Elia membaca dengan cermat laporan singkat pemeriksaan perawat dan dokter, matanya berkaca-kaca. Ingatannya kembali pada hari di mana ia mendapat telepon dari Rossa yang mengabarkan bahwa ayahnya sedang dirawat karena serangan jantung.
“El,” panggil Rafi membuyarkan lamunan gadis itu.
“Hmm?” Elia mendongak sambil mengusap matanya yang basah.
“Kamu baik-baik saja, El?”
Air mata Elia luruh. “Jadi, ayahku DOA (Death on Arrival), Raf? Dia tidak sempat mendapatkan pertolongan? Dia meninggal dalam perjalanan?” cecar Elia sambil terisak.
Rafi memegang bahu Elia agar gadis itu tenang. “Menurut perawat yang bertugas hari itu, ayahmu datang dalam kondisi cardiac arrest (henti jantung). Sudah dilakukan pertolongan pertama, tapi jantungnya tidak merespon. Kesimpulan dokter jaga DOA karena akralnya masih hangat.”
Pernyataan Rafi membuat Elia tergugu. Pasalnya, semua itu berbeda dengan apa yang Yulia ceritakan padanya.
‘Ayah bukan tipe pasien yang tidak patuh. Apa yang membuatnya tiba-tiba mengalami serangan jantung? Pasti ada sesuatu yang terjadi di rumah.’ Elia membatin.
“El, Elia?” tegur Rafi lagi.
Elia menggeleng. “Ehh. Terima kasih banyak atas bantuannya.” Elia turun dari ranjang dan menyerahkan buku besar pada Rafi. “Aku pamit.”
“El!” panggil Rafi menghentikan langkah Elia, gadis itu berbalik menatap Rafi. “Kalau kamu butuh teman bicara, kamu bisa hubungi aku kapan saja.”
“Makasih,” ucap Elia singkat diiring senyum ramah sebelum akhirnya berbalik lagi dan pergi.
***
Dalam perjalanan pulang, Elia tidak hentinya memikirkan kejanggalan cerita Yulia dan fakta yang ditemukannya di rumah sakit. Instingnya meyakini ada sesuatu yang membuat cerita itu rumpang. Elia membelokkan skuternya di sebuah swalayan. Ia berniat membeli sebotol air mineral dingin untuk menyegarkan otaknya. Saat memarkir motor, dilihatnya Yulia keluar dari pintu swalayan melalui kaca spion.
“Dasar pembohong!” geram Elia seraya menaikkan lagi standar motornya. “Ayo kita selesaikan hari ini juga!” ujarnya sambil melajukan motornya mengejar mobil Yulia.
Hampir setengah jam lamanya Elia membuntuti sedan putih di depannya, hingga mobil itu berhenti di halaman parkir sebuah apartemen. Elia berhenti di kejauhan agar Yulia tidak menyadari kehadirannya.
“Ngapain dia kemari?” gumam Elia penasaran. Dilepasnya helm hitam bermerk sama dengan motornya, digantungnya asal di spion.
Matanya memicing mencermati sosok pria yang turun bersama Yulia dan menggandeng mesra tangan perempuan itu. Penasaran, Elia putuskan untuk terus mengikuti Yulia. Di depan pintu lift yang masih tertutup, Yulia dan teman prianya semakin menempel mesra seolah tidak bisa dipisahkan. Spontan, ia mendapatkan ide gila untuk mengacau.
Namun, langkahnya terhenti manakala si pria mengarahkan wajahnya ke samping untuk mendaratkan sebuah kecupan di pipi Yulia. “Om Haris?” gumam Elia tak percaya. “Mereka saling kenal? Apa yang mereka lakukan di sini?”
Tanpa pikir panjang, Elia meraih lengan kiri Haris yang menggantung bebas dan menariknya kuat hingga pelukan Yulia terlepas. “Papa! Papa di sini ternyata?! Tega banget ninggalin mama di rumah sakit sendirian!”
“Hei! Apa-apaan ini?!” hardik Haris marah.
