Pucuk di cinta, ulam tiba. Itulah pepatah yang tepat menggambarkan situasinya saat ini. Sejak beberapa bulan lalu, Armand kebingungan memutuskan kandidat calon direktur operasional untuk klinik bersalin yang baru selesai dibangunnya. Beberapa koleganya menyarankan nama-nama yang tidak sesuai dengan hatinya, tapi nama yang menurutnya layak, ditolak oleh jajaran direksi.
Hari ini, nama yang selalu menjadi kandidat di hatinya, duduk tenang di lobi rumah sakitnya sambil memainkan gawai.
“Mungkin ini yang dinamakan takdir,” gumam Armand dengan hati penuh syukur. “Wira?!” tegurnya dengan harapan baru.
Dan beginilah akhirnya, mereka berada dalam ruangan yang sama, memberikan Armand kesempatan untuk menyampaikan niatnya dan menunggu jawaban Wirasena. Namun, ada sedikit ganjalan yang harus Armand luruskan sebelum membawa Wirasena masuk ke jajaran petinggi klinik.
“Sebenarnya, saya mencari kontakmu ke beberapa kenalan. Mereka banyak ya
Tawaran Rossa membawakan mangga hasil kebun sendiri sebagai buah tangan untuk Elia memberi kesempatan Wirasena untuk bicara secara pribadi dengan wanita itu. Wirasena sengaja menyusul Rossa ke belakang dengan alasan ingin pergi ke toilet.“Aku ingin tahu apa kamu mengingat wanita yang kamu renggut kebahagiaannya,” gumam Wirasena sembari mengekori langkah Rossa.Detik berikutnya, Wirasena hanya mendengar wanita itu berceloteh sambil merespon seperlunya. Benaknya penuh dengan kenangan masa mudanya yang mendadak gelap sejak kehadiran Rossana di tengah keluarganya. Sampai akhirnya, Wirasena berkesempatan mengingatkan wanita itu tentang ibunya.“Caranya makan mangga, mengingatkan saya pada seseorang.” Wirasena menatap keratin daging mangga yang mekar di tangannya.Tatapan Rossa menunjukkan rasa penasaran. “Siapa?”“Ibu saya, Ratna Hapsari.”Pisau di tangan Rossa jatuh ke lantai, nyaris mengenai jari kakinya. “S-siapa namanya?”Guratan senyum samar terukir di kedua sudut bibir Wirasena mend
Barata dan Elena saling pandang dengan wajah tercengang. Pengakuan yang mereka dengar langsung dari Wirasena cukup mengagetkan. Sebelumnya, mereka sudah mendengar rumor yang beredar di kalangan rekan kerja terkait alasan pernikahan Wirasena yang terkesan mendadak, tapi menahannya.Barata yang pertama kali sadar dan berpaling menatap Wirasena.“Tunggu, jadi maksudmu, alasanmu menikahi Elia karena dia hamil?” Raut wajah Barata menjadi tidak bersahabat.Wirasena mengangguk lemas.“Bukannya aku sudah bilang padamu, bantu aku menjaganya, Wir. Ini apa?!” Nada kecewa terdengar jelas dari ucapan Barata. “Masalahnya sudah bertumpuk setelah kepergian ayahnya, tapi apa ini?!”“Tenang, Mas. Biarkan Wira jelaskan dulu. Masalahnya bukan kehamilan Elia, mereka ternyata bersaudara. Fokus, Mas.” Elena mengelus punggung Barata agar lebih tenang.Mata Wirasena memicing curiga melihat reaksi Barata yang menurutnya berlebihan. Ia membetulkan posisi duduknya.“Selama ini aku tidak menyadarinya, tapi sekara
Elia sedang meringkuk di sofa besar kamarnya yang menghadap taman kecil dengan mata terpejam ketika Wirasena masuk. Pria itu berjalan mengendap menghampiri Elia dan berdiri diam memperhatikan wajah cantik yang semakin hari semakin tirus, tapi membuatnya rindu ingin terus melihat.Tangan Wirasena tidak tahan untuk tidak menyentuh anak rambut yang berjatuhan di dahi Elia. Kakinya menekuk ke depan, mengikis jarak antara mereka. Pelan, ujung jari Wirasena menyingkirkan anak rambut Elia.“Benarkah kamu anak ayahku?” gumam Wirasena sedih.Buku jari luarnya turun mengusap lembut pipi Elia. Rasa geli membuat mata Elia mengerjap dan terbuka perlahan.“Prof?”Cup.Mata yang masih redup karena kantuk seketika terbuka lebar akibat kecupan bibir Wirasena di bibirnya. “Mas Wira!”“Bagus,” sahut Wirasena datar seraya duduk menghimpit tubuh Elia sambil berhadapan. “Ada hal penting yang ingin aku tanyakan.”Elia menarik tubuhnya duduk sembari menutup hidungnya, membuat Wirasena mendengus dan beringsut
Pandangan mata sinis Susan mengiring kepergian Elia dan Mika. Wirasena yang melihatnya hanya diam dan berlalu melewati Susan menuju meja makan. Diambilnya sebuah roti bakar buatan Marni dan dilahapnya sambil berdiri.“Duduk, Mas.” Susan menarik sebuah kursi keluar dari bawah meja. “Ada yang ingin aku bicarakan.”“Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu,” ketus Wirasena sambil terus mengunyah rotinya.“Jangan ulangi lagi membentakku di depan Mika demi perempuan itu!” Mata Susan menatap tajam ke arah Wirasena yang seketika berhenti mengunyah.“Kamu bisa tinggalkan rumah ini bila tidak berkenan dengan sikap pemilik rumah. Bukan begitu? Seingatku, aku tidak pernah memintamu tinggal atau melarangmu pergi.” Setelah berkata demikian, Wirasena menuju kamar Tatik untuk berpamitan.“Bu,” panggil Wirasena sopan.“Ya,” sahut Tatik dari dalam kamar.Wirasena men
Sudah setengah jam berlalu sejak bel pertanda pulang berdering, tapi Wirasena belum melihat sosok Elia ataupun Mika keluar dari gedung sekolah. Ia pun memutuskan untuk keluar dari mobil dan mencari.Situasi sekolah lumayan sepi karena sudah banyak siswa yang meninggalkan sekolah. Wirasena berjalan menuju ruang FO yang sempat dibacanya dari dalam mobil karena iseng.“Permisi.”“Ya, Pak. Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang petugas dari balik meja.“Saya ingin menjemput Mikayla. Di mana kelasnya?” tanya Wirasena.“Maaf, Pak. Biasanya anak-anak akan menunggu jemputan di taman bermain sebelah sana.” Petugas itu menunjuk ruangan teduh berpagar besi penuh dengan berbagai macam wahana bermain.“Oke. Kalau ruang kelasnya di mana?” ulang Wirasena kukuh.Ekspresi keramahan petugas FO mulai memudar perlahan, tapi senyumnya tetap bertahan pada ukuran simetris. “Mikayla kelas apa,
Selesai mengganti kemeja basah Elia, Wirasena menutupi Elia dengan selimut dan beralih ke celana. Jarinya ragu sejenak, diam di atas pengait celana katun istrinya. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam, membulatkan tekad dan keberanian.“Maaf,” lirihnya sambil mulai bekerja.Gerakan jarinya ragu melepas pengait celana Elia. Hatinya kebat-kebit mengingat kejadian malam itu. Meskipun dalam kondisi setangah sadar, otak cerdas Wirasena mengingat setiap detail peristiwa dan jengkal kulit Elia.“Ish!” gerutunya, ketika zipper celana itu tersangkut dan sulit lepas. “Ayolah …!” keluhnya.“Kenapa, Pa?” tanya Mika penasaran sambil menengok ke belakang.“Lihat depan!” tukas Wirasena datar.Perhatiannya tetap tertuju pada masalah yang menunggunya di balik selimut. Jantung Wirasena berdegup kencang manakala buku jarinya tidak sengaja menyentuh kain berenda di balik celana katun.“Sial!” umpatnya lagi.“Papa,” tegur Mika dengan kepala tetap menghadap lurus ke kaca belakang mobil. “Oma bilang, ga
Setelah memastikan kondisi dalam rumah aman terkendali, Wirasena kembali ke depan berencana mmeinta Elia segera turun. Ia terkejut mendapati tangan sehat Elia melambai ke arahnya, lebih terkejut lagi saat gadis itu menggerakkan bibirnya meminta dia mendekat.“Dia benar-benar tidak sadar pengaruhnya terhadapku,” gumam Wirasena dari ambang pintu.Degup jantungnya masih belum pulih setelah membantu Elia mengganti pakaian tadi, apalagi setelah mengetahui ternyata gadis itu sudah sadar sejak entah kapan dan membiarkan semua yang Wirasena lakukan padanya.“Apa maunya dia?” Rahang Wirasena terkatup rapat. “Bukankah tindakannya itu mencerminkan bagaimana ibunya ketika menggoda ayahku?”“Turun saja!” balas Wirasena dari tempatnya berdiri. “Aku akan mengabaikanmu mulai sekarang,” tekad Wirasena bulat.Dari dalam mobil, Elia terbeliak mendengar ucapan Wirasena yang tidak berperasaan. “Astaga, t
“Panjul siapa yang kamu maksud, hah?! Jangan asal bicara dan menimbulkan masalah baru untukku.” Elia mendorong bahu Shinta gemas.Shinta menatap Elia lebih cermat. “Menambah masalah baru? Memangnya kalian punya masalah lain lagi?”Elia menggeleng malas dan menjauhi sahabatnya. Ia mengambil dua kemeja yang masih tertinggal di dalam koper dan memindahkannya ke lemari.“Sekedar info, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini sendirian, ketimbang harus serumah dengan orang aneh seperti mereka. Dan, aku tidak berniat menjalin masalah baru yang berkaitan dengan laki-laki.”Elia berbalik sambil berkacak pinggang. “Sekarang, tolong jelaskan siapa panjul yang kamu maksud.”“Owh.” Shinta tersipu malu.“Oh?!” Elia mendelik kesal.“Panjul itu panjang menjulang. Alias, itunya si itu.” Shinta terkikik geli melihat rona Elia berubah merah padam.Plak.