Share

6. Lorong Gelap

Author: Lathifah Nur
last update Last Updated: 2021-06-28 19:50:21

“Aaargh!”

Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping.

Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang?

Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam.

Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin.

'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah.

Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanita itu malah meminta dirinya untuk menikahinya. Apa sekarang zaman benar-benar sudah semakin edan sampai-sampai enau memanjat sigai?

Bagaimana bisa seorang wanita secantik dan sesukses Agnes terlihat begitu putus asa dan menginginkan pria yang baru dikenalnya untuk menjadi suaminya? Jelas-jelas Agnes sudah tahu bahwa dia memiliki keluarga. Lalu, dari mana ide konyol itu muncul?

“Kamu tidak harus menjawabnya sekarang,” kata Agnes. “Pertimbangkan saja dulu! Lagi pula, aku tidak akan menuntut waktumu untuk bersamaku selain dari jam kerja.”

“Tapi, Mbak—”

Kibasan tangan Agnes memotong sanggahan Aksa. “Aku tidak mau mendengar penolakanmu sekarang,” lirih Agnes. “Ini akan menjadi simbiosis mutualisme untuk kita. Utangmu lunas dan kamu tetap mendapatkan gaji secara utuh.”

“Lalu, Mbak dapat apa?” Aksa merasa hanya dia yang diuntungkan di sini.

“Aku?” Agnes melirik serius pada Aksa. Aksa mengangguk.

“Aku akan terbebas dari rongrongan mamaku.” Agnes melempar pandang ke luar jendela. Ada kabut tipis yang menutupi bola mata indahnya. “Syukur-syukur pernikahan ini juga akan mengunci mulut para tetangga.”

Agnes membuang napas resah. Dia sudah sangat lelah dengan semua cibiran dan tatapan mengejek yang dilayangkan ibu-ibu usil dan bermulut ember tersebut. Ibu-ibu yang senantiasa memanfaatkan momen berkumpul mereka untuk bergosip dan mengorek aib orang lain. Apa mereka tidak takut dosa? Atau mereka memang sangat ingin memakan daging busuk di neraka nanti? Entahlah.

Aksa menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Asap tipis mengepul dari mulutnya begitu udara hangat yang dia keluarkan berbenturan dengan dinginnya cuaca malam. Di bentang cakrawala, rembulan kembali menampakkan rupa dengan pendar emasnya yang melingkar indah.

Setiap dialog yang terjadi antara dirinya dan Agnes tadi siang terus berputar seperti rekaman video pembelajaran yang selalu ditayangkan ulang agar dia benar-benar paham.

Dari balik jendela kamarnya, Ainun menyaksikan semua kegelisahan Aksa dengan air mata jatuh menitik. Dia tidak tahu kenapa dia menangis. Mungkin itu bukti valid dari ketajaman intuisi seorang wanita.

***

“Aku tidak pernah memintamu untuk tetap menunggu di mobil.”

Agnes berkata serius dengan tatapan setajam belati kepada Aksa. Lelaki itu masih belum menunjukkan tanda-tanda akan segera turun dari mobil.

“Di sini lebih nyaman, Mbak.” Aksa menyahut enteng.

Tidak ada alasan baginya untuk mengikuti ke mana pun Agnes pergi. Dia sopir, bukan pengawal pribadi. Lagi pula, kerja sama yang akan dijalani Agnes tidak ada kaitan sama sekali dengan dirinya. Dia tidak terlibat sedikit pun.

“Ikut aku!” Agnes balik badan dan langsung melangkah pergi.

Aksa bengong, menatap punggung Agnes yang semakin menjauh. Hatinya bimbang. Benarkah dia perlu mendampingi Agnes?

“Tunggu apa lagi?!”

“Oh … i–iya, Mbak.”

Buru-buru Aksa memutus kebingungannya dan berjalan cepat, menyusul Agnes yang menunggunya dengan raut muka sedingin es.

Meskipun tidak mengerti dengan kelakuan Agnes, Aksa tidak berani menguntai tanya. Apalah daya, dia tidak lebih dari sekadar seorang pekerja. Sudah lumrah bagi bawahan untuk bersikap patuh kepada atasan kalau tidak ingin didepak dari kedudukannya.

Seorang petugas resepsionis menyambut ramah kehadiran Agnes.

“Nona Agnes Fan?”

Pertanyaan konfirmasi tersebut disambut Agnes dengan anggukan kepala. Tak lupa dia juga membalas senyuman hangat sang resepsionis cantik. Dengan sudut matanya, Agnes sempat membaca nama ‘Rara’ tertera pada dada gadis muda tersebut.

“Mari, Nona!” ajak Rara. “Tuan Nevan sudah menunggu Anda.”

Agnes melangkah anggun di samping Rara. Begitu pula dengan Aksa. Dia tidak berani menarik diri setelah menerima lirikan tajam dari Agnes.

“Silakan, Nona!”

Rara memberi kode dengan jari agar Agnes masuk sendiri ke ruangan Nevan. Kewajibannya hanya mengantar sampai ke depan pintu ruang kerja bos besarnya itu. Selanjutnya, dia tidak perlu tahu.

“Terima kasih,” ujar Agnes.

Dia mengetuk pintu yang berdiri kokoh di depannya sebanyak tiga kali. Ketukan tersebut menghasilkan irama yang khas dan bernada tegas.

“Masuk!”

Terdengar teriakan dari dalam. Agnes pun tidak membuang waktu. Didorongnya daun pintu secara perlahan. Suara entakan sepatu bertumit tinggi segera bergema di dalam ruangan tertutup itu.

“Ah, Nona Agnes!” sambut Nevan.

Senyuman riang terukir indah di bibirnya ketika menyadari kedatangan wanita yang sudah ditunggunya sedari tadi. Refleks dia meninggalkan singgasana kebesarannya untuk menyongsong Agnes.

“Sepertinya kedatanganku sedikit mengganggu,” komentar Agnes.

Mata jelinya mengamati tumpukan berkas yang berserakan di atas meja kerja Nevan.

“Apa yang kau bicarakan?” kekeh Nevan. “Kau tidak menggangguku sama sekali. Ayo duduk!”

Agnes mengenyakkan pantat di atas sofa yang tersedia di sisi kiri meja kerja Nevan.

“Wah, aku baru tahu Anda mempekerjakan seorang asisten sekarang,” kelakar Nevan setelah melihat Aksa ikut duduk tidak jauh dari Agnes.

“Dia Aksa,” sahut Agnes, memperkenalkan Aksa kepada Nevan.

“Nevan.”

Nevan memperkenalkan diri ketika Aksa mengulurkan tangan kepadanya. Tak sedikit pun kesombongan membias di wajahnya, tetapi kilat tak suka berkelebat pada sinar matanya.

“Jadi, kapan aku bisa bertemu dengan para model itu?” tanya Agnes pada Nevan.

“Santai saja, Nona. Tidak perlu terburu-buru.”

“Anda tahu? Aku akan kehilangan banyak hal jika terbiasa menunda.”

“Benar sekali! Aku tidak salah telah memilih Anda sebagai partner,” komentar Nevan. “Tapi … aku lebih tertarik untuk melihat rancangan Anda terlebih dulu.”

Agnes mengeluarkan sebuah buku desain dari dalam tas kerjanya dan menyerahkan buku tersebut kepada Nevan.

“Kalau ada detail yang perlu diubah, katakan saja! Aku akan memperbaikinya.”

Tatapan Nevan menyapu bersih setiap detail yang tergores halus pada rancangan gaun-gaun wewah yang dihasilkan Agnes. Sesekali dia mendecak sembari menggeleng pelan dengan sudut bibir sedikit naik, membentuk senyuman puas.

“Aku kehabisan kata,” pungkas Nevan setelah menutup kembali buku desain milik Agnes.

Ditaruhnya buku tersebut di atas meja. Sorot matanya tak mampu menyembunyikan bias kekaguman pada sosok wanita cantik yang duduk di depannya itu.

“Terima kasih. Itu artinya tidak ada yang perlu diubah, bukan?”

Agnes bertanya untuk memastikan kebenaran kesimpulannya atas sikap Nevan terhadap hasil karyanya.

“Itu sudah sangat sempurna,” tegas Nevan. “Aku yakin kerja sama ini akan mendatangkan keuntungan yang sangat besar.”

Agnes hanya tersenyum tipis mendengar keyakinan Nevan. “Hanya kalau aku punya cukup waktu untuk mengerjakannya setelah mengukur para model.”

Nevan menyipitkan mata. Dia merasa Agnes sangat kaku dan terkesan ingin menghindari pertemuan dengannya.

“Haha … tidak perlu tergesa-gesa, Nona Agnes,” tukasnya. “Anda masih punya banyak waktu untuk melakukan semua itu.”

Agnes melayangkan tatapan dingin pada Nevan. Dia jengah setiap kali berhadapan dengan para pebisnis muda. Begitu pula berurusan dengan Nevan. Isi kepala lelaki itu tidak hanya seputar kerja sama. Dasar lelaki! Apa tidak bisa sehari saja berhenti mencari celah untuk menggoda wanita?

“Anda tahu? Desain yang sudah kubuat itu tidak bisa menggunakan bahan sembarangan,” jelas Agnes. “Butuh waktu untuk memilih dan menemukan dasar yang sesuai. Bukan hanya karena soal harga, tetapi juga sehubungan dengan ketersediaan stok bahan. Tidak mudah untuk mendapatkan semua bahan yang dibutuhkan.”

Wajah santai Nevan kini berubah serius. Dia seperti baru saja tersadar dari sebuah lamunan panjang.

'Sial! Kenapa aku lupa?'

Nevan memaki dirinya sendiri dalam hati. Bisa-bisanya dia lupa bahwa Agnes memang seorang desainer yang selalu mempersembahkan gaun-gaun spesial dengan bahan kualitas terbaik dan sulit didapat.

Seorang Agnes akan lebih memilih untuk menunda atau bahkan membatalkan jadwal peluncuran karya terbarunya bila tidak berhasil menemukan bahan yang sesuai dengan gaun rancangannya.

“Baiklah, Nona,” ujar Nevan. “Tunggu sebentar!”

Nevan kembali ke meja kerjanya dan menghubungi seseorang.

“Aks—”

Panggilan Agnes terhenti. Tubuhnya seketika membatu. Aksa tidak lagi berada di tempat semula. Ke mana dia?

***

Related chapters

  • Istri Sebatas Status   7. Siasat Licik

    Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s

    Last Updated : 2021-06-28
  • Istri Sebatas Status   8. Sebuah Paket Kejutan

    “Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk

    Last Updated : 2021-06-28
  • Istri Sebatas Status   9. Persepsi Yang Berbeda

    Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir

    Last Updated : 2021-06-28
  • Istri Sebatas Status   10. Bukan Anak Kemarin Sore

    “Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi

    Last Updated : 2021-06-28
  • Istri Sebatas Status   11. Wanita yang Sangat Menarik

    Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur

    Last Updated : 2021-07-13
  • Istri Sebatas Status   12. Stempel Kepemilikan

    Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai

    Last Updated : 2021-07-14
  • Istri Sebatas Status   13. Pesta Kecil

    Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh

    Last Updated : 2021-07-15
  • Istri Sebatas Status   14. Kelindan Tanya Dalam Resah

    Ainun melangkah gontai menuju kamar tidur Kyra. Dibukanya pintu secara perlahan. Pemandangan Aksa mendekap hangat tubuh Kyra yang sudah tertidur lelap langsung terekam jelas dalam retina matanya. Sudut bibirnya spontan melengkung naik, membentuk seulas senyuman. Ada kehangatan yang menjalari hatinya saat mendapati betapa besar kasih sayang Aksa untuk Kyra. Lelaki itu benar-benar bertindak sebagai seorang ayah yang menjadi kekasih pertama bagi putrinya. Seiring pendar rembulan yang kian memudar di luar sana, senyuman Ainun pun turut sirna ditelan resah. Apa yang salah dengan dirinya hingga lelaki itu tidak pernah lagi tertarik untuk menyentuhnya? Seminggu setelah pernikahan mereka, Aksa pamit untuk berangkat ke luar kota sehubungan dengan pekerjaannya. Janjinya hanya dua hari, tetapi ternyata suaminya itu pulang terlambat. Sebenarnya Ainun tidak mempermasalahkan hal tersebut. Melihat Aksa kembali pulang saja dia sudah sangat lega setelah sempat dirundung gelisah. Hanya saja, dia tid

    Last Updated : 2021-07-16

Latest chapter

  • Istri Sebatas Status   82. Sentilan Langit

    Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A

  • Istri Sebatas Status   81. Menepuk Lalat

    Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser

  • Istri Sebatas Status   80. Pulang

    “Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg

  • Istri Sebatas Status   79. Mengesampingkan Ego

    Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me

  • Istri Sebatas Status   78. Enggan

    “Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks

  • Istri Sebatas Status   77. Lara

    Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu

  • Istri Sebatas Status   76. Tutup Mulutmu!

    Melangkah mundur dengan kaki gemetar, muka Nevan memucat seperti kain kafan. Pantatnya kini telah membentur bagian belakang mobilnya. Ke mana dia harus lari sekarang? Nevan bergeser ke kiri. Dia harus bisa menemukan celah untuk berbalik dan masuk ke dalam mobilnya. Dia tidak mau mati konyol di tangan Aksa. “Kupikir kau tak akan muncul lagi di hadapan istriku karena kau sudah belajar dari kesalahanmu,” ejek Aksa dengan seringai menakutkan. “Ternyata kau bertindak terlalu bodoh. Kali ini aku akan memberimu pelajaran yang lebih keras.” Sebuah mobil melintas dan berhenti di dekat Aksa. “Papa!” Krya berteriak dari jendela dengan kaca yang sudah diturunkan. Nevan memanfaatkan kesempatan itu untuk melarikan diri. Namun, teringat gadis kecil itu memanggil papa pada Aksa, langkahnya terhenti. Seringai licik terbit di wajahnya. Dia belum kalah. Krya turun dari mobil dan berlari ke pelukan Aksa yang sudah berjongkok untuk menyambutnya. Ainun mengiring di belakangnya. Seringai Nevan makin leb

  • Istri Sebatas Status   75. Hidupku Bukan Urusanmu!

    Sepasang kaki terbalut celana berwarna navy menjulur dari dalam mobil, diikuti keseluruhan tubuh sang pemilik kaki. Nevan berjalan ke belakang mobilnya dengan dada membusung. Dia melendehkan pantat pada bagian belakang mobil itu dengan bersilang kaki. Sebelah tangannya bersembunyi di dalam saku celana. Sudut bibir Nevan mencebik sinis kepada Aksa. Seringai mengejek pun menggenapi tatapan penuh kebencian yang membidik tepat ke netra gelap Aksa. “Sebaiknya kau menjauh dari sana, Agnes Fan!” sarannya dalam nada perintah. “Kemarilah dan masuk ke mobilku!” Darah Aksa mendidih mendengar anjuran dan perintah Nevan kepada Agnes. Lelaki itu terkesan sengaja menganggapnya sebagai patung batu. Kedua tangan Aksa terkepal erat membentuk tinju. “Apa hakmu memerintah istriku?” Nevan mengungkai kakinya dan tegak lurus. Dia maju selangkah. Berpaling pada Agnes seolah-olah pertanyaan Aksa hanya embusan angin lalu. “Lelaki seperti itu tidak pantas menjadi suamimu,” tegasnya. “Kau desainer ternama d

  • Istri Sebatas Status   74. Kapan Buat Adik?

    “Sayang … itu kan Papa Aksa,” jelas Ainun. “Papa yang selama ini bersama kita.” Mata Kyra berpaling pada Gugun dengan tatapan penuh tanya, 'Kalau itu Papa Aksa, lalu yang ini siapa?' “Nah, yang ini ….” Ainun menepuk pelan lengan atas Gugun, “Papa Gugun. Papa kandung Kyra yang selama ini bekerja jauuuh banget.” Gugun mengelus lembut rambut Kyra. “Iya, Sayang … selama papa pergi, Papa Aksa yang menjaga Kyra sama mama,” jelasnya. “Benarkah?” Senyuman dan anggukan kepala dari empat orang dewasa yang duduk semeja dengannya menghalau ketakutan Kyra. Dia melompat turun dari bangku. “Yeaaay! Aku punya dua papa!” serunya dengan wajah berbinar cerah, berlari mengelilingi meja untuk menghampiri Aksa. Aksa segera mengangkat tubuh mungil Kyra untuk duduk di pangkuannya. Dia terkekeh geli ketika Kyra menyerangnya dengan kecupan bertubi-tubi, nyaris memenuhi seluruh permukaan wajahnya. Setelah puas melepas rindu pada Aksa, mata bening Kyra beralih pada Agnes. “Tante Cantik … apa aku boleh man

DMCA.com Protection Status