Pengguna jalan yang kebetulan lewat, membantu Agus memindahkan kedua korban ke atas brankar sesuai arahan Elia. Tangan cekatan Elia memeriksa dan memberikan pertolongan pertama pada wanita hamil lebih dulu.
“Pak, lepaskan helmnya perlahan. Usahakan jangan sampai menyentuh kepalanya. Saya akan tahan di sini.” Elia memberikan instruksi dengan yakin.
Agus mengangguk. Di luar dugaan, tangan Agus sangat cekatan dan ahli, tidak seperti kekhawatiran Elia. Perawat itu melepas helm dan memasang penyangga leher dengan cepat dan tepat.
“Nice!” puji Elia setelah meletakkan kepala pasien. “Pak, tolong periksa kondisi anaknya. Saya kerjakan yang di sini.”
Agus mengangguk lagi. Ia bergeser ke ranjang sebelah. Anak kecil tadi mulai sadar dan menangis kesakitan.
“Cup, cup. Sakit, ya? Mana yang sakit? Bisa tunjukkan ke saya? Biar saya obati dengan tongkat ajaib.” Agus mengacungkan stetoskop yang menggantung di lehernya.
Bocah kecil itu menangis
Mata Elia berbinar. “Serius, Raf? Klinik yang sekarang, ke depannya akan jadi Klinik Bersalin? Wahh, keren!”“Kenapa? Seneng banget. Semakin dekat dengan cita-citamu sebagai dokter anak?” Rafi menelengkan kepalanya ke arah Elia. “Kenapa dokter anak? Kenapa bukan bedah estetik atau TKV?”“Entahlah, mungkin karena aku tidak punya saudara,” desah Elia sambil mencermati jalanan. “Lho, kok beloknya ke sini?!” Elia memalingkan kepalanya menengok ke jalan yang seharusnya ia lalui. “Aku masih harus kerja, Raf. Kalau masih ada yang ingin kamu tanyakan, nanti, setelah jam kerjaku berakhir.”Alih-alih mengikuti perkataan Elia, Rafi menginjak pedal gasnya semakin dalam, melaju semakin cepat dan jauh meninggalkan klinik.“Aku sudah minta salah satu dokter jaga Medistra naik ambulans dan menggantikanmu hari ini.”“Minggir!” tegas Elia dengan punggung tegak, menjauh da
‘Haruskah aku tanyakan padanya? Tapi, kalau aku tetap diam, aku tidak akan tahu alasannya menikahi duda yang usianya terpaut jauh dengannya, bukan?’ debat Rafi dalam hati.“Aku bukan lagi Elia yang kamu kenal, Raf. Kamu tidak akan bisa mengerti.” Kedua tangan Elia mengepal erat di atas tas selempangnya.“Kamu hamil, El?”Akhirnya, pertanyaan itu terlontar dari mulut Rafi. Elia tersentak kaget mendapati Rafi yang saat ini bersamanya, tidak seperti Rafi yang dikenalnya.“Apa kamu bilang? Hamil?”“Iya, hamil. Alasan apalagi yang perlu disembunyikan dan membuatmu menjadi cewek ceroboh dalam mengambil keputusan?” Rafi memicingkan mata menunggu jawaban Elia.Elia memejamkan mata dan menata napasnya sebelum berkata, “Ya, aku memang sedang mengandung anaknya.”Ia membuka matanya perlahan, penasaran melihat reaksi Rafi setelah mendengar jawabannya. Pria itu memukulkan kepa
“Ahh!” pekiknya kaget. “Pintunya,” imbuh Elia sembari melemparkan tatapan kesal ke arah Wirasena.Susan yang melihatnya dari ambang pintu kamarnya, meremas gelas kosong di tangannya. Hatinya semakin panas saat ia pergi ke meja makan dan melihat Marni terkikik geli dengan mata mengarah ke ruang tamu.“Apa yang lucu?!” hardik Susan kesal.“Itu lho, Mbak.” Marni tidak mampu berkata, hanya menunjuk ke arah Wirasena dengan Elia yang sibuk meronta dalam gendongannya. “Lucu mereka. Namanya juga penganten baru, ya. Masih muesra, nggemesin.” Marni kembali terkikik dengan wajah merona.“Ngaca sana! Mukamu sudah mirip kepiting rebus! Jorok!”Bentakan Susan tidak membuat Marni berhenti, tapi makin menjadi, seolah senang melihat kecemburuan yang membakar Susan.“Dih!” Susan menghentak gelasnya ke meja dan berlalu meninggalkan Marni yang mengabaikannya.Wirasena mem
‘Sial! Kenapa aku berdebar begini?’ umpat Wirasena dalam hati. ‘Memalukan!’Wirasena merapatkan kepala Elia ke dadanya untuk melindungi gadis itu dan yang terutama, dirinya sendiri. Ia menganggukkan kepala saat Surya menatapnya meminta persetujuan untuk memulai tindakannya.Surya kembali menyiapkan diri. “Satu … dua … tiga!”Klek.“Argh …!” teriak Elia teredam dalam dekapan Wirasena. Seketika, matanya basah seiring denyutan menyakitkan yang berlipat-lipat di pergelangannya.“Shh … sudah selesai, El,” bisik Wirasena di puncak kepala Elia. Dihujaninya kepala beraroma campuran lemon dan mint segar itu dengan kecupan lembut. “Kamu hebat, El.”Tangan kiri Elia beralih ke pinggang liat Wirasena dan mencengkeramnya kuat, menyalurkan rasa sakit yang menderanya. “Sakit,” desisnya.Setelahnya, Elia tidak merasakan apa-apa lagi selain
Pucuk di cinta, ulam tiba. Itulah pepatah yang tepat menggambarkan situasinya saat ini. Sejak beberapa bulan lalu, Armand kebingungan memutuskan kandidat calon direktur operasional untuk klinik bersalin yang baru selesai dibangunnya. Beberapa koleganya menyarankan nama-nama yang tidak sesuai dengan hatinya, tapi nama yang menurutnya layak, ditolak oleh jajaran direksi.Hari ini, nama yang selalu menjadi kandidat di hatinya, duduk tenang di lobi rumah sakitnya sambil memainkan gawai.“Mungkin ini yang dinamakan takdir,” gumam Armand dengan hati penuh syukur. “Wira?!” tegurnya dengan harapan baru.Dan beginilah akhirnya, mereka berada dalam ruangan yang sama, memberikan Armand kesempatan untuk menyampaikan niatnya dan menunggu jawaban Wirasena. Namun, ada sedikit ganjalan yang harus Armand luruskan sebelum membawa Wirasena masuk ke jajaran petinggi klinik.“Sebenarnya, saya mencari kontakmu ke beberapa kenalan. Mereka banyak ya
Tawaran Rossa membawakan mangga hasil kebun sendiri sebagai buah tangan untuk Elia memberi kesempatan Wirasena untuk bicara secara pribadi dengan wanita itu. Wirasena sengaja menyusul Rossa ke belakang dengan alasan ingin pergi ke toilet.“Aku ingin tahu apa kamu mengingat wanita yang kamu renggut kebahagiaannya,” gumam Wirasena sembari mengekori langkah Rossa.Detik berikutnya, Wirasena hanya mendengar wanita itu berceloteh sambil merespon seperlunya. Benaknya penuh dengan kenangan masa mudanya yang mendadak gelap sejak kehadiran Rossana di tengah keluarganya. Sampai akhirnya, Wirasena berkesempatan mengingatkan wanita itu tentang ibunya.“Caranya makan mangga, mengingatkan saya pada seseorang.” Wirasena menatap keratin daging mangga yang mekar di tangannya.Tatapan Rossa menunjukkan rasa penasaran. “Siapa?”“Ibu saya, Ratna Hapsari.”Pisau di tangan Rossa jatuh ke lantai, nyaris mengenai jari kakinya. “S-siapa namanya?”Guratan senyum samar terukir di kedua sudut bibir Wirasena mend
Barata dan Elena saling pandang dengan wajah tercengang. Pengakuan yang mereka dengar langsung dari Wirasena cukup mengagetkan. Sebelumnya, mereka sudah mendengar rumor yang beredar di kalangan rekan kerja terkait alasan pernikahan Wirasena yang terkesan mendadak, tapi menahannya.Barata yang pertama kali sadar dan berpaling menatap Wirasena.“Tunggu, jadi maksudmu, alasanmu menikahi Elia karena dia hamil?” Raut wajah Barata menjadi tidak bersahabat.Wirasena mengangguk lemas.“Bukannya aku sudah bilang padamu, bantu aku menjaganya, Wir. Ini apa?!” Nada kecewa terdengar jelas dari ucapan Barata. “Masalahnya sudah bertumpuk setelah kepergian ayahnya, tapi apa ini?!”“Tenang, Mas. Biarkan Wira jelaskan dulu. Masalahnya bukan kehamilan Elia, mereka ternyata bersaudara. Fokus, Mas.” Elena mengelus punggung Barata agar lebih tenang.Mata Wirasena memicing curiga melihat reaksi Barata yang menurutnya berlebihan. Ia membetulkan posisi duduknya.“Selama ini aku tidak menyadarinya, tapi sekara
Elia sedang meringkuk di sofa besar kamarnya yang menghadap taman kecil dengan mata terpejam ketika Wirasena masuk. Pria itu berjalan mengendap menghampiri Elia dan berdiri diam memperhatikan wajah cantik yang semakin hari semakin tirus, tapi membuatnya rindu ingin terus melihat.Tangan Wirasena tidak tahan untuk tidak menyentuh anak rambut yang berjatuhan di dahi Elia. Kakinya menekuk ke depan, mengikis jarak antara mereka. Pelan, ujung jari Wirasena menyingkirkan anak rambut Elia.“Benarkah kamu anak ayahku?” gumam Wirasena sedih.Buku jari luarnya turun mengusap lembut pipi Elia. Rasa geli membuat mata Elia mengerjap dan terbuka perlahan.“Prof?”Cup.Mata yang masih redup karena kantuk seketika terbuka lebar akibat kecupan bibir Wirasena di bibirnya. “Mas Wira!”“Bagus,” sahut Wirasena datar seraya duduk menghimpit tubuh Elia sambil berhadapan. “Ada hal penting yang ingin aku tanyakan.”Elia menarik tubuhnya duduk sembari menutup hidungnya, membuat Wirasena mendengus dan beringsut