Wirasena termenung sembari menunggu antrian. Sepanjang perjalanan menjemput Elia tadi, ia banyak berpikir. Ucapan dan tindakannya sepanjang hari ini, bisa jadi memberikan tekanan yang besar bagi Elia hingga gadis itu mengalami kram perut.
Terlebih, sikap Tatik yang berusaha keras untuk kuat dan mandiri untuk menyambut cucunya, tapi malah disalahartikan Elia sebagai tindakan penolakan terhadap bantuannya.
"Ini tidak baik untuk Elia dan bayi dalam kandungannya," gumam Wirasena pada dirinya. "Aku harus menjauhkannya dari segala tekanan, terutama dari dendam masa laluku."
Dengan tekad bulat, Wirasena kembali ke IGD dan menemui Elia. “Gimana?” tanya Wirasena begitu masuk ke dalam bilik.
“Aku sudah kasih analgesik. Selanjutnya adalah bagianmu.” Elena menusuk perut Wirasena dengan lightpen miliknya. “Aku ingin bicara denganmu, empat mata!”
“Nanti, El. Setelah semuanya selesai, aku akan mengaku dosa padamu
Menunggu Wirasena mengurus administrasi sembari mendengar Shinta dan Elena berbincang, Elia memikirkan dan menimbang semua yang terjadi hari ini hingga kram yang dialaminya. Deraan emosi dan masalah yang beruntun, sedangkan ia tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah membuatnya merasa tertekan dan sendirian.Elia mendesah tanpa sadar.Setelah Wirasena datang, hingga Elia terbaring di ranjang poli menjalani pemeriksaan USG, ia tidak benar-benar berada di tengah percakapan. Gerakan benda hitam kecil di dalam lingkaran putih yang tampil di layar USG, barulah menyadarkannya.“Owh …!” pekik Elia takjub. “Dia bergerak ….” Elia terisak melihat benda hitam kecil berenang dalam lingkaran.Reaksi Wirasena saat melihat bayi itu bergerak membuat Elia semakin yakin. ‘Dia hanya peduli pada bayimu, El. Tidak padamu,’ putus Elia dalam hati.Pun begitu, saat Wirasena tinggal berdua dengannya dan mengajaknya bicara, Elia sudah menarik sebuah kesimpulan. Meskipun, pria itu sudah meminta maaf padanya d
Di bawah teriknya sinar matahari, motor matic kesayangan Elia melaju lambat menyusuri jalanan kota. Urusan kelengkapan berkas, sudah diselesaikannya. Sekarang, tinggal menunggu panggilan magang dan dia akan menerima gaji tetap. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada kartu hitam pemberian Wirasena yang sengaja ditinggalnya di dalam laci meja riasnya.Elia memutuskan menepi di depan sebuah mobil losbak yang sedang kosong. Ia memarkir motornya merapat pada trotoar dan duduk di pinggiran. Elia hanya ingin menunda kepulangannya dan menghubungi Shinta tanpa kemungkinan ada yang mendengar percakapan mereka.[Halo, perkenalkan saya, Victoria. Silakan menghubungi kembali atau tinggalkan pesan. Nomer yang Anda hubungi sedang sibuk.]Elia terbahak mendengar kekonyolan Shinta.“Astaga … ngapain, sih?! Pasien kambuhan!” ejek Elia masih dengan senyum lebar yang tersisa.[Eh, elu. Gue kira Maswir yang nelpon. ‘Kan ngeri, ya, kalau sampai ke
“Kerja sama seperti apa yang Anda inginkan?” Shinta berpaling menghadap Wirasena dengan raut curiga.“Nanti. Pada saatnya, aku akan memberitahumu.”“Jangan minta saya untuk mengkhianati Elia!” tegas Shinta.Wirasena berdecih. “Dengan menerima tawaranku, artinya kamu siap mengkhianati persahabatan kalian. Tapi jangan khawatir, itu tidak akan merugikan sahabatmu.”Shinta menarik napas lega. “Itu sudah cukup buat saya. Asalkan Elia tidak dirugikan.”Mereka terus berkendara sampai Shinta menunjuk sebuah motor yang terparkir di kiri jalan. “Itu! Itu motor El!” pekiknya.“Astaga! Itu El!” pekik Shinta lagi saat melihat sosok perempuan bercardigan hijau kusam bersandar pada pohon besar.Wirasena buru-buru menepikan mobilnya dan keluar menghampiri Elia. “El, kamu baik-baik saja?” tanyanya seraya mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke mobil.“Tolong kamu bawa motor Elia ke rumah saya. Saya akan bawa Elia ke rumah sakit!” tegas Wirasena sambil memasang sabuk pengaman Elia.Puk.Tangan El
Pengguna jalan yang kebetulan lewat, membantu Agus memindahkan kedua korban ke atas brankar sesuai arahan Elia. Tangan cekatan Elia memeriksa dan memberikan pertolongan pertama pada wanita hamil lebih dulu. “Pak, lepaskan helmnya perlahan. Usahakan jangan sampai menyentuh kepalanya. Saya akan tahan di sini.” Elia memberikan instruksi dengan yakin. Agus mengangguk. Di luar dugaan, tangan Agus sangat cekatan dan ahli, tidak seperti kekhawatiran Elia. Perawat itu melepas helm dan memasang penyangga leher dengan cepat dan tepat. “Nice!” puji Elia setelah meletakkan kepala pasien. “Pak, tolong periksa kondisi anaknya. Saya kerjakan yang di sini.” Agus mengangguk lagi. Ia bergeser ke ranjang sebelah. Anak kecil tadi mulai sadar dan menangis kesakitan. “Cup, cup. Sakit, ya? Mana yang sakit? Bisa tunjukkan ke saya? Biar saya obati dengan tongkat ajaib.” Agus mengacungkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Bocah kecil itu menangis
Mata Elia berbinar. “Serius, Raf? Klinik yang sekarang, ke depannya akan jadi Klinik Bersalin? Wahh, keren!”“Kenapa? Seneng banget. Semakin dekat dengan cita-citamu sebagai dokter anak?” Rafi menelengkan kepalanya ke arah Elia. “Kenapa dokter anak? Kenapa bukan bedah estetik atau TKV?”“Entahlah, mungkin karena aku tidak punya saudara,” desah Elia sambil mencermati jalanan. “Lho, kok beloknya ke sini?!” Elia memalingkan kepalanya menengok ke jalan yang seharusnya ia lalui. “Aku masih harus kerja, Raf. Kalau masih ada yang ingin kamu tanyakan, nanti, setelah jam kerjaku berakhir.”Alih-alih mengikuti perkataan Elia, Rafi menginjak pedal gasnya semakin dalam, melaju semakin cepat dan jauh meninggalkan klinik.“Aku sudah minta salah satu dokter jaga Medistra naik ambulans dan menggantikanmu hari ini.”“Minggir!” tegas Elia dengan punggung tegak, menjauh da
‘Haruskah aku tanyakan padanya? Tapi, kalau aku tetap diam, aku tidak akan tahu alasannya menikahi duda yang usianya terpaut jauh dengannya, bukan?’ debat Rafi dalam hati.“Aku bukan lagi Elia yang kamu kenal, Raf. Kamu tidak akan bisa mengerti.” Kedua tangan Elia mengepal erat di atas tas selempangnya.“Kamu hamil, El?”Akhirnya, pertanyaan itu terlontar dari mulut Rafi. Elia tersentak kaget mendapati Rafi yang saat ini bersamanya, tidak seperti Rafi yang dikenalnya.“Apa kamu bilang? Hamil?”“Iya, hamil. Alasan apalagi yang perlu disembunyikan dan membuatmu menjadi cewek ceroboh dalam mengambil keputusan?” Rafi memicingkan mata menunggu jawaban Elia.Elia memejamkan mata dan menata napasnya sebelum berkata, “Ya, aku memang sedang mengandung anaknya.”Ia membuka matanya perlahan, penasaran melihat reaksi Rafi setelah mendengar jawabannya. Pria itu memukulkan kepa
“Ahh!” pekiknya kaget. “Pintunya,” imbuh Elia sembari melemparkan tatapan kesal ke arah Wirasena.Susan yang melihatnya dari ambang pintu kamarnya, meremas gelas kosong di tangannya. Hatinya semakin panas saat ia pergi ke meja makan dan melihat Marni terkikik geli dengan mata mengarah ke ruang tamu.“Apa yang lucu?!” hardik Susan kesal.“Itu lho, Mbak.” Marni tidak mampu berkata, hanya menunjuk ke arah Wirasena dengan Elia yang sibuk meronta dalam gendongannya. “Lucu mereka. Namanya juga penganten baru, ya. Masih muesra, nggemesin.” Marni kembali terkikik dengan wajah merona.“Ngaca sana! Mukamu sudah mirip kepiting rebus! Jorok!”Bentakan Susan tidak membuat Marni berhenti, tapi makin menjadi, seolah senang melihat kecemburuan yang membakar Susan.“Dih!” Susan menghentak gelasnya ke meja dan berlalu meninggalkan Marni yang mengabaikannya.Wirasena mem
‘Sial! Kenapa aku berdebar begini?’ umpat Wirasena dalam hati. ‘Memalukan!’Wirasena merapatkan kepala Elia ke dadanya untuk melindungi gadis itu dan yang terutama, dirinya sendiri. Ia menganggukkan kepala saat Surya menatapnya meminta persetujuan untuk memulai tindakannya.Surya kembali menyiapkan diri. “Satu … dua … tiga!”Klek.“Argh …!” teriak Elia teredam dalam dekapan Wirasena. Seketika, matanya basah seiring denyutan menyakitkan yang berlipat-lipat di pergelangannya.“Shh … sudah selesai, El,” bisik Wirasena di puncak kepala Elia. Dihujaninya kepala beraroma campuran lemon dan mint segar itu dengan kecupan lembut. “Kamu hebat, El.”Tangan kiri Elia beralih ke pinggang liat Wirasena dan mencengkeramnya kuat, menyalurkan rasa sakit yang menderanya. “Sakit,” desisnya.Setelahnya, Elia tidak merasakan apa-apa lagi selain