orang terkasih yang selama ini kurindukan setengah mati. Padahal belum sebulan aku berada di rumah Nenek, rasanya sudah seabad lamanya aku tak bertemu dengan mereka.Perlahan, kuangkat tanganku, balas memeluk adik bungsuku yang mungil itu. Isaknya makin keras. Dipeluknya aku erat-erat."Maafkan aku Kak. Tolong maafkan aku."Aku mengusap kepalanya yang tertutup jilbab merah muda. Bagaimana mungkin aku tak memaafkannya? Setelah agak lama, isakannya terhenti. Kuurai pelukan Alesha, menatap mata bening yang terlihat sembab itu."Jangan minta maaf terus. Kau tidak salah apa-apa."Alesha justru terisak lag
DIA BUKAN IBUKU 24"Nauraaaa!"Jantungku langsung terasa merosot ke dasar perut. Aku nyaris berlari menuruni tangga, lalu teringat bahwa di bawah ada Lisa yang bisa melakukan apa saja untuk mencelakaiku. Rasanya aku tak bisa lagi membiarkan dua ular ini untuk tinggal di sini lebih lama. Aku akan cepat kena serangan jantung karena mereka. Jadi aku menuruni tangga dengan hati-hati meski rasanya tak sabar untuk segera tiba di kamar nenek."Hati-hati Naura." Janeeta berjalan lebih cepat mendahuluiku. Dia tiba di kamar Nenek lebih dulu, dan ketika tiba disana, aku terkejut melihat pemandangan itu. Nenek jatuh telentang di atas lantai, kepala bagian belakangnya sepertinya membentur lantai dengan keras. Sementara itu, kamar Nenek seperti habis terkena badai. Lemari dan laci laci terbuka dan isinya berhamburan di lantai."Ya Allah Nenek!"Aku memburu tubuh Nenek dan mencoba mengangkatnya. "Jangan Naura. Biarkan dulu. Aku khawatir Nenek kena stroke. Kita tak boleh merubah posisinya sampai per
DIA BUKAN IBUKU#23Aku menerima surat alih adopsi itu dengan hati perih. Terbayang Mama menangis sambil menandatanganinya. Tentu mereka akan menilaiku sebagai anak yang tak tahu diri. Aku tumbuh sehat hingga sebesar ini berkat air susu Mama. Dan betapa rajinnya Mama membawaku check up, memastikan aku minum obat dan vitamin setiap hari. Aku mendesah. Biarlah, suatu saat, mereka akan tahu bahwa aku melakukan ini semua untuk mereka. Jika aku masih tinggal bersama mereka, Om Gilang akan melakukan berbagai cara agar aku datang dengan sukarela. Tidak. Itu tak boleh terjadi. Cukup Papa saja yang hingga kini belum sepenuhnya pulih."Mamamu berpesan, meski secara hukum kau bukan lagi anaknya, kau tetap anak dan keluarga yang mereka kasihi. Kau bisa pulang kapan saja Naura."Aku mengangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk, menyembunyikan air mata yang nyaris meluncur dari Om Alfian."Terimakasih Om. Aku titip Papa, Mama dan adik adikku." Aku tak dapat menahan suaraku yang bergetar.Om Alfian
DIA BUKAN IBUKU 22"Pagi Nona Naura."Sapa Janeeta di meja makan. Aku tersenyum, menarik kursi makan di depanku. Pagi ini aku mengumpulkan pelayan di rumah Nenek di ruang makan merangkap dapur yang amat luas ini. Sementara Nenek ditemani Om Gilang dan seorang sopir serta pelayan sedang check up ke rumah sakit. Nenek melarangku ikut karena katanya tak boleh meninggalkan rumah tanpa seorangpun pemilik rumah. Agak aneh sebetulnya mengingat selama ini Nenek sendirian, hanya dikelilingi orang-orang asing yang tak punya hubungan dengannya."Pagi Jani, pagi semuanya."Mereka menyahut serempak. Dari sudut mata kulihat Janeeta mengedip mendengarku memanggilnya Jani."Saya hendak menyampaikan apa yang telah disepakati oleh saya dan Nenek. Karena Nenek sakit dan saya adalah satu satunya ahli waris, mulai hari ini, saya yang akan memegang kendali atas rumah ini."Gumaman terdengar dari mulut mereka. Aku menatap Lisa melalui sudut mata, mendapati wajahnya yang tampak tak enak dipandang."Pertama,