“AAA …!”
Teriakan Elia membuat Wirasena terjaga dan menatap marah ke arah gadis itu. Namun, beberapa detik kemudian, pancaran amarah di matanya berganti tatapan bingung. Kulit putih mulus tanpa penutup sedang membanjiri indera penglihatnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?!” bentaknya setengah sadar.
Bentakan Wirasena dan tatapan aneh yang terarah padanya membuat Elia menunduk mengikuti arah pandangan itu.
“Aaa …!” Teriakan lain yang tak kalah nyaring menyusul keluar diikuti tarikan kasar pada selimut yang setengah tersingkap.
“Diam!” geram Wirasena berusaha menguasai diri. “Katakan. Apa yang kau lakukan di kamarku dalam kondisi begini?!” tunjuk Wirasena dengan dagunya.
Mata Elia terpejam. Denyutan di kepalanya kembali menyerang. Sekuat tenaga dicobanya mengingat apa yang terjadi semalam. Dahinya mengernyit antara mengingat dan menahan sakit di kepala dan bagian bawah tubuhnya.
‘Sudah terjadi. Ada nyeri dan perih di situ, ada kelelahan otot paha dan ada …,’ batin Elia mengulang kembali materi kuliah yang sudah dia dapat sambil membuka sebelah matanya melirik ke bagian bawah tubuhnya. ‘Haish …! Tenang, El. Tenang.’ Mulutnya bergumam tanpa suara menenangkan, tapi kepalanya berkhianat dan menggeleng panik.
“Hei! Kamu bisu?!” bentak Wirasena tak sabar.
Suara dingin itu melukai harga diri Elia. Dibukanya kedua matanya pelan, tapi pasti dan mengintimidasi. Ia ingin memastikan bahwa dirinya berada di ranjang yang benar sebelum membalas pria sombong yang menyusup masuk ke kamarnya dan berbuat tidak senonoh padanya.
‘Yes!’ pekiknya dalam hati. ‘Ini kamarku.’
“Koreksi. Ini kamar saya, Prof. Anda yang menyusup kemari dan berbuat asusila!” desis Elia dengan mata berkaca-kaca.
Mendengar ucapan Elia, Wirasena mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. ‘Sial! Ini memang bukan kamarku. Lalu, apa yang aku lakukan di sini?! Bangsat!’ kutuk Wirasena pada dirinya.
“Maaf. Aku akan pikirkan solusinya.” Wirasena beringsut turun dari ranjang dan membelakangi Elia seraya memasang kembali pakaiannya, tanpa kehilangan keangkuhan yang membuat Elia makin geram.
‘Apa? Maaf?! Gampang sekali kedengarannya. Bahkan dia merubah sapaannya dari ‘saya’ menjadi ‘aku’. Hellow … dia pikir, siapa dia?’
Tak mau kalah, Elia memakai jubah mandinya, sedikit terlalu erat mengikatnya hingga membentuk tubuhnya dengan sempurna. “Saya sudah punya solusinya. Lupakan, tidak perlu repot.”
Kemeja kusut yang hanya terkancing setengah jalan, rambut acak-acakan dan mata tajam mengarah pada Elia lengkap dengan dua tangan bertengger di pinggang, menjadi perpaduan berbahaya di mata Elia.
‘Sial!’ umpat Elia kesal. ‘Kenapa di saat seperti ini, dia terlihat mempesona?!’
Wirasena mengernyit mendengar ucapan Elia. “Nona, jangan berlagak sudah terbiasa mengalami hal seperti ini. Aku tahu ini pengalaman pertamamu, maka aku akan bertanggung jawab atas konsekuensinya.”
Setelah berkata demikian, Wirasena berjalan cepat keluar kamar, meninggalkan Elia dengan lutut lemas dan perasaan aneh melingkupinya. Beruntung, suasana rumah sedang sepi hingga Wirasena tidak perlu khawatir ada yang melihatnya keluar dari kamar Elia.
Ia kembali ke kamarnya, hendak mandi dan bersiap pergi ke rumah sakit. Hari ini, ada tiga pasien yang sudah ia jadwalkan menjalani operasi dengannya. Ketika Wirasena membuka pintu kamar, bertepatan dengan Susan yang keluar dari kamar mandi dengan tubuh terbalut handuk dan rambut basah.
“Mas Wira, baru bangun?”
“Keluar!” jawab Wirasena ketus.
Susan hanya tersenyum dan berjalan melintasi kamar. Dibukanya salah satu pintu lemari dan mengeluarkan sepasang pakaian dalam warna merah menyala. “Semalam tidur di mana? Susan tungguin sampai larut, belum juga pulang.”
“Keluar kataku!” bentak Wirasena sembari menarik lengan Susan menjauh dari lemarinya.
Raut wajah Susan tidak berubah, masih tetap menyungging senyuman. “Sabar, dong. Paling tidak, biarkan aku pakai baju.” Kedua tangannya menjimpit salah satu ujung pakaian dalamnya dan melepaskan ujung yang lain, membuat bra dan celana dalam itu terjuntai.
Wirasena melepas tangan Susan. Ia menarik sebuah kemeja dan celana dari lemari, lalu masuk ke kamar mandi diikuti suara pintu berdebum. Begitu Wirasena menghilang di balik pintu, Susan melempar tubuhnya ke ranjang.
“Sial! Tidur di mana dia semalam?!” Susan melirik tajam ke pintu kamar mandi. “Kenapa ada dua gelas kotor di dapur? Siapa yang minum wiski bersamanya?” gumam Susan penasaran.
Di kamar lain, Elia sudah memulai tugas pertamanya bersama Tatik ditemani Mika, meskipun dua jam lebih lambat dari biasanya.
“Oma, Oma gak bisa cuci rambut sendiri, ya?” tanya Mika dengan raut ingin tahu.
Melihat Tatik hanya diam tidak berniat merespon, Elia berinisiatif menjawab. “Sayang, karena sedang sakit, Oma perlu dibantu untuk mandi dan melakukan hal lain. Jadi, Kak El yang bantu Oma mencuci rambutnya.”
Mulut Mika membola tanpa suara. “Nanti, kalau Oma sudah selesai, gantian Mika, ya?” tanyanya seraya menatap penuh harap pada Elia.
“Memangnya, Mika sedang sakit?” tanya Elia sambil menyemprotkan air hangat ke atas kepala Tatik.
Mika menggeleng. “Mika mau dibantuin juga.”
Elia meraih handuk kecil yang tersampir di bahu kirinya dan membungkus rambut basah Tatik. “Hmm … gimana kalau Mika minta tolong Mama? Kalau nunggu Kak El, nanti Mika kesiangan berangkat sekolahnya. Oke?” Elia mengerling jenaka pada bocah itu.
Mika kembali menggeleng, kali ini dengan wajah cemberut. “Mama gak pernah mandiin Mika. Selalu suster. Lagian, Kak El juga telat.”
‘Upss! Salah bicara gue,’ sesal Elia dalam hati.
“Mika, minta mandi sama Marni, gih.” Tatik mengusap kepala Mika lembut. “Susternya mau bantu oma mandi.”
Kali ini, Mika mengangguk patuh dan berlari keluar.
“Lain kali, jangan ikut campur masalah Mika dan Susan. Susan tidak suka orang lain ikut campur urusannya,” ketus Tatik seraya membuka baju atasannya. “Meski dia anakku, dia berbeda dengan kakaknya, mendiang istri Wira.”
Elia terkejut mendapati nada sedih tersirat dalam ucapan Tatik. Selama Elia merawatnya, Tatik bukan tipe terbuka dan ramah, cenderung murung dan menyendiri.
“Iya, Oma. Maafkan saya.”
“Anita wanita yang hangat dan perhatian. Dulu, aku sempat tidak setuju saat dia meminta izin untuk menikahi Wira. Memang dia tampan, mapan dan pintar, tapi dingin dan kaku.”
Elia terkikik mendengar kebenaran yang Tatik ungkapkan. Sedikit berlebihan, hingga membuat Tatik menoleh padanya.
“Kenapa tertawa?!” tanya Tatik dengan sinis.
Elia menahan tawanya dengan melipat bibir ke dalam seraya menggeleng.“Kamu sependapat denganku?” selidik Tatik dengan lirikan tajam, tapi sudut bibirnya berkedut membuat Elia kembali meringis.“Maaf, Oma. Tapi, saya memang sependapat.”Mereka berdua terkekeh bersama. Tatik mulai melanjutkan ceritanya tentang mendiang anaknya yang meninggal karena kanker indung telur yang mengakibatkannya tidak bisa memiliki keturunan.“Kadang, aku merasa kasihan saat melihat Wira begitu telaten menemani Mika bermain dan mendengar ocehannya.” Tatik mengusap mata tuanya yang basah. “Tapi, mau bagaimana lagi. Tidak banyak wanita sabar dan pengertian yang mau menderita bersanding dengan pria kaku dan dingin seperti dia.”Elia berjongkok di samping kursi roda Tatik sambil memasangkan pakaian bersih. “Ada sebuah rahasia yang mau Elia ceritakan, tapi Oma harus janji tidak akan menceritakannya pada orang lain.”
Wirasena gelisah sepanjang perjalanan pulang. Ia bahkan menunda jadwal operasi yang sedianya harus dia kerjakan, hanya untuk memastikan bahwa Elia pantas menyandang gelar lulusan terbaik. Langkahnya panjang dan cepat saat melintasi ruangan demi ruangan rumahnya.Ketika hendak menuju kamar Elia, ia mendengar teriakan Mika dari halaman belakang. Disempatkannya melongok ke jendela dan melihat perempuan yang dicarinya sedang bersiap melompat dari atas pohon mangga. Panik, Wirasena berlari ke halaman belakang sambil berharap Elia masih menyisakan kewarasannya yang sudah terkontaminasi wiski.“STOP!” teriak Wirasena masih berlari sampai ke bawah pohon. “Apa yang kamu lakukan?!”“Melompat,” sahut Elia tanpa dosa.Wirasena membungkuk, dua tangannya menumpu pada lutut dan menghela napas dalam sebelum kembali berdiri dan merentangkan lengan. “Sini, lompat ke sini!” titahnya menunjuk kedua lengan yang terentang dengan
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
“Keju? Astaga …!” Elia bergegas ke kamarnya. Dicermatinya wajah putih mulusnya yang mulai memerah di area sekitar bibir dan pipi. “Astaga … gawat ini!” paniknya.Tangannya panik mencari obat alergi miliknya di laci meja rias dan kotak obat, tapi tidak ada. Sekilas, dari pantulannya di cermin, Elia melihat lehernya juga mulai berubah warna. “Cepet banget, sih!”Elia berbalik, meraih tas selempang di ranjang dan cardigannya. “Aku harus ke apotek sebelum gejalanya makin parah,” gumamnya sambil mencari kunci skuternya. “Aish … sial!” umpatnya seraya mengusap cairan yang mulai mengalir dari lubang hidungnya.“Astaga …! Mana sih!” gerutunya saat kunci motor pun tidak berpihak padanya.Ia putuskan untuk mencari taksi. Elia tergesa-gesa keluar dari kamar hingga tidak memperhatikan Wirasena yang berjalan cepat ke arahnya.Brug.Mereka berdua bertabraka
Kamar Inap‘Shinta mana, sih. Lama banget. Mana gue kebelet,’ batin Elia dengan mata terpejam menahan dorongan ingin kencing. ‘Kenapa kebeletnya gak tadi aja, pas masih ada mbak susternya?’ lanjutnya lagi.“Ada apa dengan wajahmu? Sakit?” Nada dingin Wirasena menegur.“Nggak papa, Prof.”Wirasena kembali menekuni gawainya. ‘Mana, sih, Marni. Sudah dipesan untuk segera berangkat, malah belum muncul. Apa aku tinggal saja dia?’ Wirasena menimbang dengan cermat.Klik.Kepala Wirasena terangkat, matanya dingin menatap ranjang. Dilihatnya, Elia menurunkan besi pembatas dan sedang berusaha meraih botol infusnya.“Mau ke mana?”Wajah Elia yang sedang menatap dinding memberengut. ‘Kenapa harus nanya, sih?!’ sungutnya dalam hati.Karena tidak mendapat jawaban yang diinginkannya, Wirasena bangkit dari kursinya dan menghampiri ranjang. “Mau ke
Ningsih baru selesai membantu Hana membersihkan diri dan menata bantal di belakang punggungnya. Wanita itu, mengeluh punggungnya panas dan capek. Bagaimana tidak, Hana sudah berbaring selama dua minggu tanpa berkeinginan turun dari ranjang dan bergerak.Ia sudah merawat Hana sejak wanita itu keluar dari rumah sakit dan divonis menderita kanker leher rahim, dua tahun lalu. Awalnya, Hana masih semangat menjalani pengobatan, tapi belakangan, semangatnya mulai menurun.“Apa sudah nyaman begini, Bu?” tanya Ningsih setelah meletakkan bantal ketiga di belakang punggung Hana.“Ya, terima kasih, Sus.”“Atau sebaiknya kita jalan-jalan di luar, mumpung cuaca sedang cerah,” bujuk Ningsih yang disambut dengan gelengan kepala.Malas bersikap pura-pura ramah dan perhatian lebih lama, Ningsih mengangguk dan keluar kamar meninggalkan Hana yang mulai memejamkan mata. Ditutupnya pintu kamar perlahan. Sejurus kemudian, sebuah tangan
“Keluar!” usir Hana dengan napas yang dipaksakan.Shinta sedikit terkejut dengan respon Hana yang sedikit lebih cepat darinya. Ia merasakan tangan Hana mencari jemarinya dan meremasnya erat, meminta dukungan.“Siapkan semua berkas perceraiannya. Aku akan tanda tangani.”Haris menggeleng cepat dan berlutut. “Nggak. Aku gak akan menceraikanmu, Han. Aku hanya khilaf sesaat. Aku mohon maafkan aku, Han.”Alih-alih menjawab permohonan Haris, Hana menampar suaminya dengan kekuatan yang dimilikinya. Shinta semakin takjub melihat keberanian Hana yang sudah sejak lama dia nantikan. Haris adalah tipe pria terakhir yang ingin dilihatnya, sejak Shinta tahu bahwa ayahnya suka main wanita.“Selama ini, aku menutup mata demi Shinta, Mas. Jangan kamu kira, aku terbaring di ranjang dan tidak tahu apa yang kamu lakukan di luaran.”Hana meraih ponselnya yang tergeletak di ranjang dan membuka kumpulan foto yang dia
Haris menepikan kendaraannya manakala menyadari siapa yang sedang menghubunginya. Ia memutus sambungan bluetooth dan meraih ponselnya.“Halo.”[Kok halo, sih? Mas Haris gak kangen, nih?]Haris berdehem mengusir hasrat yang mulai menggodanya. “Kangen dong, tapi aku gak bisa hari ini. Hana lagi badmood,” ujarnya beralasan.[Kenapa lagi dia? Pulang kemo, ya?]“He’em. Nanti kalau keadaannya sudah mulai tenang. Aku telfon kamu, hmm?”[Iya deh. Tapi, besok jangan lupa untuk mengurus kasus penganiayaan Darma. Berkasnya sudah aku siapkan di mejamu.]“Oke, Sayang. Makasih, ya.”[Oke. Bye.]Desah tertahan lolos dari mulut Haris saat ia menyandarkan kepalanya ke atas kemudi. Tubuhnya ingin bertemu wanita itu, tapi otak cerdasnya melarang, menyisakan penyesalan dan siksaan di bagian bawahnya.“Hufth …! Sabar, sabar. Kita selesaikan n
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan