“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”
Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.
“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”
Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”
Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.
“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”
Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
“PERGI KAMU DARI SINI!”Elia terbeliak mendengar bentakan saudara tirinya. “Apa katamu?” tanya Elia tak percaya. “Pergi?” Posisi Elia yang sedang duduk, membuatnya terpaksa mendongak menatap wajah sinis di hadapannya.“Ya, pergi dari sini!” ulang wanita yang usianya terpaut beberapa tahun di atas Elia itu.“Hahaha … sepertinya kamu lupa siapa pemilik rumah ini.” Elia tersenyum miring melihat kekonyolan saudarinya, Yulia.“Kemarin, rumah ini masih milikmu, tapi sekarang ….”Dengan penuh percaya diri, Yulia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya dan melambaikannya di udara, tepat di depan wajah Elia. “Tidak lagi, Nona!” tandas Yulia seraya melepas kertas di tangannya di atas kepala Elia. “Baca itu baik-baik.”Tanpa melepas pandangannya dari wajah sombong Yulia, Elia meraih kertas yang jatuh di sampingnya. Dibacanya deret kalimat yang tertera dengan cermat, seperti permintaan Yulia. Perlahan, kepalanya menggeleng dan bibirnya menggumam, seiring seulas senyum kemenangan yang
Yulia berdiri cukup lama di depan pintu kamar cucian, cukup untuk menyimpulkan bahwa Minah berbahaya baginya. Awalnya, ia ingin meminta tolong Minah membuat secangkir kopi pahit untuknya karena sakit kepala tiba-tiba menyerangnya setelah bertengkar dengan Elia. Tapi, apa yang didengarnya dari balik pintu, nyatanya mampu menyembuhkan sakit kepalanya.Dibukanya pintu kamar dengan keras.“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” hardik Yulia. Hatinya bersorak, manakala melihat wajah pias Minah dan gurat kejengkelan adik tirinya. “Lho, malah bengong. Lagi main petak umpet? Kok cuman berdua, kurang seru, dong. Ikutan, boleh gak?”Tanpa bicara, Elia mendorong bahu Yulia dengan kesal agar perempuan itu menyingkir dari jalan dan membiarkannya keluar ruangan. Minah bermaksud mengekor Elia, tapi lengan Yulia mencekalya.“Bik Minah, tolong buatin kopi pahit, dong,” pinta Yulia dengan nada lembut yang dibuat-buat tertuju pada Minah, sedang matanya mengiring kepergian Elia.Setelah memastikan Elia masuk
Elia membaca dengan cermat laporan singkat pemeriksaan perawat dan dokter, matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada hari di mana ia mendapat telepon dari Rossa yang mengabarkan bahwa ayahnya sedang dirawat karena serangan jantung.“El,” panggil Rafi membuyarkan lamunan gadis itu.“Hmm?” Elia mendongak sambil mengusap matanya yang basah.“Kamu baik-baik saja, El?”Air mata Elia luruh. “Jadi, ayahku DOA (Death on Arrival), Raf? Dia tidak sempat mendapatkan pertolongan? Dia meninggal dalam perjalanan?” cecar Elia sambil terisak.Rafi memegang bahu Elia agar gadis itu tenang. “Menurut perawat yang bertugas hari itu, ayahmu datang dalam kondisi cardiac arrest (henti jantung). Sudah dilakukan pertolongan pertama, tapi jantungnya tidak merespon. Kesimpulan dokter jaga DOA karena akralnya masih hangat.”Pernyataan Rafi membuat Elia tergugu. Pasalnya, semua itu berbeda dengan apa yang Yulia ceritakan padanya.‘Ayah bukan tipe pasien yang tidak patuh. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengalam
“Bodoh, bodoh!” umpat Elia di sela isakan di atas skuternya.Panik, mengacaukan otaknya dan menurunkan kecerdasannya. Bukan karena sedih air matanya tidak berhenti mengalir, tapi karena gumpalan amarah yang tidak bisa ia luapkan. Elia memacu pelan motornya yang nyaris tenggelam dalam muatan.“Aku harus pergi ke mana?” lirihnya sendu. “Harusnya tadi aku berkeras untuk tinggal. Toh, itu rumah milik orang tuaku. Bodoh kamu, El!” umpatnya penuh sesal.Drtt … drtt ….Elia meminggirkan motornya. Shinta calling ….“Halo,” jawab Elia menahan tangis.[El, lu kenapa? Kok suaranya gitu? Nangis, ya?] cecar Shinta dari seberang.“Eh, nggak. Lagi serak aja,” kilah Elia menahan napas.[Mau minta tolong, dong. Bisa gak temenin gue tidur apartemen? Gue abis berantem ma bokap.]“Astaga … kenapa lagi, sih?!” Tangis Elia teralihkan mendengar cerita sahabatnya.[Reval barusan nelfon gue. Dia bilang, dia lihat bokap gue gandengan ma cewek cantik di depan lift apartemen. Malam ini, gue harus tidur sana supa
“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di te