“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.
Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”
Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.
“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.
“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.
Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.
“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di tembok sebelah kanan. Ia sedikit berjinjit untuk membaca tulisan yang tertera.
“Sedap malam sembilan belas. Lhah, bener kok?!” Elia menarik napas dan mengembuskannya perlahan dengan mata terpejam untuk menenangkan diri. “Harus banget kerja di rumah ini?” desah Elia.
Elia mondar-mandir di depan pagar besi untuk menata kalimat dan menebalkan mukanya sampai sebuah tangan menepuk bahunya dan membuatnya berjingkat.
“Neng!”
“Astaga!” teriak Elia kaget.
Keterkejutan Elia menular pada pria di belakangnya. “Astaga, Neng! Kaget saya.”
“M-maaf, Pak. Ada apa, ya?” gagap Elia sambil tersenyum kaku.
“Ini, Neng. Dipanggil sama Bapak, disuruh masuk.” Pria itu menunjuk ke arah rumah menggunakan jempol kanannya, membuat Elia semakin merasa sungkan.
“Oh, iya. Makasih, Pak.” Elia mengangguk seraya mendahului pria itu masuk melintasi pagar.
“Ditunggu di ruang tamu, Neng,” imbuh pria itu dari balik punggu Elia.
Di ruang tamu, Wirasena duduk di salah satu sofa dengan satu kaki menumpang di atas kaki lainnya. Punggungnya terlalu tegak hingga terkesan pria itu sudah lama menunggu Elia dan nyaris kehilangan kesabarannya.
“Prof,” sapa Elia lirih disertai anggukan samar.
“Duduk.”
‘Astaga, bisa gak ramah dikit aja?’ gerutu Elia dalam hati.
Elia meletakkan pantatnya di atas sofa dengan hati-hati, seolah sofa itu terbuat dari kulit telur yang mudah pecah. Beberapa saat lamanya Elia menunggu Wirasena bicara, tapi tak kunjung ada suara. Keheningan masih terus berlanjut hingga Elia merasakan tulang ekornya kebas.
Drtt … drtt ….
“Maaf, Prof. Saya permisi angkat telfon dulu.” Elia mengangkat pantatnya sambil mengacungkan ponsel yang sedang menyala layarnya agar Wirasena melihat.
“Tolak.”
“Ehh?” bingung Elia. “Tolak?”
“Tolak, kita bicara. Atau kamu terima, dan silakan keluar.” Wirasena menurunkan kakinya dan menjauhkan punggungnya dari sandaran sofa. Matanya lurus menatap Elia, menunggu jawaban gadis itu.
Tut.
Elia menolak panggilan masuk yang kebetulan berasal dari Barata. ‘Maafkan Elia, Prof. Manusia di depan Elia ini lebih menakutkan dibanding lainnya,’ batin Elia seraya menurunkan kembali pantatnya.
“Saya butuh perawat untuk ibu mertua saya. Kamu bisa langsung mulai bekerja.”
Dalam kebingungan dan rasa bersalahnya, Elia tidak mendengar ucapan Wirasena dengan jelas. Gerakan bibir pria itu membuatnya merasa perlu meminta pengulangan kalimat. Mahasiswa lulusan terbaik di angkatannya dengan predikat summa cumlaude itu, tanpa sadar berkata, “Hahh?”
Batas kesabaran Wirasena sudah terlampui, terbukti dengan gerakannya mencondongkan tubuh dan menumpukan sikunya pada lutut diiringi embusan napas kasar.
“Oke. Selamat siang.”
Spontan, Elia mundur menempel pada sandaran sofa manakala Wirasena berdiri dengan tiba-tiba. Tanpa menunggu reaksi gadis muda di hadapannya, Wirasena melangkah pergi.
“Pak! M-maksud saya, Prof.” Elia menyusul.
Mata tajam yang seolah tidak pernah kehabisan baterai untuk menyorot terang itu, menatap Elia tanpa berkedip.
“Saya bersedia. Terima kasih.”
Begitulah, sepanjang siang hingga petang, Elia menemani—Oma Tatik—begitu wanita berusia delapan puluh tahun itu disapa. Lansia berwajah sinis dengan bibir yang selalu terkatup lancip itu tidak jauh berbeda dengan menantunya. Elia berusaha memompa kesabarannya hingga jam kerjanya usai.
Satu bulan berlalu, tidak ada kemajuan berarti dalam hubungan pasien dan perawat tersebut. Pun begitu, komunikasi Elia dengan Wirasena tidak berjalan lancar. Mereka hanya berpapasan tiga kali sejak pertama Elia bekerja. Sampai akhirnya, seorang wanita seksi dengan riasan tebal, datang berkunjung ditemani seorang bocah perempuan.
“Oma!” sapa bocah itu riang.
Senyum Tatik mengembang seketika. “Mika …,” sambut Tatik sembari merentangkan kedua lengannya lebar. “Lama sekali, oma kangen.” Dipeluk dan diciumnya pipi gembul Mika dengan lembut.
“Mika juga kangen, tapi mami banyak kerjaan. Jadi, Mika gak bisa ketemu Oma sama Papi.” Mika membalas pelukan Tatik sambil beringsut naik ke pangkuan.
“Sayang, turun dulu, ya. Omanya kasihan kalau ….”
“Siapa perempuan ini, Mam?” tanya wanita berias tebal yang sejak tadi sibuk memainkan layar ponselnya.
“Perawat yang dipekerjakan Wira untuk merawat mama,” sahut Tatik tanpa melepaskan pelukannya.
“Mas Wira mana? Kok belum keliatan?”
“Entah.”
Elia melirik sekilas mendengar nada datar yang Tatik gunakan menjawab wanita itu. Namun, sejurus kemudian, senyum ramah terbit di bibirnya setelah sepasang mata bulat jernih mengerling padanya.
“Sini,” undang Elia lirih dibarengi lambaian tangan.
“Bawa dia main, Sus.” Tangan wanita itu menarik Mika sedikit kasar hingga bocah kecil itu kembali memasang wajah murung. “Aku akan tinggal di sini,” ujarnya seraya menduduki sofa. “Sebulan ke depan, banyak kerjaan ke luar kota. Kebetulan di sini sudah ada suster yang bisa bantu jaga Mika.”
“Taruh kamar bapak, Mad!” titahnya saat dua koper besar masuk diantarkan Somad—tukang kebun Wirasena, yang seketika tercengang, begitu juga Elia.
‘Bukannya kata Mbak Marni, Prof. Wira duda, ya?’ tanya Elia dalam hati.
“Jangan keterlaluan, Susan! Jangan membuat keributan!” tegur Tatik kurang suka.
“Keterlaluan bagaimana?! Toh, pada akhirnya aku akan jadi istrinya. Tidur dengannya lebih awal, bukan hal besar, ‘kan?” Menggunakan dagunya, Susan menyuruh Somad melanjutkan langkahnya.
‘Lihat saja. Malam ini, Wira akan menjadi milikku seutuhnya.’ Seringaian Susan membuat Elia bergidik, teringat wanita lain dengan seringai yang mirip. ‘Aku harap, ucapan Marni bisa dipercaya.’
***
Kumpulan angka-angka yang menempel di dinding ruang utama menunjukkan pukul satu dini hari ketika Wirasena membuka pintu. Kondisi rumah sudah sepi dan gelap. Tanpa menimbulkan suara yang mengganggu penghuni rumah lain, Wirasena menuju lemari pendingin. Ia mengambil gelas dari rak dan mengeluarkan sekotak besar jus apel kesukaannya untuk menghapus dahaga. Dituangnya segelas penuh jus apel dan diteguknya tanpa curiga.
“Astaga! Apa ini?!” panik Wirasena setelah dua tegukan besar menghapus dahaganya. Ia endus cairan kecokelatan yang menyisakan rasa terbakar di tenggorokannya. “Wiski? Siapa yang iseng melakukan ini?!”
“Ah, sial!” umpat Wirasena saat kepalanya mulai berdenyut. Kakinya limbung. Ia bergegas menuju kamarnya, tapi segera berbalik saat menyadari ada yang menghuni ranjangnya.
“Kamar tamu,” gumamnya sambil berjalan terhuyung.
Ranjang besar dengan penyangga kayu dan kelambu putih yang masih terikat rapi di keempat sisi itu, tampak kosong. Sekilas, Wirasena melihat seberkas cahaya lampu menerobos dari pintu kamar mandi.
“Anita?” gumamnya diiring senyum lega. “Aku rindu sekali aroma sampo ini,” imbuhnya seraya menyusup masuk ke dalam selimut. “Hmm … hangat,” sambungnya sebelum jatuh tertidur.
Di dalam kamar mandi, Elia mencuci rambutnya sambil menggerutu. Pasalnya, Mika menuangkan hampir sebotol penuh minyak gosok Tatik ke atas kepalanya saat ia menemani bocah itu tidur.
“Mika gak bisa tidur, Sus,” jawab bocah itu sambil memelas, saat Elia marah padanya. “Maaf ….”
Amarah Elia lenyap seketika berganti iba manakala mata bulat Mika berkaca-kaca. Puncaknya, bocah kecil itu menangis dan muntah ke tubuh Elia. Di sinilah ia sekarang, berkutat dengan bau minyak gosok dan amis susu.
“Hufth … sabar, El. Ini jauh lebih baik dibanding dengan bertemu Wirasenewen,” ujar Elia diikuti tawa geli. “Wirasenewen,” ulangnya lagi sambil menggeleng, tidak habis pikir dengan nama gubahannya yang begitu cocok dengan pria itu.
Elia keluar setengah jam kemudian dengan tubuh terbungkus jubah mandi dan rambut yang setengah kering. Ia berjalan keluar kamar, tujuannya satu, meneguk segelas susu agar tidurnya semakin nyenyak. Sesampainya di dapur, ia menemukan meja masih berantakan.
“Astaga, Mbak Marni pasti lupa beresin.” Elia meraih gelas bersih dan membuka kulkas. “Lho, susunya habis, ya?” desahnya kecewa. “Gak ada susu, jus apel pun jadi.”
Diangkatnya kotak jus hendak dituang ke dalam gelas. “Astaga, apes banget gue. Tinggal dikit. Glek langsung aja kali, ya.” Dengan kesal, Elia mendekatkan lubang kotak ke bibirnya dan mengangkatnya tinggi seketika karena isi yang tidak seberapa.
Uhukk … uhuuk ….
Elia terbatuk saat cairan itu tertelan habis dalam satu tegukan besar. “Akhh … hoek … minuman apa ini?! Pait banget!” pekik Elia seraya menuju wastafel mencuci mulutnya dan berkumur.
“Gilak! Orang gila mana yang nyimpen miras dalam kotak jus?! Gimana kalau Oma atau Mika yang minum?!” gerutu Elia. “Apes … apes. Kalau gini, bisa nyenyak banget tidur gue,” gumam Elia seraya kembali ke kamarnya.
***
Sinar mentari masuk melalui tirai jendela yang terbuka. Sepasang bola mata terbungkus bulu lentik mengerjap karena terang yang menggempurnya beberapa saat. Elia menggosok kelopak matanya yang terasa berat dan mencoba duduk agar kantuknya hilang.
“Ishh ….” Desahan berat keluar dari bibir akibat sakit kepala yang tiba-tiba menyerang. Elia menggelengkan kepala dan mendapatinya semakin meringis kesakitan. Masih dengan mata terpejam malas, Elia menyibak selimutnya.
“Ahh …!” pekik Elia manakala tangan kirinya menyentuh kepala seseorang.
Sontak, Elia berpaling ke kiri. Matanya terbeliak, sakit kepalanya lenyap saat maniknya menangkap sosok Wirasena tidur pulas tanpa kain pembungkus badan.
“AAA …!”
****
“AAA …!” Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar. Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu. “Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap. “Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya. Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya. ‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada ke
Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”
Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke
Ningsih baru selesai membantu Hana membersihkan diri dan menata bantal di belakang punggungnya. Wanita itu, mengeluh punggungnya panas dan capek. Bagaimana tidak, Hana sudah berbaring selama dua minggu tanpa berkeinginan turun dari ranjang dan bergerak.Ia sudah merawat Hana sejak wanita itu keluar dari rumah sakit dan divonis menderita kanker leher rahim, dua tahun lalu. Awalnya, Hana masih semangat menjalani pengobatan, tapi belakangan, semangatnya mulai menurun.“Apa sudah nyaman begini, Bu?” tanya Ningsih setelah meletakkan bantal ketiga di belakang punggung Hana.“Ya, terima kasih, Sus.”“Atau sebaiknya kita jalan-jalan di luar, mumpung cuaca sedang cerah,” bujuk Ningsih yang disambut dengan gelengan kepala.Malas bersikap pura-pura ramah dan perhatian lebih lama, Ningsih mengangguk dan keluar kamar meninggalkan Hana yang mulai memejamkan mata. Ditutupnya pintu kamar perlahan. Sejurus kemudian, sebuah tangan
“Keluar!” usir Hana dengan napas yang dipaksakan.Shinta sedikit terkejut dengan respon Hana yang sedikit lebih cepat darinya. Ia merasakan tangan Hana mencari jemarinya dan meremasnya erat, meminta dukungan.“Siapkan semua berkas perceraiannya. Aku akan tanda tangani.”Haris menggeleng cepat dan berlutut. “Nggak. Aku gak akan menceraikanmu, Han. Aku hanya khilaf sesaat. Aku mohon maafkan aku, Han.”Alih-alih menjawab permohonan Haris, Hana menampar suaminya dengan kekuatan yang dimilikinya. Shinta semakin takjub melihat keberanian Hana yang sudah sejak lama dia nantikan. Haris adalah tipe pria terakhir yang ingin dilihatnya, sejak Shinta tahu bahwa ayahnya suka main wanita.“Selama ini, aku menutup mata demi Shinta, Mas. Jangan kamu kira, aku terbaring di ranjang dan tidak tahu apa yang kamu lakukan di luaran.”Hana meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang dan membuka kumpulan foto yang dia
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan