Share

Bab 6-2

Penulis: Selene21
last update Terakhir Diperbarui: 2024-01-31 23:53:18

Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.

“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.

“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”

Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.

“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”

Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”

Begitu kepala Tatik mengangguk tanda setuju, Elia mulai berceloteh tentang panggilan-panggilan kehormatan yang biasanya mereka—mahasiswa kedokteran—pakai untuk menjuluki Wirasena.

“Apa, beruang kutub?! Astaga … hahaha …!”

Elia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk dekat dengan Tatik. Ia tidak tahu sampai berapa lama ia akan merawat wanita ini, maka tidak ada salahnya mencoba saling terbuka. Sampai beberapa lama setelahnya, Elia dan Tatik masih melanjutkan obrolan yang semakin seru.

“Bu,” tegur Wirasena dari ambang pintu menginterupsi keseruan Elia dan Tatik. “Wira berangkat dulu.”

Seperti biasa, Tatik hanya melambaikan tangan sebagai jawaban. Namun, kali ini Wirasena tidak bersikap seperti biasanya. Pria itu berhenti cukup lama untuk menatap Elia dengan pandangan yang tidak bisa diartikan membuat Elia bergidik.

“Ada yang mau kamu katakan?” tanya Tatik kembali ke nada sinisnya.

Alih-alih menjawab, Wirasena menggeleng dan menutup pintu perlahan. Suasana kamar kembali hening.

“Aku dan dia sama-sama terluka atas kepergian Anita. Tapi, kami memilih saling menjauh untuk menyembuhkan luka masing-masing,” aku Tatik sedih. “Menjadi akrab dengan Wira akan memberi kesempatan kenangan tentang Anita muncul dan melukai kami.”

Elia bisa merasakan kesedihan Tatik kehilangan putrinya, seperti ia masih berjuang mengatasi kesedihannya kehilangan Surya. Tangannya mengusap lembut bahu Tatik, menunjukkan dukungannya.

“Sudahlah, yang pergi tidak akan kembali, yang hidup harus terus berjalan. Bukan begitu?” Tatik mengangkat wajahnya dan memandang Elia dari cermin. “Lho, itu lehermu kenapa merah-merah?!”

Panik, Elia mengamati lehernya di cermin. ‘Astaga … ini ….!’

Tatik mencondongkan tubuhnya, menarik laci di depannya dan mengeluarkan minyak gosok dari sana. “Oleskan ini, meskipun semalam Mika sudah menuangnya ke rambutmu.” Tatik tersenyum geli mengingat kejadian semalam.

“Eh, i-iya. Terima kasih, Oma.” Elia buru-buru menerima botol minyak dan masuk ke kamar mandi. “Bagaimana ini?” paniknya seraya menggosok lehernya dengan punggung tangan. “Sial!” umpatnya saat tanda merah itu semakin melebar karena ulahnya sendiri.

***

Poli kandungan

“Pagi, Prof. Wah, ada angin apa ini, sampai Prof. Wira turun ke poli?” gurau bidan paling senior di Rumah Sakit Rahayu yang hanya dibalas senyum simpul oleh sang pemilik nama.

Baru kali ini, Wirasena merasa jarum jam bergerak sangat cepat. Tak terasa, tersisa satu pasien terakhir dalam antrian. Pasangan muda yang terlihat canggung dan ragu, duduk di seberang mejanya.

“Siang, Dok.” Pria muda itu menyapa takut-takut.

“Siang. Ada yang bisa saya bantu?” tanya Wirasena sembari membaca kartu pasien di depannya.

“Saya cuma mau tanya, Dok. Apa bisa terjadi hamil kalau hanya satu kali berbuat?”

Deg.

Wirasena terhenyak.

“Maksudnya?”

Pria itu menegakkan punggungnya dan melipat kedua tangannya di atas meja, memberanikan diri. “Saya dan pacar saya ‘begituan’ bulan lalu. Hanya satu kali. Dan dia.” Pria itu menoleh sinis pada gadis yang sejak tadi tertunduk di sebelahnya. “Dia bilang, dia hamil, Dok. Apa mungkin?” sambung pria itu sedikit kesal.

“Begituan?”

Bidan senior yang menemani Wirasena berbisik lirih, “Berhubungan maksudnya.”

Bibir Wirasena membulat. “Ohh,” balasnya tak kalah lirih. “Bisa. Mungkin.”

“Hhaah?” Bidan senior dan pasangan muda itu terkejut bersamaan.

