Elia menahan langkahnya ketika melihat Wirasena sedang berbincang di telepon agar tidak mengganggu pria itu. Namun, ia terperanjat mendengar ucapan Wirasena dengan lawan bicaranya.
“Berhenti menghubungi Elia. Statusnya sudah berubah. Dia istri saya sekarang!”
“Siapa yang telfon, Prof?” celetuk Elia tanpa sadar.
Wirasena menoleh sekilas, lalu melanjutkan ucapannya. “Saya sangat menghargai bila Anda menjaga jarak secara profesional dengan Elia. Terima kasih.”
Dengan langkah cepat, Elia menghampiri Wirasena dan merebut ponsel di tangan pria itu, yang ternyata adalah miliknya.
“Anda menjawab panggilan saya?!” tanya Elia dengan nada tinggi.
“Ya. Nada deringnya keras dan berisik. Aku hanya menyelamatkan gendang telingaku,” kilah Wirasena dengan nada datar.
“Kenapa harus diangkat? Kenapa gak dimatikan?!” protes Elia kesal.
Wirasena menjauhkan kepalanya dengan alis
Dering panggilan dari ponsel Wirasena menghentikan romansa yang sedang berlangsung.“Ya.” Dingin dan singkat, begitulah cara Wirasena menjawab setiap dering teleponnya.“Oke. Minta OK siapkan cyto.” Wirasena memutus sambungan lebih dulu. Ia menatap Elia sejenak, lalu meraih tangan gadis itu. “Tukar pakaianmu. Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.”***Dalam perjalanan, mereka tidak saling bicara. Wirasena fokus dengan kemudinya, sedangkan Elia lebih memilih menoleh ke kiri, menatap jalanan dan pengemudi lain. Elia tahu, fokus Wirasena saat ini adalah pasien gawat darurat yang sedang menunggunya di meja operasi, bukan masalah mereka atau perasaannya.Mobil berhenti di area parkir yang disiapkan khusus untuk dokter. Letaknya lebih dekat ke gedung utama rumah sakit.“Saya tunggu di sini saja,” putus Elia tanpa melihat Wirasena.“Ikut aku turun.” Wirasena keluar dari mobi
Wirasena bekerja dengan cepat dan akurat di meja operasi seperti biasanya, meskipun hatinya tidak tenang meninggalkan Elia bersama Siwi. Bagaimanapun, Siwi pernah menyatakan perasaan dan ditolaknya. Wirasena khawatir, Siwi mengatakan hal-hal yang tidak seharusnya didengar Elia.“Mima, tutup lemak dan kulitnya. Saya ada keperluan mendesak.” Wirasena memberi instruksi pada asisten operatornya sebelum berbalik badan dan meninggalkan meja operasi.“Tumben diserahkan asisten? Biasanya diselesaikan sendiri sampai bersih,” bisik Indra—perawat instrumen—sambil melirik punggung Wirasena.“Beneran urgent artinya. Sudah, kerjakan saja. Jangan kepo!” tegur Sandi—dokter anastesi.“Iya, Dok. Aneh saja, operator paling pilih-pilih yang pernah ada di sini, tiba-tiba kasih tugas ke Mima, asisten paling gak pernah dipilih.” Cengir Indra sembari mengulurkan pinset.“Tadi di lobi, sempat
“Aku antar ke tempat Shinta. Masukkan alamatnya,” ucap Wirasena sambil menoleh ke spion kanan.Shinta mengajak Elia bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Shinta berkata ingin melepas stres dengan berbelanja, saat Elia menolak.“Hubungi aku kalau kamu sudah selesai,” pesan Wirasena saat menurunkan Elia di halaman parkir sebuah mal. “Kita bicara lagi nanti.”Elia hanya mengangguk tanpa bermaksud menyetujui rencana Wirasena. Ia hanya ingin pria itu segera berlalu dari hadapannya.Ketika bertemu Shinta, pikirannya yang kacau karena masalahnya sendiri, lenyap tak bersisa. Tanpa banyak bertanya, Elia memeluk erat sahabatnya itu. Wajah sembab Shinta sudah menjawab semua pertanyaan yang sejak tadi ditahannya.“Kita cari tempat ngobrol, yuk,” ajak Elia, tapi segera Shinta tolak.“Gak usah, kita muter-muter aja, ngabisin duit. Ngobrol malah bikin pening, El. Kita jalan-jalan aja sambil belanja.&rdq
Shinta terkejut mendengar Elia mengumpat sambil menutup wajahnya. Pasalnya, sahabatnya itu hampir-hampir tidak pernah mengeluarkan kata kasar dari bibir cantiknya. Dan kalau sampai Elia mengumpat, itu berarti suatu hal yang sudah keterlaluan.“Siapa, sih?!” tanya Shinta.Enggan menjawab, Elia menunjuk objek yang mengganggu matanya dengan telunjuk. “Tuh!”Brak!Shinta berdiri dengan tergesa hingga pahanya menabrak meja plastik dengan keras. “PAPA!”“Papa?” ulang Elia dengan wajah bingung.“Sialan! Masih berani bawa perempuan berkeliaran! Dasar gak punya malu!”Shinta bergegas keluar dari kursinya, tapi tangan Elia mencekalnya. “Eits, mau ngapain?!” pekik Elia panik.“Mau bikin perempuan itu jera!” sahut Shinta geram.Elia segera berdiri. Tangannya semakin erat mencekal tangan Shinta. “Tahan, Shin! Ini tempat umum. Jangan mempermaluka
Wirasena termenung sembari menunggu antrian. Sepanjang perjalanan menjemput Elia tadi, ia banyak berpikir. Ucapan dan tindakannya sepanjang hari ini, bisa jadi memberikan tekanan yang besar bagi Elia hingga gadis itu mengalami kram perut.Terlebih, sikap Tatik yang berusaha keras untuk kuat dan mandiri untuk menyambut cucunya, tapi malah disalahartikan Elia sebagai tindakan penolakan terhadap bantuannya."Ini tidak baik untuk Elia dan bayi dalam kandungannya," gumam Wirasena pada dirinya. "Aku harus menjauhkannya dari segala tekanan, terutama dari dendam masa laluku."Dengan tekad bulat, Wirasena kembali ke IGD dan menemui Elia. “Gimana?” tanya Wirasena begitu masuk ke dalam bilik.“Aku sudah kasih analgesik. Selanjutnya adalah bagianmu.” Elena menusuk perut Wirasena dengan lightpen miliknya. “Aku ingin bicara denganmu, empat mata!”“Nanti, El. Setelah semuanya selesai, aku akan mengaku dosa padamu
Menunggu Wirasena mengurus administrasi sembari mendengar Shinta dan Elena berbincang, Elia memikirkan dan menimbang semua yang terjadi hari ini hingga kram yang dialaminya. Deraan emosi dan masalah yang beruntun, sedangkan ia tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah membuatnya merasa tertekan dan sendirian.Elia mendesah tanpa sadar.Setelah Wirasena datang, hingga Elia terbaring di ranjang poli menjalani pemeriksaan USG, ia tidak benar-benar berada di tengah percakapan. Gerakan benda hitam kecil di dalam lingkaran putih yang tampil di layar USG, barulah menyadarkannya.“Owh …!” pekik Elia takjub. “Dia bergerak ….” Elia terisak melihat benda hitam kecil berenang dalam lingkaran.Reaksi Wirasena saat melihat bayi itu bergerak membuat Elia semakin yakin. ‘Dia hanya peduli pada bayimu, El. Tidak padamu,’ putus Elia dalam hati.Pun begitu, saat Wirasena tinggal berdua dengannya dan mengajaknya bicara, Elia sudah menarik sebuah kesimpulan. Meskipun, pria itu sudah meminta maaf padanya d
Di bawah teriknya sinar matahari, motor matic kesayangan Elia melaju lambat menyusuri jalanan kota. Urusan kelengkapan berkas, sudah diselesaikannya. Sekarang, tinggal menunggu panggilan magang dan dia akan menerima gaji tetap. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada kartu hitam pemberian Wirasena yang sengaja ditinggalnya di dalam laci meja riasnya.Elia memutuskan menepi di depan sebuah mobil losbak yang sedang kosong. Ia memarkir motornya merapat pada trotoar dan duduk di pinggiran. Elia hanya ingin menunda kepulangannya dan menghubungi Shinta tanpa kemungkinan ada yang mendengar percakapan mereka.[Halo, perkenalkan saya, Victoria. Silakan menghubungi kembali atau tinggalkan pesan. Nomer yang Anda hubungi sedang sibuk.]Elia terbahak mendengar kekonyolan Shinta.“Astaga … ngapain, sih?! Pasien kambuhan!” ejek Elia masih dengan senyum lebar yang tersisa.[Eh, elu. Gue kira Maswir yang nelpon. ‘Kan ngeri, ya, kalau sampai ke
“Kerja sama seperti apa yang Anda inginkan?” Shinta berpaling menghadap Wirasena dengan raut curiga.“Nanti. Pada saatnya, aku akan memberitahumu.”“Jangan minta saya untuk mengkhianati Elia!” tegas Shinta.Wirasena berdecih. “Dengan menerima tawaranku, artinya kamu siap mengkhianati persahabatan kalian. Tapi jangan khawatir, itu tidak akan merugikan sahabatmu.”Shinta menarik napas lega. “Itu sudah cukup buat saya. Asalkan Elia tidak dirugikan.”Mereka terus berkendara sampai Shinta menunjuk sebuah motor yang terparkir di kiri jalan. “Itu! Itu motor El!” pekiknya.“Astaga! Itu El!” pekik Shinta lagi saat melihat sosok perempuan bercardigan hijau kusam bersandar pada pohon besar.Wirasena buru-buru menepikan mobilnya dan keluar menghampiri Elia. “El, kamu baik-baik saja?” tanyanya seraya mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke mobil.“Tolong kamu bawa motor Elia ke rumah saya. Saya akan bawa Elia ke rumah sakit!” tegas Wirasena sambil memasang sabuk pengaman Elia.Puk.Tangan El