Di usia yang sudah kepala tiga, Agnes masih saja melajang. Tak ada yang tahu alasan Agnes untuk selalu menolak lamaran lelaki yang datang kepadanya. Hingga sosok seorang lelaki beristri dan telah mempunyai anak hadir dalam kehidupannya. Lelaki itu bernama Aksa dan bekerja sebagai sopir pribadinya. Entah apa istimewanya Aksa sampai Agnes rela menjadi istri kedua demi membungkam cibiran orang-orang yang selalu merendahkan dirinya dengan sebutan perawan tua atau perempuan tak laku. Perjalanan nasib rumah tangga Agnes dan Aksa ternyata tak semulus jalan tol. Terlebih saat Ainun berhasil melacak jejak pernikahan mereka. Belum lagi sikap pilih kasih dan julidnya seorang Clarissa. Kehidupan Agnes tak ubahnya seperti seekor sapi perah di tangan Clarissa. Jika takdir boleh memilih, sungguh Agnes tidak pernah ingin menjadi seorang pelakor. Sebuah kartu merah yang membatasi gerak langkahnya dan pada dasarnya sangat dibencinya. Namun, semua berubah ketika sebuah rahasia besar tentang Aksa dan Ainun terkuak. IG @lathifahnur117
View MoreMenggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga?
Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu.
Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri.
“Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?”
Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty.
“Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.”
Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah.
Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agnes mendarat mulus di pipi sang mama.
Wanita itu membuang napas kecewa. Lagi-lagi dia juga mendengar jawaban yang sama setiap harinya, seperti rekaman kaset yang terus diputar ulang.
“Mama sudah semakin tua, Nes,” keluh Ranty.
“Lah, yang bilang Mama bertambah muda siapa?” seloroh Agnes. “Aku juga mau diwarisi ilmu awet muda kalau begitu, Ma.”
“Agnes!” Emosi Ranty mulai menggeliat bangun. Anak gadis semata wayangnya itu selalu saja pandai berkilah.
“Dah, Ma ….”
Agnes berlalu setelah mengecup pipi mamanya dan terkekeh halus. Tak merasa bersalah sama sekali karena telah mempermainkan emosi sang mama di pagi hari.
Berjalan dengan langkah tergesa-gesa dari gerbang rumahnya, Agnes sedang tidak ingin membawa mobil sendiri. Dia memutuskan untuk naik taksi online.
“Astagfirullah!”
Agnes menjerit kaget dan sontak melompat ke tepi. Sebuah motor dengan pengendara ugal-ugalan nyaris saja menyerempet dirinya. Untung dia gesit menghindar.
“Memangnya dia pikir ini jalan nenek moyangnya,” gerutu Agnes.
Mood-nya sedari pagi memang tidak terlalu bagus. Sekarang menjadi semakin bertambah buruk gara-gara insiden tersebut.
Agnes membanting tas ke atas meja begitu tiba di ruang kerjanya. Hari baru saja dimulai, tetapi dia sudah merasakan lelah yang luar biasa.
Kalau saja ada lubang hitam yang mampu menyedotnya ke dimensi lain, mungkin Agnes tidak akan segan-segan untuk menceburkan diri ke sana.
Dia bosan mengurai rentetan pertanyaan dan kenyataan yang sama setiap hari. Kepalanya seakan mau meledak lantaran harus terus berpura-pura bahwa dia baik-baik saja dan benar-benar tidak peduli dengan semua itu.
Faktanya, hati kecilnya selalu menjerit galau dalam kesendirian. Gadis mana yang mau terus melajang sampai tua? Bayangan keterbatasan usia subur seorang wanita sudah cukup menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seorang gadis, apalagi ditambah dengan cibiran masyarakat dan gelar yang dilekatkan di belakang namanya—Agnes si perawan tua.
Agnes kembali bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Beberapa pasang mata saling kedip dan bertanya heran tanpa suara. Pagi ini, bos cantik mereka bukan hanya terlihat kusut dan tidak bergairah, tetapi juga seperti kehilangan sukma.
“Wah, tumben si bos kabur pagi-pagi begini,” cerocos seorang gadis berambut ikal sebahu.
“Kamu ini seperti tidak kenal Mbak Agnes saja, Ser,” balas gadis lain berkerudung putih tulang.
“Aku tahu dia sering keluar, tapi biasanya tidak sepagi ini. Kayak orang lagi stres. Kamu merasa begitu tidak, Vi?”
Serra dan Vivian sudah cukup lama bekerja di butik milik Agnes. Mereka sudah hafal betul keseharian wanita lajang tersebut. Agnes hanya akan meninggalkan ruang kerjanya kalau dia sudah lelah bergelut dengan desain pakaian model terbarunya.
“Sudahlah. Tidak usah dipikirkan,” putus Vivian. “Mungkin Mbak Agnes sedang banyak masalah. Dia butuh refreshing. Tugas kita jaga butik.”
Serra sedikit mendengkus kesal. Bukan pada Agnes ataupun Vivian. Terbayang dalam benaknya seorang desainer lain yang bekerja untuk Agnes. Wanita angkuh itu akan bersikap seolah-olah dialah sang pemilik butik kalau Agnes tidak di tempat. Menyebalkan sekali!
***
Jalanan belum terlalu ramai. Toko-toko baru mulai menggeliat bangun. Beberapa petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai dengan tulisan ‘Tutup’ masih melekat pada pintu masuk atau jendela kaca. Baru sebagian kecil jajaran toko tersebut yang siap menerima pengunjung.
Taksi yang ditumpangi Agnes berhenti pada salah satu pusat perbelanjaan besar. Agnes pun melesat turun dan membayar ongkos.
Setelah mengucapkan terima kasih sebagai wujud penghargaan atas jasa si sopir taksi, Agnes berjalan santai memasuki mal tersebut.
Entah apa yang akan dibelinya, dia pun tidak tahu. Dia hanya menuruti kata hati untuk sekadar mencari hiburan.
Di tengah suasana mal yang masih agak sepi, kehadiran Agnes tampak mencolok dengan penampilan khas wanita kantoran. Ah, masa bodohlah! Agnes terus berjalan pelan, mengitari mal sepuas hati tanpa tujuan yang pasti.
Aktivitas pengunjung semakin ramai. Agnes sedikit menepi. Dia tidak suka berdesak-desakan atau tersenggol oleh orang-orang yang berlalu lalang.
“Copeeet! Tangkap lelaki itu!”
Terdengar teriakan lantang diiringi riuh suara langkah berlarian.
“Hei! Apa yang ka—”
“Ssst!”
Seorang lelaki muda memotong bentakan Agnes dengan menyilangkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. Dia berjongkok di belakang Agnes, meminta perlindungan.
Beberapa lelaki dan seorang petugas keamanan celingukan di depan Agnes. Mencari-cari pencopet yang mereka buru.
Lelaki muda yang bersembunyi di belakang Agnes semakin merapat mundur sembari menarik helaian baju yang menggantung untuk menutupi diri.
Agnes balik badan dan bersedekap tangan, menatap tajam pada lelaki yang masih berusaha menyembunyikan wajah tanpa mengetahui bahwa para pemburu telah berlalu dari hadapannya.
“Kamu benar-benar pencopet, kan?”
Lelaki itu mendongak. Mulutnya ternganga. Matanya melotot. Dia tidak menyangka wanita cantik yang menjadi dewi penolongnya itu juga menganggap dirinya seorang pencopet.
“Bu–bukan! Aku tidak melakukan hal serendah itu,” sangkalnya sambil menggerakkan kedua tangannya dengan liar.
“Itu apa? Buktinya ada dompet di tanganmu.”
“Hah!”
Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan kanannya masih memegang sebuah dompet wanita. Refleks dia membanting dompet tersebut ke sembarang arah.
“Hei! Apa yang akan kau lakukan?” tanya lelaki tersebut.
Wajahnya berubah panik ketika melihat Agnes merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel. Siap untuk menelepon seseorang.
“Menurutmu apa yang akan aku lakukan?” tanya Agnes, melirik dingin. “Tentu saja aku akan menghubungi polisi.”
“Tunggu, Nona!”
Lelaki tersebut sontak bangkit dan menahan tangan Agnes. “Tolong … jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak mencopet.”
Agnes masih memasang wajah datar dan seringai dingin. “Cuih! Kamu pikir aku percaya?” sinisnya. “Bukti nyata sudah jelas di depan mata.”
Lelaki itu membuang pandang pada dompet yang masih tergeletak di lantai mal. “A–aku juga tidak tahu mengapa dompet itu bisa ada di tanganku.”
“Jangan banyak alasan! Ayo ikut aku!” Agnes mendengkus dan menarik kerah baju lelaki tersebut setelah menyambar bukti tindak kriminal yang ada di dekatnya.
“Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bersalah!”
“Nanti saja kamu buktikan di kantor polisi.”
“Apa?!”
Lelaki tersebut menghentikan langkah. Mendengar kantor polisi membuat bulu kuduknya merinding. Dia pun menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sorot matanya memelas.
“Kumohon … percayalah padaku! Bukan aku pelakunya.”
Agnes masih bergeming dan semakin mempererat cengkeramannya pada kerah baju lelaki tersebut.
“Kamu bisa menjelaskannya kelak.”
***
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments