Di bawah teriknya sinar matahari, motor matic kesayangan Elia melaju lambat menyusuri jalanan kota. Urusan kelengkapan berkas, sudah diselesaikannya. Sekarang, tinggal menunggu panggilan magang dan dia akan menerima gaji tetap. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada kartu hitam pemberian Wirasena yang sengaja ditinggalnya di dalam laci meja riasnya.Elia memutuskan menepi di depan sebuah mobil losbak yang sedang kosong. Ia memarkir motornya merapat pada trotoar dan duduk di pinggiran. Elia hanya ingin menunda kepulangannya dan menghubungi Shinta tanpa kemungkinan ada yang mendengar percakapan mereka.[Halo, perkenalkan saya, Victoria. Silakan menghubungi kembali atau tinggalkan pesan. Nomer yang Anda hubungi sedang sibuk.]Elia terbahak mendengar kekonyolan Shinta.“Astaga … ngapain, sih?! Pasien kambuhan!” ejek Elia masih dengan senyum lebar yang tersisa.[Eh, elu. Gue kira Maswir yang nelpon. ‘Kan ngeri, ya, kalau sampai ke
“Kerja sama seperti apa yang Anda inginkan?” Shinta berpaling menghadap Wirasena dengan raut curiga.“Nanti. Pada saatnya, aku akan memberitahumu.”“Jangan minta saya untuk mengkhianati Elia!” tegas Shinta.Wirasena berdecih. “Dengan menerima tawaranku, artinya kamu siap mengkhianati persahabatan kalian. Tapi jangan khawatir, itu tidak akan merugikan sahabatmu.”Shinta menarik napas lega. “Itu sudah cukup buat saya. Asalkan Elia tidak dirugikan.”Mereka terus berkendara sampai Shinta menunjuk sebuah motor yang terparkir di kiri jalan. “Itu! Itu motor El!” pekiknya.“Astaga! Itu El!” pekik Shinta lagi saat melihat sosok perempuan bercardigan hijau kusam bersandar pada pohon besar.Wirasena buru-buru menepikan mobilnya dan keluar menghampiri Elia. “El, kamu baik-baik saja?” tanyanya seraya mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke mobil.“Tolong kamu bawa motor Elia ke rumah saya. Saya akan bawa Elia ke rumah sakit!” tegas Wirasena sambil memasang sabuk pengaman Elia.Puk.Tangan El
Pengguna jalan yang kebetulan lewat, membantu Agus memindahkan kedua korban ke atas brankar sesuai arahan Elia. Tangan cekatan Elia memeriksa dan memberikan pertolongan pertama pada wanita hamil lebih dulu. “Pak, lepaskan helmnya perlahan. Usahakan jangan sampai menyentuh kepalanya. Saya akan tahan di sini.” Elia memberikan instruksi dengan yakin. Agus mengangguk. Di luar dugaan, tangan Agus sangat cekatan dan ahli, tidak seperti kekhawatiran Elia. Perawat itu melepas helm dan memasang penyangga leher dengan cepat dan tepat. “Nice!” puji Elia setelah meletakkan kepala pasien. “Pak, tolong periksa kondisi anaknya. Saya kerjakan yang di sini.” Agus mengangguk lagi. Ia bergeser ke ranjang sebelah. Anak kecil tadi mulai sadar dan menangis kesakitan. “Cup, cup. Sakit, ya? Mana yang sakit? Bisa tunjukkan ke saya? Biar saya obati dengan tongkat ajaib.” Agus mengacungkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Bocah kecil itu menangis
Mata Elia berbinar. “Serius, Raf? Klinik yang sekarang, ke depannya akan jadi Klinik Bersalin? Wahh, keren!”“Kenapa? Seneng banget. Semakin dekat dengan cita-citamu sebagai dokter anak?” Rafi menelengkan kepalanya ke arah Elia. “Kenapa dokter anak? Kenapa bukan bedah estetik atau TKV?”“Entahlah, mungkin karena aku tidak punya saudara,” desah Elia sambil mencermati jalanan. “Lho, kok beloknya ke sini?!” Elia memalingkan kepalanya menengok ke jalan yang seharusnya ia lalui. “Aku masih harus kerja, Raf. Kalau masih ada yang ingin kamu tanyakan, nanti, setelah jam kerjaku berakhir.”Alih-alih mengikuti perkataan Elia, Rafi menginjak pedal gasnya semakin dalam, melaju semakin cepat dan jauh meninggalkan klinik.“Aku sudah minta salah satu dokter jaga Medistra naik ambulans dan menggantikanmu hari ini.”“Minggir!” tegas Elia dengan punggung tegak, menjauh da
‘Haruskah aku tanyakan padanya? Tapi, kalau aku tetap diam, aku tidak akan tahu alasannya menikahi duda yang usianya terpaut jauh dengannya, bukan?’ debat Rafi dalam hati.“Aku bukan lagi Elia yang kamu kenal, Raf. Kamu tidak akan bisa mengerti.” Kedua tangan Elia mengepal erat di atas tas selempangnya.“Kamu hamil, El?”Akhirnya, pertanyaan itu terlontar dari mulut Rafi. Elia tersentak kaget mendapati Rafi yang saat ini bersamanya, tidak seperti Rafi yang dikenalnya.“Apa kamu bilang? Hamil?”“Iya, hamil. Alasan apalagi yang perlu disembunyikan dan membuatmu menjadi cewek ceroboh dalam mengambil keputusan?” Rafi memicingkan mata menunggu jawaban Elia.Elia memejamkan mata dan menata napasnya sebelum berkata, “Ya, aku memang sedang mengandung anaknya.”Ia membuka matanya perlahan, penasaran melihat reaksi Rafi setelah mendengar jawabannya. Pria itu memukulkan kepa
“Ahh!” pekiknya kaget. “Pintunya,” imbuh Elia sembari melemparkan tatapan kesal ke arah Wirasena.Susan yang melihatnya dari ambang pintu kamarnya, meremas gelas kosong di tangannya. Hatinya semakin panas saat ia pergi ke meja makan dan melihat Marni terkikik geli dengan mata mengarah ke ruang tamu.“Apa yang lucu?!” hardik Susan kesal.“Itu lho, Mbak.” Marni tidak mampu berkata, hanya menunjuk ke arah Wirasena dengan Elia yang sibuk meronta dalam gendongannya. “Lucu mereka. Namanya juga penganten baru, ya. Masih muesra, nggemesin.” Marni kembali terkikik dengan wajah merona.“Ngaca sana! Mukamu sudah mirip kepiting rebus! Jorok!”Bentakan Susan tidak membuat Marni berhenti, tapi makin menjadi, seolah senang melihat kecemburuan yang membakar Susan.“Dih!” Susan menghentak gelasnya ke meja dan berlalu meninggalkan Marni yang mengabaikannya.Wirasena mem
‘Sial! Kenapa aku berdebar begini?’ umpat Wirasena dalam hati. ‘Memalukan!’Wirasena merapatkan kepala Elia ke dadanya untuk melindungi gadis itu dan yang terutama, dirinya sendiri. Ia menganggukkan kepala saat Surya menatapnya meminta persetujuan untuk memulai tindakannya.Surya kembali menyiapkan diri. “Satu … dua … tiga!”Klek.“Argh …!” teriak Elia teredam dalam dekapan Wirasena. Seketika, matanya basah seiring denyutan menyakitkan yang berlipat-lipat di pergelangannya.“Shh … sudah selesai, El,” bisik Wirasena di puncak kepala Elia. Dihujaninya kepala beraroma campuran lemon dan mint segar itu dengan kecupan lembut. “Kamu hebat, El.”Tangan kiri Elia beralih ke pinggang liat Wirasena dan mencengkeramnya kuat, menyalurkan rasa sakit yang menderanya. “Sakit,” desisnya.Setelahnya, Elia tidak merasakan apa-apa lagi selain
Pucuk di cinta, ulam tiba. Itulah pepatah yang tepat menggambarkan situasinya saat ini. Sejak beberapa bulan lalu, Armand kebingungan memutuskan kandidat calon direktur operasional untuk klinik bersalin yang baru selesai dibangunnya. Beberapa koleganya menyarankan nama-nama yang tidak sesuai dengan hatinya, tapi nama yang menurutnya layak, ditolak oleh jajaran direksi.Hari ini, nama yang selalu menjadi kandidat di hatinya, duduk tenang di lobi rumah sakitnya sambil memainkan gawai.“Mungkin ini yang dinamakan takdir,” gumam Armand dengan hati penuh syukur. “Wira?!” tegurnya dengan harapan baru.Dan beginilah akhirnya, mereka berada dalam ruangan yang sama, memberikan Armand kesempatan untuk menyampaikan niatnya dan menunggu jawaban Wirasena. Namun, ada sedikit ganjalan yang harus Armand luruskan sebelum membawa Wirasena masuk ke jajaran petinggi klinik.“Sebenarnya, saya mencari kontakmu ke beberapa kenalan. Mereka banyak ya
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan