Keluarga tirinya mendepaknya keluar dari rumah seminggu setelah ayahnya meninggal, tanpa uang sepeserpun di dalam dompet. Elia terpaksa bekerja serabutan sambil menyelesaikan kuliahnya. Karena mabuk dan salah kamar, membuatnya harus menikahi dosennya dan merawat ibu mertua pria itu, masuk dalam konflik baru dengan status istri sementara. Apa motif sebenarnya di balik tawaran Wirasena—dosen dingin—menikahinya?
Lihat lebih banyak“PERGI KAMU DARI SINI!”
Elia terbeliak mendengar bentakan saudara tirinya. “Apa katamu?” tanya Elia tak percaya. “Pergi?” Posisi Elia yang sedang duduk, membuatnya terpaksa mendongak menatap wajah sinis di hadapannya.
“Ya, pergi dari sini!” ulang wanita yang usianya terpaut beberapa tahun di atas Elia itu.
“Hahaha … sepertinya kamu lupa siapa pemilik rumah ini.” Elia tersenyum miring melihat kekonyolan saudarinya, Yulia.
“Kemarin, rumah ini masih milikmu, tapi sekarang ….”
Dengan penuh percaya diri, Yulia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya dan melambaikannya di udara, tepat di depan wajah Elia. “Tidak lagi, Nona!” tandas Yulia seraya melepas kertas di tangannya di atas kepala Elia. “Baca itu baik-baik.”
Tanpa melepas pandangannya dari wajah sombong Yulia, Elia meraih kertas yang jatuh di sampingnya. Dibacanya deret kalimat yang tertera dengan cermat, seperti permintaan Yulia. Perlahan, kepalanya menggeleng dan bibirnya menggumam, seiring seulas senyum kemenangan yang terbit di bibir Yulia.
“Apa-apaan ini?!” protes Elia marah. “Jangan kau pikir bisa membodohiku, Yul! Apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat ayah, hah?!”
“Aku hanya membawakannya lebih cepat satu hari untukmu, Adikku. Supaya kau bisa berkemas dan pergi dari sini, malam ini!” ucap Yulia seraya merundukkan wajah sinisnya sejajar dengan wajah Elia yang duduk di sofa.
“Dengan surat ini, aku bisa mengusirmu dari rumah kalau kau tetap menolak untuk angkat kaki,” bisik Yulia.
Bug.
Elia mendorong bahu Yulia menjauh dari hadapannya. “Aku tidak akan pergi dari sini. Ini rumah keluargaku!” tegas Elia marah. “Aku akan cari tahu apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat itu. Lihat saja.” Elia bangkit dari sofa, menatap Yulia dan ibunya—yang sejak tadi hanya duduk diam—bergantian. “Sampai mati pun, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”
Elia melangkah lebar menuju tangga yang mengantarnya ke depan pintu kamar. Dibantingnya pintu besar itu sekuat tenaga hingga berdebum keras. Tak kalah kerasnya, Elia membanting tubuhnya di ranjang.
“Yah, mereka sudah terang-terangan menindasku. Bantu El, Yah.” Elia memejamkan matanya yang mendadak panas. Desahan panjang dan dalam lolos dari bibir cantiknya bersamaan dua bulir bening dari kedua sudut matanya.
Baru genap tujuh hari meninggalnya Surya—ayah kandung Elia—, belum reda kesedihan karena kehilangan sosok cinta pertamanya, Elia dihadapkan pada kesedihan lain yang ditimbulkan oleh saudara dan ibu tirinya.
“Kau harus kuat, El! Hanya tersisa kau sendiri sekarang, jangan lemah!” ucap Elia menyemangati diri.
Hening sejenak, sebelum tiba-tiba Elia duduk di tepi ranjang dengan dahi berkerut. Gadis cantik berlesung pipi itu mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya terlepas dari pengamatannya.
“Tunggu … sebelum ayah dinyatakan meninggal, bukannya Tante Rossa bilang ayah sempat pingsan di rumah?” Elia bergumam.
Sejurus kemudian, Elia sudah melesat keluar dari kamarnya menuju halaman belakang. Sepi. Sosok yang dicarinya tidak berada di sana.
“Pak Ujang!” panggil Elia dengan pandangan berkeliling.
Tidak ada jawaban.
“Pak Ujang!”
“Ya, Neng.” Seorang wanita usia pertengahan abad, berlari kecil menghampiri Elia. “Nyariin pak Ujang, ya?”
“Bik, mana Pak Ujang?” tanya Elia antusias.
“Lho, ‘kan disuruh Neng Yulia pulang kampung, Neng?” bingung Minah.
“Pulang kampung? Kapan? Ngapain?” cecar Elia mulai kesal.
Dengan tatapan bingung, Minah berkata, “Bapak yang minta pak Ujang pulang kampung untuk mengerjakan sesuatu. Kebetulan, kemarin Neng Yulia ingat—.”
“Bik, Elia mau tanya,” potong Elia cepat. “Apa Bik Minah tahu kenapa ayah bisa serangan jantung?” tanya Elia tanpa basa-basi.
Mendengar pertanyaan Elia, sontak Minah celingukan melihat sekeliling. “Neng, kita bicara di tempat lain saja. Takut ada yang dengar.”
Makin curigalah Elia.
Minah menarik tangan Elia agar mengikutinya menuju kamar cucian. Merasa belum cukup aman, Minah menutup pintu kamar dan melepaskan pengikat gorden.
“Ada apa, sih? Memang perlu sampai begini, ya?” Elia semakin bingung melihat tingkah Minah.
“Shh, bibik hanya takut kalau ada yang mendengar pembicaraan kita.”
Tingkah Minah membuat Elia teringat pada salah satu judul film komedi yang sering ditontonnya bersama Surya sejak ia kecil hingga dewasa, tentang tiga sahabat kocak yang tidak pernah lepas dari petualangan bersama wanita cantik dan seksi.
“Apaan, sih?! Jadi mirip Kasino.”
“Ehh, serius ini, Neng. Kalau sampai Neng Yulia atau ibu sampai dengar, bisa gawat.” Minah masih terus bersikap misterius yang terlihat semakin konyol di mata Elia.
“Oke.” Elia memegang kedua bahu Minah agar wanita itu menjadi tenang. “Sekarang, katakan apa yang terjadi hari itu.”
Minah mendekatkan wajahnya pada Elia dan berbisik, “Bapak pingsan setelah bertengkar dengan Neng Yulia.”
Elia terbeliak kaget. Pasalnya, baik Yulia atau Rossa tidak ada yang memberitahunya kejadian yang sebenarnya. Tentu saja mereka bungkam, karena ternyata kematian Surya berhubungan dengan mereka.
Ketika mendengar kabar dari Rossa bahwa ayahnya masuk rumah sakit, Elia mengira pasti telah terjadi sesuatu di rumah. Pasalnya, pagi hari sebelum Elia pergi ke kampus, Surya masih sempat bermain tenis dengan teman-temannya dan kondisinya masih prima seperti biasanya.
“Apa Bik Minah melihat atau mendengar mereka bertengkar tentang apa?” tanya Elia penasaran.
“Kalau yang pertama di ruang tamu, bibik ndak dengar, Neng. Bibik masih sibuk nyuci. Suara mesinnya berisik. Tapi, kalau yang kedua, bibik dengar sedikit.” Minah makin merendahkan suaranya.
Merasa tidak sabar, Elia melebarkan matanya. “Bisa gak, ngomong langsung? Yang lengkap, gitu. Jangan bikin penasaran gini!” kesalnya.
Minah berjingkat kaget karena teguran Elia yang dikenalnya sebagai gadis pendiam dan kalem. Ia tertunduk, merasa bersalah.
“Maafkan bibik, Neng.”
“Oke, sekarang Bik Minah bilang ke Elia yang terjadi hari itu. Lengkap dan tidak berbelit-belit.”
Minah mengangguk cepat menyadari emosi nona mudanya mulai merayap naik.
“Di ruang kerja, bapak marah lagi karena Neng Yulia tidak pulang semalaman. Pulang-pulang malah teler. Jadinya bapak marah.”
Elia menghela napas perlahan menahan amarahnya.
“Neng Yulia sempat teriak-teriak sampai bibik dengar ada suara barang pecah dari ruang kerja bapak.”
“Teriak apa, Bik?” desak Elia.
Jeglek.
“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” Yulia berdiri di ambang pintu dengan wajah menyelidik.
****
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen