Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik.
Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah.
Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding.
“Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka.
Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya.
“Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan.
Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia sudah lama menantikan pertemuan kembalinya dengan Agnes.
***
Agnes membasuh muka dengan air yang mengalir dari keran wastafel. Mencoba mendinginkan ketegangan yang membuat detak jantungnya berpacu cepat bak genderang perang.
Sial! Kenapa dia harus bertemu lagi dengan Nevan? Lelaki yang sudah dianggapnya mati dan satu-satunya orang yang tidak pernah ingin ditemuinya lagi.
Kalau saja dia tahu bahwa pimpinan perusahaan yang membutuhkan jasanya itu akan berganti di tengah jalan dengan sosok Nevan, dia tidak akan pernah mau menandatangani kerja sama itu. Persetan dengan segala prestise yang berpotensi akan melambungkan namanya semakin tinggi.
Dia tidak butuh semua ketenaran tersebut. Dia hanya ingin hidup tenang tanpa dihantui bayang-bayang Nevan. Lelaki gila yang selalu terobsesi untuk menaklukkan semua wanita cantik incarannya.
Beruntung dia mendapatkan informasi pergantian pimpinan tersebut sehari sebelum jadwal pertemuan yang sudah ditentukan. Karena itulah dia berinisiatif untuk membawa serta Aksa masuk bersamanya. Apesnya, lelaki itu malah menghilang tanpa pamit.
'Ke mana Aksa? Dia tidak mungkin turun lagi dan menunggu di parkiran, kan?'
Agnes menatap pantulan wajahnya di dalam cermin dengan kening berkerut. Disekanya sisa-sisa bulir bening pada wajahnya dengan sehelai sapu tangan.
Tekad Agnes untuk menikahi Aksa menjadi semakin kuat. Dia membutuhkan lelaki itu untuk terus mendampinginya selama menyelesaikan proses kerja sama dengan Nevan. Dengan begitu, Nevan tidak akan memiliki kesempatan yang leluasa untuk mendekatinya.
“Aksa?”
“Mbak Agnes?”
Agnes dan Aksa sama-sama terperanjat ketika mereka keluar dari pintu toilet yang berbeda secara bersamaan.
Mata Agnes sedikit menyipit tatkala Aksa kembali berlari masuk ke dalam toilet sembari memegangi perutnya. Ada yang tidak beres dengan saluran cerna lelaki tersebut.
'Nevan! Dia masih saja menghalalkan segala cara untuk menuntaskan misinya!' geram Agnes sambil mengepalkan tinju.
Pasti lelaki licik tersebut sudah memerintahkan bawahannya untuk memasukkan sesuatu ke dalam minuman Aksa.
Di dalam ruangannya, kepalan tinju Nevan menghantam meja kerjanya dengan sangat keras. Menghasilkan gelegar bak halilintar di siang bolong. Nevan mengabaikan rasa sakit pada tangannya. Giginya mengerit erat. Tatapan elangnya seakan menembus pintu ruang kerjanya.
Telepon yang menyatakan bahwa Agnes pamit pulang tanpa menemuinya lagi sungguh membuatnya murka. Hanya gara-gara lelaki bernama Aksa itu kurang enak badan, Agnes sampai rela meninggalkan dirinya dan menolak untuk menunggu kemunculan para model yang sudah dihubunginya.
'Kita lihat saja sampai seberapa jauh kau bisa terus menghindariku, Agnes!' kecam Nevan dalam hati.
Darahnya benar-benar mendidih. Agnes adalah satu-satunya wanita yang tidak pernah berhasil disentuhnya. Wanita tersebut selalu menolak ungkapan perasaannya dan terus menjaga jarak darinya.
Beberapa tahun yang lalu, dia telah kehilangan kesempatan untuk memburu cinta Agnes lantaran dia tidak punya kuasa untuk menolak keinginan orang tuanya yang bersikeras mengirimnya ke luar negeri. Akan tetapi, sekarang dia sudah kembali. Dia tidak akan pernah melepaskan Agnes begitu saja.
Wanita tersebut telah membuatnya terlihat seperti seorang pecundang. Di saat wanita lain akan menyerahkan diri dengan begitu mudah kepadanya, Agnes selalu saja jual mahal. Jangankan menerima ajakannya makan malam dan sebagainya, bertemu pun gadis itu bermuka dingin.
Berpikir bahwa sekarang dia memiliki peluang besar untuk mendekati Agnes, seringai licik kembali terbit di wajah Nevan. Sejuta rencana silih berganti menyesaki benaknya.
***
“Kamu yakin tidak mau ke rumah sakit?” tanya Agnes.
Dilihatnya wajah Aksa bertambah pucat akibat terlalu banyak membuang cairan dari dalam tubuhnya.
“Tidak usah, Mbak,” tolak Aksa. “Aku hanya butuh istirahat.”
Agnes bungkam. Dia tidak ingin memaksa bila Aksa memang tidak mau. Sekelumit rasa iba menyeruak di dalam hatinya kala diliriknya Aksa duduk terkulai lemah di sampingnya.
“Maaf ya, Mbak,” lirih Aksa. “Gara-gara sakit perut sialan ini, jadi Mbak yang bawa mobil sendiri.”
Hati Agnes mencelus ke dalam pusaran rasa bersalah. Secara tidak langsung, dia yang telah menjadi penyebab penderitaan Aksa saat ini.
“Tidak usah banyak bicara, istirahat saja!”
Agnes memperlambat laju mobilnya dan berhenti di depan sebuah apotek. Saat dia kembali ke mobil, tangannya menenteng kantong keresek kecil berisi obat-obatan.
Sekilas dia mengerling pada Aksa. Sopirnya itu tengah meringis menahan sakit seraya memejamkan mata. Dia pun mempercepat laju kendaraannya agar segera tiba di butiknya.
“Ser, tolong siapkan makanan dan minuman hangat untuk Aksa ya!” titah Agnes pada Serra.
Dia memapah tubuh lunglai Aksa ke dalam butik dan langsung membawanya naik ke lantai dua.
“Iya, Mbak.”
Serra melesat ke dapur kecil yang disediakan Agnes di bagian belakang lantai dasar butik tersebut.
Agnes terus menuntun Aksa menuju sebuah ruangan khusus. “Kamu istirahat dulu di sini!” kata Agnes.
Dibaringkannya tubuh benyai Aksa di atas ranjang kecil yang selama ini tidak pernah dimasuki siapa pun, kecuali dirinya sendiri.
Bagaimanapun, dia harus bertanggung jawab penuh atas penanggungan Aksa. Kalau dia tidak memaksa lelaki itu untuk menemaninya menemui Nevan, Aksa pasti masih baik-baik saja.
Nevan benar-benar keterlaluan. Tega-teganya dia mencelakai Aksa dengan menaruh sesuatu di dalam minumannya sehingga lelaki itu mengidap diare sampai terlihat dehidrasi, akibat terlalu banyak kehilangan cairan tubuh.
Sebuah ketukan pada daun pintu mengalihkan perhatian Agnes dari memandangi wajah pias Aksa. Segera dia bangkit dan menyambut nampan berisi hidangan lezat untuk Aksa.
Diletakkannya baki tersebut di atas nakas, di samping tempat tidur. Bibir Aksa tampak kering dan tak berdarah. Agnes menarik napas lega ketika Aksa kembali membuka mata.
Pandangan Aksa berkunang-kunang, tetapi dia tahu saat ini Agnes masih bersamanya. Aksa ingin duduk. Namun, dia tidak punya cukup tenaga untuk mengangkat badan walaupun hanya sekadar menegakkan kepala.
Melihat Aksa berjuang untuk bangkit, cepat-cepat Agnes membantunya. Ditumpuknya dua bantal agar Aksa bisa bersandar.
“Sebaiknya kamu makan dulu!”
Agnes meraih mangkuk berisi bubur kacang hijau dari atas nampan. Serra memang bisa diandalkan. Anak itu tahu pasti apa yang dibutuhkan oleh tubuh seseorang yang sedang lemah.
Sesaat Aksa menatap Agnes dengan pandangan yang sulit dipahami. Rasa hatinya campur aduk. Segan dan malu menyatu dalam bisu. Dia hanya mampu menuruti permintaan Agnes untuk membuka mulut begitu sesendok bubur sudah siap untuk mendarat di dalam rongga mulutnya.
Setelah tumbuh dewasa, Aksa tidak pernah disuapi oleh seorang perempuan. Bahkan, Ainun yang sudah tinggal serumah dengannya selama bertahun-tahun pun tidak pernah melakukan hal itu. Dia selalu menolak perlakuan lembut Ainun ketika dia sakit.
Anehnya, kenapa dia tidak bisa menepis pelayanan Agnes? Apa dia begitu takut untuk menolak kebaikan bos cantiknya itu atau ada hal lain yang tidak dia sadari? Entahlah. Aksa hanya merasa utang budinya semakin besar kepada Agnes.
“Ah, biar aku minum sendiri!”
Aksa menyambar butiran obat yang dipegang Agnes ketika wanita itu bermaksud ingin memasukkan obat tersebut ke dalam mulutnya.
Gerakan spontan tersebut tanpa sengaja menyebabkan kulit mereka saling bersentuhan. Keduanya pun terpaku dalam keterkejutan.
***
Hai sobat readers, Mohon dukungan juga untuk karya Iffah lainnya ya. Iffah tunggu kehadiran sobat readers di My Obsessive Ex, Lelaki yang Terbuang. Keduanya udah tamat lho. Ada juga cerita terbaru Iffah dgn judul Lelaki Dua Wajah.
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai
Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh
Ainun melangkah gontai menuju kamar tidur Kyra. Dibukanya pintu secara perlahan. Pemandangan Aksa mendekap hangat tubuh Kyra yang sudah tertidur lelap langsung terekam jelas dalam retina matanya. Sudut bibirnya spontan melengkung naik, membentuk seulas senyuman. Ada kehangatan yang menjalari hatinya saat mendapati betapa besar kasih sayang Aksa untuk Kyra. Lelaki itu benar-benar bertindak sebagai seorang ayah yang menjadi kekasih pertama bagi putrinya. Seiring pendar rembulan yang kian memudar di luar sana, senyuman Ainun pun turut sirna ditelan resah. Apa yang salah dengan dirinya hingga lelaki itu tidak pernah lagi tertarik untuk menyentuhnya? Seminggu setelah pernikahan mereka, Aksa pamit untuk berangkat ke luar kota sehubungan dengan pekerjaannya. Janjinya hanya dua hari, tetapi ternyata suaminya itu pulang terlambat. Sebenarnya Ainun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat Aksa kembali pulang saja dia sudah sangat lega setelah sempat dirundung gelisah. Hanya saja, dia tid
Pagi ini cuaca lebih dingin dari biasanya. Namun, dinginnya hati Ainun yang dipagut sunyi jauh lebih membekukan aliran darah daripada tebalnya gumpalan halimun yang menyelimuti puncak gunung. Sepintas lalu tidak ada yang salah dalam rumah tangga mereka bila dilihat oleh orang luar. Mereka tak pernah bertengkar. Selalu rukun dan damai. Aksa sangat bertanggung jawab terhadap segala kebutuhan keluarga secara finansial. Kalau saja Aksa memenuhi kebutuhan nafkah batinnya sebagai seorang wanita, sungguh Ainun merasa hidupnya benar-benar sempurna. Hidup dalam kesederhanaan, tetapi cukup dan penuh dengan kasih sayang, akan lebih membahagiakan daripada tinggal di sebuah mahligai indah dan bergelimang harta. Namun, selalu diwarnai dengan pertengkaran serta sikap saling curiga. Akankah mimpi itu mewujud di dunia nyata? Ainun melayangkan pandang pada sosok Aksa yang sedang menikmati sarapan pagi, sepiring nasi goreng dan secangkir kopi. Tatapan teduhnya terpaku pada wajah tampan Aksa. Suaminya
Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A
Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser
“Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg
Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me
“Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks
Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu
Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb
Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d
“Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man