Wirasena berdehem untuk menyadarkan diri. “Bisa hamil dan mungkin hamil,” ulangnya dengan nada tegas. “Sudah dilakukan tes kehamilan mandiri?”

Si gadis mengangguk seraya mengeluarkan alat tes kehamilan yang sudah dipakainya. Wirasena mengernyit yang segera saja direspon oleh bidan pendampingnya dengan mengambil dan membaca hasil tespek.

“Positif, Prof,” lapor bidan.

Bulu kuduk Wirasena meremang. Dalam pandangannya, Elia sedang berdiri di hadapannya dan menyodorkan tespek dengan dua garis merah tua.

“Ehm!” Wirasena kembali berdehem keras.

Bidan senior mendorong sebotol air putih ke dekat tangan Wirasena yang disambut dengan senyum kaku.

“Tolong beri mereka surat pengantar laborat.”

Setelah berkata demikian, Wirasena meninggalkan kursinya dan keluar ruangan tanpa mempedulikan tatapan bingung tiga orang di belakangnya.

“Bodoh! Kenapa aku tidak terpikir kemungkinan itu, pagi tadi?” gerutu Wirasena sambil melirik jam tangannya. “Sudah lebih dua belas jam belum, ya?” gumamnya. “Sepertinya sudah. Tapi, bukankah dia dokter sekarang? Pasti tahu tentang pencegahan kehamilan, ‘kan?” Wirasena mulai mondar-mandir.

Sebuah ide cemerlang singgah di otak cerdasnya. Wirasena merogoh saku celananya dan mengeluarkan ponsel. Dicarinya nama Elia dalam kontak ponselnya, nihil. “Sial! Aku tidak pernah tanya nomer telfonnya.”

“Prof, sedang tidak enak badan? Pucat, lho.” Bidan senior tadi menghampiri Wirasena dengan wajah cemas. “Kurang tidur sepertinya.”

“Hah, eh, iya. Nanti, kalau hasil laboratnya sudah keluar, minta mereka datang lagi besok. Ada hal yang harus saya urus.” Wirasena melepas jas putih lengan panjang miliknya.

“Prof, pasangan tadi menolak tes laborat. Tujuan mereka datang hanya untuk menggugurkan kandungan,” papar bidan senior sambil melipat rapi jas putih yang Wirasena serahkan.

“Gilak! Sudah berbuat dosa sekali, masih mau nambah?!” ketus Wirasena lebih pada dirinya sendiri. “Terserahlah. Saya duluan.”

***

“Pak Somad, minta tolong ambilin layang-layang Mika!” teriak Mika dari halaman belakang. “Pak Somad!” ulangnya lagi tak sabar.

“Hai, Cantik! Kenapa teriak-teriak?” Elia menghampiri setengah berlari mencegah Mika berteriak lagi.

“Kak, layang-layang Mika nyangkut!” tunjuk Mika ke arah pohon mangga.

“Layang-layang Mika?”

Bibir Mika tersenyum malu. “Bukan, ding. Layang-layang tetangga yang nyangkut ke pohon.”

Elia ikut tersneyum seraya mengelus kepala Mika. “Oke, tunggu di sini, ya.” Elia bergegas menuju tumpukan bambu tidak terpakai, mencari sesuatu yang bisa dipakainya untuk mengambil layang-layang.

“Kak, masih lama gak?!” Teriakan Mika kembali terdengar.

“Iya, iya.” Elia kembali ke sisi Mika dengan tangan kosong.

“Lho, mana bambunya?”

“Tenang, nanti Kak El naik ke sana ambil layang-layangnya.”

Mika mengangguk senang dan bersorak-sorak memberi semangat saat Elia berusaha keras memanjat pohon mangga. Tak butuh waktu lama, Elia berhasil meraih layang-layang berbentuk ikan lengkap dengan ekor panjang menjuntai.

“Yeiyy!” teriak Mika senang. “Ayo, bawa turun, Kak!” imbuhnya seraya melompat-lompat.

Elia celingukan mencari pijakan yang membantunya naik tadi. “Lhoh, gimana turunnya ini?!” paniknya setelah tidak menemukan pijakan. “Apa gue lompat aja, ya?” Elia melongok ke bawah.

“STOP!”

****

Bab terkait

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 7

    Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-01
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 8

    “Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-02
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 8

    “Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 9

    Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-04
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 10-1

    Ningsih baru selesai membantu Hana membersihkan diri dan menata bantal di belakang punggungnya. Wanita itu, mengeluh punggungnya panas dan capek. Bagaimana tidak, Hana sudah berbaring selama dua minggu tanpa berkeinginan turun dari ranjang dan bergerak.Ia sudah merawat Hana sejak wanita itu keluar dari rumah sakit dan divonis menderita kanker leher rahim, dua tahun lalu. Awalnya, Hana masih semangat menjalani pengobatan, tapi belakangan, semangatnya mulai menurun.“Apa sudah nyaman begini, Bu?” tanya Ningsih setelah meletakkan bantal ketiga di belakang punggung Hana.“Ya, terima kasih, Sus.”“Atau sebaiknya kita jalan-jalan di luar, mumpung cuaca sedang cerah,” bujuk Ningsih yang disambut dengan gelengan kepala.Malas bersikap pura-pura ramah dan perhatian lebih lama, Ningsih mengangguk dan keluar kamar meninggalkan Hana yang mulai memejamkan mata. Ditutupnya pintu kamar perlahan. Sejurus kemudian, sebuah tangan

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-05
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 10-2

    “Keluar!” usir Hana dengan napas yang dipaksakan.Shinta sedikit terkejut dengan respon Hana yang sedikit lebih cepat darinya. Ia merasakan tangan Hana mencari jemarinya dan meremasnya erat, meminta dukungan.“Siapkan semua berkas perceraiannya. Aku akan tanda tangani.”Haris menggeleng cepat dan berlutut. “Nggak. Aku gak akan menceraikanmu, Han. Aku hanya khilaf sesaat. Aku mohon maafkan aku, Han.”Alih-alih menjawab permohonan Haris, Hana menampar suaminya dengan kekuatan yang dimilikinya. Shinta semakin takjub melihat keberanian Hana yang sudah sejak lama dia nantikan. Haris adalah tipe pria terakhir yang ingin dilihatnya, sejak Shinta tahu bahwa ayahnya suka main wanita.“Selama ini, aku menutup mata demi Shinta, Mas. Jangan kamu kira, aku terbaring di ranjang dan tidak tahu apa yang kamu lakukan di luaran.”Hana meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang dan membuka kumpulan foto yang dia

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-05
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 11-1

    Haris menepikan kendaraannya manakala menyadari siapa yang sedang menghubunginya. Ia memutus sambungan bluetooth dan meraih ponselnya.“Halo.”[Kok halo, sih? Mas Haris gak kangen, nih?]Haris berdehem mengusir hasrat yang mulai menggodanya. “Kangen dong, tapi aku gak bisa hari ini. Hana lagi badmood,” ujarnya beralasan.[Kenapa lagi dia? Pulang kemo, ya?]“He’em. Nanti kalau keadaannya sudah mulai tenang. Aku telfon kamu, hmm?”[Iya deh. Tapi, besok jangan lupa untuk mengurus kasus penganiayaan Darma. Berkasnya sudah aku siapkan di mejamu.]“Oke, Sayang. Makasih, ya.”[Oke. Bye.]Desah tertahan lolos dari mulut Haris saat ia menyandarkan kepalanya ke atas kemudi. Tubuhnya ingin bertemu wanita itu, tapi otak cerdasnya melarang, menyisakan penyesalan dan siksaan di bagian bawahnya.“Hufth …! Sabar, sabar. Kita selesaikan n

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06
  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 11-2

    “Wanita itu, entah berada atau tidak, entah cerdas atau tidak, entah berkedudukan atau tidak. Pada dasarnya, dia hanya sosok yang ingin dicintai, diperhatikan dan dihargai dalam kondisi apapun.” Hana tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.“Mama tidak mendapatkan itu sejak mama jatuh sakit. Awalnya, mama hanya merasa papamu sibuk bekerja. Tapi kembali lagi, insting seorang istri selalu menunjukkan kebenaran dan tidak akan pernah salah.”Akhirnya, Shinta mengangguk dan memberi kedua pipi Hana kecupan lembut. “Shinta ikut apa maunya mama. Asal mama bisa tersenyum dan bahagia lagi.”***Elia membereskan pakaian yang Mirna bawakan dua hari lalu. Pagi tadi, dokter sudah memberinya izin pulang. Selama dirawat, Elia terus memikirkan tindakannya yang menggila menghabiskan salad buah Mika. Tidak biasanya dia selahap itu menyantap sesuatu hingga melupakan tentang alerginya.“Aneh,” gumamnya tanpa sadar.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-06

Bab terbaru

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 48

    Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 47

    Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 46

    “Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 45

    “Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 44

    “Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 43

    Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 42

    “Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 41

    “Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu

  • Dari Pegawai Jadi Mempelai   Bab 40

    “Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan

DMCA.com Protection Status