Istri Sebatas Status

Istri Sebatas Status

last updateLast Updated : 2021-09-22
By:  Lathifah NurCompleted
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
27 ratings. 27 reviews
82Chapters
20.4Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Di usia yang sudah kepala tiga, Agnes masih saja melajang. Tak ada yang tahu alasan Agnes untuk selalu menolak lamaran lelaki yang datang kepadanya. Hingga sosok seorang lelaki beristri dan telah mempunyai anak hadir dalam kehidupannya. Lelaki itu bernama Aksa dan bekerja sebagai sopir pribadinya. Entah apa istimewanya Aksa sampai Agnes rela menjadi istri kedua demi membungkam cibiran orang-orang yang selalu merendahkan dirinya dengan sebutan perawan tua atau perempuan tak laku. Perjalanan nasib rumah tangga Agnes dan Aksa ternyata tak semulus jalan tol. Terlebih saat Ainun berhasil melacak jejak pernikahan mereka. Belum lagi sikap pilih kasih dan julidnya seorang Clarissa. Kehidupan Agnes tak ubahnya seperti seekor sapi perah di tangan Clarissa. Jika takdir boleh memilih, sungguh Agnes tidak pernah ingin menjadi seorang pelakor. Sebuah kartu merah yang membatasi gerak langkahnya dan pada dasarnya sangat dibencinya. Namun, semua berubah ketika sebuah rahasia besar tentang Aksa dan Ainun terkuak. IG @lathifahnur117

View More

Chapter 1

1. Insiden

Menggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga?

Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu.

Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri.

“Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?”

Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty.

“Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.”

Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah.

Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agnes mendarat mulus di pipi sang mama.

Wanita itu membuang napas kecewa. Lagi-lagi dia juga mendengar jawaban yang sama setiap harinya, seperti rekaman kaset yang terus diputar ulang.

“Mama sudah semakin tua, Nes,” keluh Ranty.

“Lah, yang bilang Mama bertambah muda siapa?” seloroh Agnes. “Aku juga mau diwarisi ilmu awet muda kalau begitu, Ma.”

“Agnes!” Emosi Ranty mulai menggeliat bangun. Anak gadis semata wayangnya itu selalu saja pandai berkilah.

“Dah, Ma ….”

Agnes berlalu setelah mengecup pipi mamanya dan terkekeh halus. Tak merasa bersalah sama sekali karena telah mempermainkan emosi sang mama di pagi hari.

Berjalan dengan langkah tergesa-gesa dari gerbang rumahnya, Agnes sedang tidak ingin membawa mobil sendiri. Dia memutuskan untuk naik taksi online.

“Astagfirullah!”

Agnes menjerit kaget dan sontak melompat ke tepi. Sebuah motor dengan pengendara ugal-ugalan nyaris saja menyerempet dirinya. Untung dia gesit menghindar.

“Memangnya dia pikir ini jalan nenek moyangnya,” gerutu Agnes.

Mood-nya sedari pagi memang tidak terlalu bagus. Sekarang menjadi semakin bertambah buruk gara-gara insiden tersebut.

Agnes membanting tas ke atas meja begitu tiba di ruang kerjanya. Hari baru saja dimulai, tetapi dia sudah merasakan lelah yang luar biasa.

Kalau saja ada lubang hitam yang mampu menyedotnya ke dimensi lain, mungkin Agnes tidak akan segan-segan untuk menceburkan diri ke sana.

Dia bosan mengurai rentetan pertanyaan dan kenyataan yang sama setiap hari. Kepalanya seakan mau meledak lantaran harus terus berpura-pura bahwa dia baik-baik saja dan benar-benar tidak peduli dengan semua itu.

Faktanya, hati kecilnya selalu menjerit galau dalam kesendirian. Gadis mana yang mau terus melajang sampai tua? Bayangan keterbatasan usia subur seorang wanita sudah cukup menjadi momok yang sangat menakutkan bagi seorang gadis, apalagi ditambah dengan cibiran masyarakat dan gelar yang dilekatkan di belakang namanya—Agnes si perawan tua.

Agnes kembali bangkit dari tempat duduknya dan berjalan keluar. Beberapa pasang mata saling kedip dan bertanya heran tanpa suara. Pagi ini, bos cantik mereka bukan hanya terlihat kusut dan tidak bergairah, tetapi juga seperti kehilangan sukma.

“Wah, tumben si bos kabur pagi-pagi begini,” cerocos seorang gadis berambut ikal sebahu.

“Kamu ini seperti tidak kenal Mbak Agnes saja, Ser,” balas gadis lain berkerudung putih tulang.

“Aku tahu dia sering keluar, tapi biasanya tidak sepagi ini. Kayak orang lagi stres. Kamu merasa begitu tidak, Vi?”

Serra dan Vivian sudah cukup lama bekerja di butik milik Agnes. Mereka sudah hafal betul keseharian wanita lajang tersebut. Agnes hanya akan meninggalkan ruang kerjanya kalau dia sudah lelah bergelut dengan desain pakaian model terbarunya.

“Sudahlah. Tidak usah dipikirkan,” putus Vivian. “Mungkin Mbak Agnes sedang banyak masalah. Dia butuh refreshing. Tugas kita jaga butik.”

Serra sedikit mendengkus kesal. Bukan pada Agnes ataupun Vivian. Terbayang dalam benaknya seorang desainer lain yang bekerja untuk Agnes. Wanita angkuh itu akan bersikap seolah-olah dialah sang pemilik butik kalau Agnes tidak di tempat. Menyebalkan sekali!

***

Jalanan belum terlalu ramai. Toko-toko baru mulai menggeliat bangun. Beberapa petugas kebersihan masih sibuk mengepel lantai dengan tulisan ‘Tutup’ masih melekat pada pintu masuk atau jendela kaca. Baru sebagian kecil jajaran toko tersebut yang siap menerima pengunjung.

Taksi yang ditumpangi Agnes berhenti pada salah satu pusat perbelanjaan besar. Agnes pun melesat turun dan membayar ongkos.

Setelah mengucapkan terima kasih sebagai wujud penghargaan atas jasa si sopir taksi, Agnes berjalan santai memasuki mal tersebut.

Entah apa yang akan dibelinya, dia pun tidak tahu. Dia hanya menuruti kata hati untuk sekadar mencari hiburan.

Di tengah suasana mal yang masih agak sepi, kehadiran Agnes tampak mencolok dengan penampilan khas wanita kantoran. Ah, masa bodohlah! Agnes terus berjalan pelan, mengitari mal sepuas hati tanpa tujuan yang pasti.

Aktivitas pengunjung semakin ramai. Agnes sedikit menepi. Dia tidak suka berdesak-desakan atau tersenggol oleh orang-orang yang berlalu lalang.

“Copeeet! Tangkap lelaki itu!”

Terdengar teriakan lantang diiringi riuh suara langkah berlarian.

“Hei! Apa yang ka—”

“Ssst!”

Seorang lelaki muda memotong bentakan Agnes dengan menyilangkan jari telunjuk di bibirnya sendiri. Dia berjongkok di belakang Agnes, meminta perlindungan.

Beberapa lelaki dan seorang petugas keamanan celingukan di depan Agnes. Mencari-cari pencopet yang mereka buru.

Lelaki muda yang bersembunyi di belakang Agnes semakin merapat mundur sembari menarik helaian baju yang menggantung untuk menutupi diri.

Agnes balik badan dan bersedekap tangan, menatap tajam pada lelaki yang masih berusaha menyembunyikan wajah tanpa mengetahui bahwa para pemburu telah berlalu dari hadapannya.

“Kamu benar-benar pencopet, kan?”

Lelaki itu mendongak. Mulutnya ternganga. Matanya melotot. Dia tidak menyangka wanita cantik yang menjadi dewi penolongnya itu juga menganggap dirinya seorang pencopet.

“Bu–bukan! Aku tidak melakukan hal serendah itu,” sangkalnya sambil menggerakkan kedua tangannya dengan liar.

“Itu apa? Buktinya ada dompet di tanganmu.”

“Hah!”

Lelaki itu baru menyadari bahwa tangan kanannya masih memegang sebuah dompet wanita. Refleks dia membanting dompet tersebut ke sembarang arah.

“Hei! Apa yang akan kau lakukan?” tanya lelaki tersebut.

Wajahnya berubah panik ketika melihat Agnes merogoh kantong dan mengeluarkan ponsel. Siap untuk menelepon seseorang.

“Menurutmu apa yang akan aku lakukan?” tanya Agnes, melirik dingin. “Tentu saja aku akan menghubungi polisi.”

“Tunggu, Nona!”

Lelaki tersebut sontak bangkit dan menahan tangan Agnes. “Tolong … jangan lakukan itu! Aku benar-benar tidak mencopet.”

Agnes masih memasang wajah datar dan seringai dingin. “Cuih! Kamu pikir aku percaya?” sinisnya. “Bukti nyata sudah jelas di depan mata.”

Lelaki itu membuang pandang pada dompet yang masih tergeletak di lantai mal. “A–aku juga tidak tahu mengapa dompet itu bisa ada di tanganku.”

“Jangan banyak alasan! Ayo ikut aku!” Agnes mendengkus dan menarik kerah baju lelaki tersebut setelah menyambar bukti tindak kriminal yang ada di dekatnya.

“Tidak! Aku tidak mau! Aku tidak bersalah!”

“Nanti saja kamu buktikan di kantor polisi.”

“Apa?!”

Lelaki tersebut menghentikan langkah. Mendengar kantor polisi membuat bulu kuduknya merinding. Dia pun menangkupkan kedua tangan di depan dada. Sorot matanya memelas.

“Kumohon … percayalah padaku! Bukan aku pelakunya.”

Agnes masih bergeming dan semakin mempererat cengkeramannya pada kerah baju lelaki tersebut.

“Kamu bisa menjelaskannya kelak.”

***

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Comments

10
100%(27)
9
0%(0)
8
0%(0)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
10 / 10.0
27 ratings · 27 reviews
Write a review
default avatar
Chan
berjuang arti sebuah perbedaan
2022-03-18 20:41:18
0
user avatar
WarmIceBoy
semangat dan terus berkarya yaa
2021-08-23 09:21:27
0
user avatar
@Fatamorgana16
lanjuttt kakk
2021-07-25 10:31:48
1
user avatar
Kingvillage
semangat kak, aku suka pemeran utamanya yg tangguh
2021-07-16 19:44:58
1
user avatar
LiEunSaVaLove
aku greget sama yg kedua :)
2021-07-14 19:20:58
1
user avatar
Intn
Bagus ceritanya, bikin baper
2021-07-11 20:39:11
1
user avatar
Intn
Jadi istri kedua dong😂
2021-07-11 20:38:58
0
user avatar
WarmIceBoy
Sepertinya menarik :)
2021-07-09 21:59:34
0
user avatar
Sinokmput
Penasaran sama rahasia apa yang disimpan Aksa sama Ainun. Btw namanya Aksa, kayak novelku kak 😂😍.. Semangat akak, ditunggu crazy upnya.
2021-06-30 19:39:33
1
user avatar
prank_kuy
selalu syukaaa ceritanya....
2021-06-25 21:11:41
1
user avatar
Fikri Mahmud
ceritanya keren abis, menarik. kutunggu lanjutannya
2021-06-19 14:12:32
1
user avatar
Knight
Manteep! Karakter ceweknya selalu tangguh. Khas author nih 👍
2021-06-18 21:34:18
1
user avatar
Ray
Ceritanya menarik, seru dan unik. Semangat thooor!
2021-06-18 21:07:46
1
user avatar
Lolitta
Ditunggu bab selanjutnya kak, gak sabar baca kisah srlanjutnya 👩‍💻
2021-06-17 19:55:27
1
user avatar
WarmIceBoy
Aku enggak sabar ingin tau endingnya. Segera tamatkan, kak.
2021-06-17 19:51:31
1
  • 1
  • 2
82 Chapters
1. Insiden
Menggelikan sekali! Mengapa orang-orang selalu heboh mempergunjingkan dan mencibiri seorang wanita hanya karena dia belum menikah di saat usia sudah menginjak kepala tiga? Agnes tak percaya bagaimana dia masih bisa bertahan hidup di lingkungan dengan pemikiran yang superkolot itu. Ah ya! Tentu saja karena dia tidak pernah memedulikan semua itu. Persetan dengan semua anggapan orang. Toh hidup bukan untuk menyenangkan setiap orang yang ditemuinya, melainkan untuk membahagiakan diri sendiri. “Sampai kapan kamu mau terus sendiri, Nes?” Agnes menghentikan langkah dan menghela napas panjang. Selalu pertanyaan yang sama setiap kali dia akan berangkat kerja. Kebiasaan rutin Ranty. “Sampai Allah mengirimkan jodoh yang tepat, Ma.” Agnes melingkarkan lengannya, memeluk sang mama dari belakang. Wanita paruh baya itu masih saja bergelut dengan kebiasaannya. Duduk di atas kursi roda sembari menatap bentangan cakrawala dari balik jendela ruang tengah. Sebuah kecupan sayang dari bibir merah Agn
last updateLast Updated : 2021-06-05
Read more
2. Kebohongan Kecil
“Nona, dengarkan aku!” Lelaki itu berkata dengan sungguh-sungguh. Wajahnya yang semula memelas, kini berubah serius. Dia memutar tubuh, tepat berhadapan dengan Agnes. Kerah bajunya masih melekat erat pada tangan wanita tak dikenalnya itu. Agnes sedikit bergidik ketika tatapannya bersirobok dengan netra gelap lelaki di depannya. Pandangan dalam itu seperti akan menyedotnya ke dalam pusaran resah dan marah. “Aku tidak punya waktu untuk mendengarkanmu.” Agnes memalingkan muka dan kembali mengayun langkah sambil menyeret lelaki asing itu. “Nona … baiklah … kalau kau tetap bersikukuh dengan keyakinanmu dan tidak percaya padaku. Terserah kau saja,” lirih lelaki tersebut. “Tapi … tolong … jangan serahkan aku ke kantor polisi. Ada wanita dan anak kecil yang harus kunafkahi.” “Itu masalahmu,” timpal Agnes tak acuh. “Kenapa kamu tidak memikirkan akibatnya sebelum berbuat?” Jawaban Agnes membuat lelaki tersebut merasa panas hati. Dia mencekal tangan Agnes yang menguasai kerah bajunya. Namu
last updateLast Updated : 2021-06-06
Read more
3. Menggali Kuburan Sendiri
“Kita mau ke mana, Nona?” Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama. Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung. “Nona Agnes!” Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras. “Hah! Apa?” Agnes gelagapan. “Ke mana sekarang?” “Tentu saja ke kantorku.” “Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.” Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi. “Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.” “Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.” “Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu k
last updateLast Updated : 2021-06-06
Read more
4. Tertangkap Basah
“Papa!” Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa. “Halo, Sayang!” Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya. Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an. “Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya. “Kyra sama mama lagi, ya ....” Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa. Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan. “Kopinya, Mas.” Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya. Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya suda
last updateLast Updated : 2021-06-06
Read more
5. Utang Budi
Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak. “Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?” Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya. Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut. 'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik. “Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!” “Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….” Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia
last updateLast Updated : 2021-06-07
Read more
6. Lorong Gelap
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
last updateLast Updated : 2021-06-28
Read more
7. Siasat Licik
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
last updateLast Updated : 2021-06-28
Read more
8. Sebuah Paket Kejutan
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
last updateLast Updated : 2021-06-28
Read more
9. Persepsi Yang Berbeda
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
last updateLast Updated : 2021-06-28
Read more
10. Bukan Anak Kemarin Sore
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
last updateLast Updated : 2021-06-28
Read more
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status