“Papa yang apa-apaan! Istri lagi sakit, malah asik-asikan sama selingkuhan!” balas Elia lebih lantang lagi.
Plak!
Tamparan Yulia terasa lebih kuat dan menyakitkan, membuat tubuh kecil Elia terhuyung, nyaris jatuh. Elia meringis menahan sakit sekaligus senang. Kepalanya mengedar, ia melihat beberapa orang mulai mengarahkan pandangan padanya seperti lampu sorot panggung.
“Lihat, kelakuan jalang ini! Dia menggoda laki-laki yang sudah punya anak istri. mama saya sedang sekarat di rumah sakit! Lihat!” teriak Elia sungguh-sungguh.
“Astaga … kurang ajar bener ini perempuan. Udah ngrebut suami orang, tega-teganya nampar anaknya,” ucap seorang wanita bergaun batik.
“Iya. Mana bapaknya diem aja. Setali tiga uang sama selingkuhannya!” cibir wanita lainnya.
“Udah, Pak. Pulang aja dulu. Nanti kalau istrinya udah sembuh, lanjutin lagi!” sindir seorang pria berpakaian kasual.
“Ada apa ini?!” hardik petugas keamanan. “Mohon tidak mengganggu penghuni lainnya. Silakan kalian selesaikan dulu di luar!” usir petugas berbadan kekar.
Wajah Haris merah padam. Dengan kasar, ditariknya lengan Elia meninggalkan lobi apartemen diikuti Yulia. Di halaman parkir, Haris mengibaskan tangan Elia sambil menengadah ke langit, mengembuskan kemarahannya.
Grep.
Lepas dari singa, ditangkap buaya. Dari arah belakang, Yulia menarik keras rambut sebahu Elia yang diekor kuda hingga gadis itu jatuh terduduk.
“Kurang ajar! Mau cari gara-gara, heh?!” bentak Yulia disertai percikan-percikan ludah karena emosi.
Elia meringis kesakitan, lalu terkekeh beberapa saat kemudian.
“Apa yang kau tertawakan, hah?!” bentak Yulia. “Gila!”
Tawa Elia menggelegar, tawa pilu seorang anak yang kehilangan ayahnya. “Akhirnya aku mengerti apa yang terjadi. Kalian berdua ada hubungannya dengan kematian ayah dan pemalsuan surat wasiatnya.”
Haris mengusap kasar wajahnya. “Sebaiknya kalian berdua pulang dan selesaikan masalah ini. Aku tidak ingin ikut campur masalah keluarga kalian!”
“Apa? Tidak ingin ikut campur?” Elia segera berdiri dan menarik pinggiran jas hitam, kehilangan rasa hormatnya pada teman dekat ayahnya itu. “Bagaimana dengan surat wasiat ayahku? Apa benar Om tidak ikut campur?”
Berdiri berhadapan sedekat ini dengan putri almarhum sahabatnya, membuat Haris diliputi rasa bersalah, wajahnya pias, napasnya pendek. Tangannya dengan kasar melepaskan cengkeram Elia.
“Maaf, Om tidak mengerti apa yang kamu maksud, El. Sebaiknya kalian pulang.”
Setelah berkata demikian, Haris bergegas meninggalkan halaman parkir apartemen. Berdiri beberapa saat di trotoar dan melambai ke arah taksi kosong yang kebetulan melintas.
“Lihat saja apa yang akan terjadi padamu!” tuding Yulia ke muka adik tirinya. “Aku akan balas semuanya lunas!”
“Hei, Jalang! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, yang jelas, aku minta semua hartaku kembali!” teriak Elia melihat Yulia bergegas pergi.
***
Malam sudah larut saat Elia sampai rumah. Dilihatnya carport masih kosong.
‘Dia belum kembali,’ batin Elia. ‘Ini kesempatanku menanyai Minah.’
Elia bergegas ke rumah belakang melalui pintu samping. Instingnya mengatakan, kegaduhan akan mengaburkan kebenaran. Maka, Elia berjalan mengendap menuju kamar Minah.
“Minah, saya minta tolong, kamu tutup mulut. Demi ketenangan di rumah ini. Ingat, bapak berpesan khusus padamu untuk menjaga kami bertiga, bukan?”
“Tapi, Bu. Bapak bilang, titip Elia. Kamu dan Ujang harus menjaga dia baik-baik. Bukan titip mereka bertiga, Bu,” sanggah Minah polos. “Sekarang saja, Ujang sudah dipulangkan. Jadi kurang lengkap formasi bodigat yang bapak minta, Bu.”
“Halah! Bawel kamu! Turuti saja perkataan saya kalau masih ingin bekerja di sini!” tukas Rossa sebelum meraih gagang pintu dan membukanya.
Betapa terkejutnya Rossa, mendapati Elia berdiri bersedekap di ambang pintu yang terbuka. “E-el!” gugup Rossa. “Se-sejak kapan kamu berdiri di sini? Kok tante gak denger kamu dateng?”
Elia tersenyum kecut. “Tante Ros terlalu sibuk mengancam Bik Minah, sih!”
Rossa makin pucat. ‘Rupanya, Elia mendengar semua ucapanku. Bagaimana ini?’ paniknya dalam hati. “M-mengancam apa? Tante cuma sedang bicara dengan Minah, kok. Iya ‘kan, Minah?”
Pluk.
Rossa menepuk lengan atas Elia kikuk. “Jangan terlalu banyak pikiran, istirahatlah. Tante masuk dulu, ya.” Hampir saja ia tersandung kakinya sendiri karena buru-buru melangkah dan kurang fokus.
“Sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Bukan begitu, Tan?” cibir Elia menghentikan langkah Rossa. Gadis itu menghadang Rossa. “Aku akan bongkar kebohongan di rumah ini. Tentang kematian ayah atau pemalsuan surat wasiat yang Yulia lakukan.”
Rona pias Rossa, perlahan memerah. “El, tante paham kamu tidak pernah menerima kami. Tapi, itu tidak berarti bahwa kamu bisa menuduh sembarangan, ya. Tante tidak pernah membalas sikap acuhmu selama ini karena menghormati Mas Surya. Jangan melebihi batas, El!”
“Wohoho … si kancil belajar mengaum rupanya.” Elia berkacak pinggang. “Kalau tante tahu, rumah ini tidak pernah menerima, kenapa masih bertahan sampai sekarang?” tanya Elia ketus.
“Kalau dulu tidak pernah membalas karena ayah masih hidup, sekarang mau apa? Balas saja semuanya sekaligus.” Elia maju selangkah mengintimidasi Rossa. “Apa kematian ayah merupakan wujud balasan, Tante?”
“Elia! Jaga bicaramu! Bukan kamu saja yang sedih karena kepergian Mas Surya, tante juga.”
“Hahaha … sedih?” Suara Elia mulai serak. “Mengancam Bik Minah itu perwujudan dari kesedihan? Iya, Tan?!” Elia maju selangkah lagi, berhasil membuat Rossa mundur menempel tembok.
“Karena ayah sudah tidak ada, tidak ada lagi alasan untuk Tante tetap tinggal di sini. Sebaiknya Tante bawa Yulia pergi dari sini. Mungkin Tante bisa tinggal di rumah Om Haris karena ternyata Yulia punya hubungan special dengan pengacara itu.”
“TUTUP MULUTMU!” teriak Yulia dari ambang pintu yang menghubungkan rumah utama dan halaman belakang. “RUMAH INI MILIK KAMI SEKARANG!” Yulia mulai bergegas menghampiri Elia.
“Kalau kamu tidak ingin kehilangan rumah ini selamanya, sebaiknya kamu berkemas sekarang juga!” desis Yulia tepat di depan muka Elia. “Atau aku akan menjual rumah ini,” imbuhnya masih dengan desisan mengerikan.
Elia mendorong bahu Yulia menjauh. “Mimpi kamu! Jangan kamu pikir bisa mengancamku lagi!”
“Oke, kalau kamu masih bersikeras untuk tinggal, maka aku akan menjual rumah ini.” Yulia mengeluarkan ponsel dari dalam tas selempangnya. Ditekannya layar ponsel pintar itu dan menunjukkannya pada Elia.
Begitu tersambung, Yulia langsung berkata, “Silakan mulai ditawarkan. Tawarkan dengan harga paling rendah. Saya ingin malam ini juga, rumah ini terjual.”
Kini, giliran Elia berang. Direbutnya ponsel Yulia dan dilemparnya ke dinding hingga pecah berantakan. “Lancang! Siapa kamu?! Beraninya menjual rumah peninggalan orang tuaku!”
Yulia tertawa penuh kemenangan melihat Elia hilang kendali. Dikibaskan rambutnya yang lengket di leher jenjangnya dengan kasar.
“Kamu tanya aku siapa? Aku adalah pemilik sah rumah ini. Lihat, aku sudah merubah nama pemilik rumah ini menjadi namaku.” Yulia melemparkan satu bendel kopian sertifikat rumah pada Elia.
“Tidak mungkin!” kalut Elia. Dipungutnya kertas yang terbuka di lantai. ‘Benar katanya, dia sudah mengganti nama pemilik rumah ini. Kurang ajar!’ geram Elia dalam hati.
“Pilihanmu hanya pergi. Sekarang!”
****
“Bodoh, bodoh!” umpat Elia di sela isakan di atas skuternya.Panik, mengacaukan otaknya dan menurunkan kecerdasannya. Bukan karena sedih air matanya tidak berhenti mengalir, tapi karena gumpalan amarah yang tidak bisa ia luapkan. Elia memacu pelan motornya yang nyaris tenggelam dalam muatan.“Aku harus pergi ke mana?” lirihnya sendu. “Harusnya tadi aku berkeras untuk tinggal. Toh, itu rumah milik orang tuaku. Bodoh kamu, El!” umpatnya penuh sesal.Drtt … drtt ….Elia meminggirkan motornya. Shinta calling ….“Halo,” jawab Elia menahan tangis.[El, lu kenapa? Kok suaranya gitu? Nangis, ya?] cecar Shinta dari seberang.“Eh, nggak. Lagi serak aja,” kilah Elia menahan napas.[Mau minta tolong, dong. Bisa gak temenin gue tidur apartemen? Gue abis berantem ma bokap.]“Astaga … kenapa lagi, sih?!” Tangis Elia teralihkan mendengar cerita sahabatnya.[Reval barusan nelfon gue. Dia bilang, dia lihat bokap gue gandengan ma cewek cantik di depan lift apartemen. Malam ini, gue harus tidur sana supa
“Kenapa Bapak ada di sini?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Elia.Wirasena mengernyit tidak suka mendengar sapaan yang digunakan padanya. “Bapak?! Siapa yang kamu panggil bapak?”Elia mengerjap panik karena sikap sinis pemilik rumah. ‘Prof. Wira? Kok bisa? Astaga … mimpi apa gue semalem?’ batin Elia bingung.“Bisu?!” kesal Wira karena sikap diam Elia.“E-eh, maaf, Prof. Sepertinya saya salah alamat. Permisi.” Elia buru-buru mengangguk sopan, kemudian berbalik. ‘Kalau dia negur, artinya ini alamat yang benar. Tapi kalau nggak, artinya gue salah alamat. Mampus!’ umpat Elia dalam hati.Langkah Elia sengaja diperlambat untuk berjaga-jaga pria dingin itu memanggilnya. Lima langkah berlalu, tapi tidak ada teguran. Jadi, Elia putuskan mempercepat langkahnya. Di luar gerbang, Elia segera membuka kertas yang sudah lusuh dan dalam genggamannya.“Sedap malam, nomer sembilan belas,” gumamnya sambil celingukan. Matanya melebar manakala melihat papan kayu cokelat tua yang menempel di te
“AAA …!” Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya. “Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar. Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu. “Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap. “Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya. Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya. ‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada ke
Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”
Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan