“Wanita itu, entah berada atau tidak, entah cerdas atau tidak, entah berkedudukan atau tidak. Pada dasarnya, dia hanya sosok yang ingin dicintai, diperhatikan dan dihargai dalam kondisi apapun.” Hana tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.
“Mama tidak mendapatkan itu sejak mama jatuh sakit. Awalnya, mama hanya merasa papamu sibuk bekerja. Tapi kembali lagi, insting seorang istri selalu menunjukkan kebenaran dan tidak akan pernah salah.”
Akhirnya, Shinta mengangguk dan memberi kedua pipi Hana kecupan lembut. “Shinta ikut apa maunya mama. Asal mama bisa tersenyum dan bahagia lagi.”
***
Elia membereskan pakaian yang Mirna bawakan dua hari lalu. Pagi tadi, dokter sudah memberinya izin pulang. Selama dirawat, Elia terus memikirkan tindakannya yang menggila menghabiskan salad buah Mika. Tidak biasanya dia selahap itu menyantap sesuatu hingga melupakan tentang alerginya.
“Aneh,” gumamnya tanpa sadar.
“YES!” ucap Wirasena bersemangat dengan tangan terkepal ke depan dadanya. “Yes, akhirnya!” ulangnya lebih mantap lagi.Ia memberikan tambahan tip untuk kurir sewaannya dan mengucap terima kasih sekali lagi, hal yang baru pertama kali dia lakukan. Hatinya membuncah luar biasa. Setelah kurir wanita itu undur diri, Wirasena menoleh ke arah ranjang. Tampak olehnya, Elia sedang memejamkan mata dan menggumam sesuatu.Ingin rasanya, Wirasena memeluk gadis yang sudah dirubahnya menjadi seorang wanita itu erat-erat. Namun urung dilakukannya, mengingat respon Elia belum tentu sama seperti dirinya.‘Syukurlah,’ desah Elia dalam hati. “Hhh ….” Di luar kendalinya, Elia mendesah.“Apa yang membuatmu terlihat lega?” tanya Wirasena menghampiri ranjang.“Bersyukur karena kemungkinan hamil sudah bisa disingkirkan.” Elia membuka mata dan tatapannya bertemu dengan mata gelap Wirasena yang s
“Biasakan dengan itu semua, sampai kamu melahirkan anak itu. Setelahnya, aku tidak akan mencampuri kehidupanmu. Mengerti?!”Sederet kalimat itu berhasil melukai Elia, dalam dan perih. ‘Dia hanya menginginkan anaknya, El. Dia tidak bermaksud peduli denganmu. Dia hanya mau anaknya lahir ke dunia. Menjaga gennya tetap terwariskan,’ batin Elia miris.“Jangan khawatir. Aku tidak akan menghambat masa depan cerah yang ingin kamu capai. Tapi … lakukan itu setelah melahirkan anakku. Dan aku akan berikan semua yang kamu mau.”Elia memalingkan wajahnya. Ia tidak ingin Wirasena melihatnya terluka dan rapuh. Harga dirinya melarangnya melakukan hal itu.***“Kamu kenapa, Wir? Siapa yang mau menikah?” tanya Barata sambil menawarkan segelas air pada sahabatnya.Wirasena menggeleng sambil melempar tubuhnya dengan frustasi ke sofa kantor Barata. Ia memilih kembali ke rumah sakit setelah mengantar Elia pul
“Elia sedang mengandung anak Wira, Bu,” ulang Wirasena karena Tatik hanya diam, seolah tidak mendengar ucapannya. Ia tidak memperhatikan kedua tangan Tatik yang mencengkeram lengan kursi roda hingga buku jarinya memutih.“Ternyata aku salah mengira,” gumam Tatik dengan nada kecewa.“Salah mengira?” tanya Wirasena bingung.“Aku pikir, dia perempuan polos dan baik. Nyatanya, sama saja.” Tatik memukul lengan kursi rodanya dengan kesal. “Menyesal aku!”“Sebentar, Bu. Salah mengira bagaimana maksudnya? Apa yang membuat ibu menyesal?” Wirasena semakin bingung melihat betapa kesalnya Tatik.“Aku kira dia berbeda dengan perempuan lain yang tahunya hanya menggodamu, tapi ternyata sama saja. Wira, aku baru saja berniat menjodohkanmu dengannya. Tidak tahunya, dia memakai cara murahan begini untuk mendapatkanmu.”“Kamu juga!” Tatik memukul lengan Wirasena cuk
Elia duduk kaku di tepi ranjang, masih dengan gaun pengantin lengkap beserta hiasan kepala dan riasan di wajah. Inginnya, segera menghapus riasan itu. Namun, aroma alkohol membuatnya mual. Jadilah, Elia termenung dengan pandangan tertuju pada ujung alas kakinya.Pintu kamar terbuka, menampakkan sosok Wirasena yang juga berpakaian lengkap seperti Elia. Dari gerak-geriknya yang canggung, sepertinya pria itu hendak mengurungkan niatnya masuk ke kamar.“Prof,” panggil Elia saat Wirasena hendak berbalik.“Ya.”“Bisa bantu saya?” pinta Elia dengan berani.Melihat Wirasena menutup pintu dan menghampirinya, keberanian Elia semakin besar. Ia berdiri dan membalikkan badan memunggungi suaminya.“Tolong bantu saya melepasnya.” Elia menunjuk kaitan zipper gaunnya.Wirasena memejamkan mata dan membuat gerakan jengah di kedua alis dan matanya. Ia menghela napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Tindaka
Elia terbangun dini hari karena kandung kemihnya terasa penuh dan mendesak. Dengan mata berat, ia menyibak selimut dan menurunkan kakinya. Udara dingin menusuk yang keluar dari pendingin ruangan membuat tangannya memeluk tubuh. Betapa kagetnya Elia, mendapati ikatan jubah mandinya sudah terlepas. “Hahh? Kok bisa lepas?” heran Elia seraya mengikat erat kembali jubahnya. Ia melirik ke ranjang, tapi tidak mendapati sosok Wirasena di sana. “Masa’ iya aku yang melepasnya?” gumamnya sambil bergegas ke toilet. Selesai berkemih, Elia mencuci tangan dan menghadap cermin. Kantuknya seketika lenyap melihat di area leher dan dada atasnya terdapat bentol-bentol merah seperti biduran. “Astaga … kenapa lagi ini?!” paniknya sambil mencermati merah-merah di kulitnya. “Gak terasa gatal sama sekali, tapi kenapa merah?” Elia mengingat-ingat masakan yang sempat di makannya saat resepsi di hotel tadi. “Kamu di dalam, El?” “Ya, Prof. Sebentar,” sahut Elia. “Silakan,” ucap Elia ketika sudah berada di lu
Elia menahan langkahnya ketika melihat Wirasena sedang berbincang di telepon agar tidak mengganggu pria itu. Namun, ia terperanjat mendengar ucapan Wirasena dengan lawan bicaranya.“Berhenti menghubungi Elia. Statusnya sudah berubah. Dia istri saya sekarang!”“Siapa yang telfon, Prof?” celetuk Elia tanpa sadar.Wirasena menoleh sekilas, lalu melanjutkan ucapannya. “Saya sangat menghargai bila Anda menjaga jarak secara profesional dengan Elia. Terima kasih.”Dengan langkah cepat, Elia menghampiri Wirasena dan merebut ponsel di tangan pria itu, yang ternyata adalah miliknya.“Anda menjawab panggilan saya?!” tanya Elia dengan nada tinggi.“Ya. Nada deringnya keras dan berisik. Aku hanya menyelamatkan gendang telingaku,” kilah Wirasena dengan nada datar.“Kenapa harus diangkat? Kenapa gak dimatikan?!” protes Elia kesal.Wirasena menjauhkan kepalanya dengan alis
Dering panggilan dari ponsel Wirasena menghentikan romansa yang sedang berlangsung.“Ya.” Dingin dan singkat, begitulah cara Wirasena menjawab setiap dering teleponnya.“Oke. Minta OK siapkan cyto.” Wirasena memutus sambungan lebih dulu. Ia menatap Elia sejenak, lalu meraih tangan gadis itu. “Tukar pakaianmu. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”***Dalam perjalanan, mereka tidak saling bicara. Wirasena fokus dengan kemudinya, sedangkan Elia lebih memilih menoleh ke kiri, menatap jalanan dan pengemudi lain. Elia tahu, fokus Wirasena saat ini adalah pasien gawat darurat yang sedang menunggunya di meja operasi, bukan masalah mereka atau perasaannya.Mobil berhenti di area parkir yang disiapkan khusus untuk dokter. Letaknya lebih dekat ke gedung utama rumah sakit.“Saya tunggu di sini saja,” putus Elia tanpa melihat Wirasena.“Ikut aku turun.” Wirasena keluar dari mobi
Wirasena bekerja dengan cepat dan akurat di meja operasi seperti biasanya, meskipun hatinya tidak tenang meninggalkan Elia bersama Siwi. Bagaimanapun, Siwi pernah menyatakan perasaan dan ditolaknya. Wirasena khawatir, Siwi mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya didengar Elia.“Mima, tutup lemak dan kulitnya. Saya ada keperluan mendesak.” Wirasena memberi instruksi pada asisten operatornya sebelum berbalik badan dan meninggalkan meja operasi.“Tumben diserahkan asisten? Biasanya diselesaikan sendiri sampai bersih,” bisik Indra—perawat instrumen—sambil melirik punggung Wirasena.“Beneran urgent artinya. Sudah, kerjakan saja. Jangan kepo!” tegur Sandi—dokter anastesi.“Iya, Dok. Aneh saja, operator paling pilih-pilih yang pernah ada di sini, tiba-tiba kasih tugas ke Mima, asisten paling gak pernah dipilih.” Cengir Indra sembari mengulurkan pinset.“Tadi di lobi, sempat