Sudah setengah jam berlalu sejak bel pertanda pulang berdering, tapi Wirasena belum melihat sosok Elia ataupun Mika keluar dari gedung sekolah. Ia pun memutuskan untuk keluar dari mobil dan mencari.
Situasi sekolah lumayan sepi karena sudah banyak siswa yang meninggalkan sekolah. Wirasena berjalan menuju ruang FO yang sempat dibacanya dari dalam mobil karena iseng.
“Permisi.”
“Ya, Pak. Ada yang bisa dibantu?” tanya seorang petugas dari balik meja.
“Saya ingin menjemput Mikayla. Di mana kelasnya?” tanya Wirasena.
“Maaf, Pak. Biasanya anak-anak akan menunggu jemputan di taman bermain sebelah sana.” Petugas itu menunjuk ruangan teduh berpagar besi penuh dengan berbagai macam wahana bermain.
“Oke. Kalau ruang kelasnya di mana?” ulang Wirasena kukuh.
Ekspresi keramahan petugas FO mulai memudar perlahan, tapi senyumnya tetap bertahan pada ukuran simetris. “Mikayla kelas apa,
Selesai mengganti kemeja basah Elia, Wirasena menutupi Elia dengan selimut dan beralih ke celana. Jarinya ragu sejenak, diam di atas pengait celana katun istrinya. Kepalanya tertunduk dengan mata terpejam, membulatkan tekad dan keberanian.“Maaf,” lirihnya sambil mulai bekerja.Gerakan jarinya ragu melepas pengait celana Elia. Hatinya kebat-kebit mengingat kejadian malam itu. Meskipun dalam kondisi setangah sadar, otak cerdas Wirasena mengingat setiap detail peristiwa dan jengkal kulit Elia.“Ish!” gerutunya, ketika zipper celana itu tersangkut dan sulit lepas. “Ayolah …!” keluhnya.“Kenapa, Pa?” tanya Mika penasaran sambil menengok ke belakang.“Lihat depan!” tukas Wirasena datar.Perhatiannya tetap tertuju pada masalah yang menunggunya di balik selimut. Jantung Wirasena berdegup kencang manakala buku jarinya tidak sengaja menyentuh kain berenda di balik celana katun.“Sial!” umpatnya lagi.“Papa,” tegur Mika dengan kepala tetap menghadap lurus ke kaca belakang mobil. “Oma bilang, ga
Setelah memastikan kondisi dalam rumah aman terkendali, Wirasena kembali ke depan berencana mmeinta Elia segera turun. Ia terkejut mendapati tangan sehat Elia melambai ke arahnya, lebih terkejut lagi saat gadis itu menggerakkan bibirnya meminta dia mendekat.“Dia benar-benar tidak sadar pengaruhnya terhadapku,” gumam Wirasena dari ambang pintu.Degup jantungnya masih belum pulih setelah membantu Elia mengganti pakaian tadi, apalagi setelah mengetahui ternyata gadis itu sudah sadar sejak entah kapan dan membiarkan semua yang Wirasena lakukan padanya.“Apa maunya dia?” Rahang Wirasena terkatup rapat. “Bukankah tindakannya itu mencerminkan bagaimana ibunya ketika menggoda ayahku?”“Turun saja!” balas Wirasena dari tempatnya berdiri. “Aku akan mengabaikanmu mulai sekarang,” tekad Wirasena bulat.Dari dalam mobil, Elia terbeliak mendengar ucapan Wirasena yang tidak berperasaan. “Astaga, t
“Panjul siapa yang kamu maksud, hah?! Jangan asal bicara dan menimbulkan masalah baru untukku.” Elia mendorong bahu Shinta gemas.Shinta menatap Elia lebih cermat. “Menambah masalah baru? Memangnya kalian punya masalah lain lagi?”Elia menggeleng malas dan menjauhi sahabatnya. Ia mengambil dua kemeja yang masih tertinggal di dalam koper dan memindahkannya ke lemari.“Sekedar info, aku lebih memilih tinggal di apartemen ini sendirian, ketimbang harus serumah dengan orang aneh seperti mereka. Dan, aku tidak berniat menjalin masalah baru yang berkaitan dengan laki-laki.”Elia berbalik sambil berkacak pinggang. “Sekarang, tolong jelaskan siapa panjul yang kamu maksud.”“Owh.” Shinta tersipu malu.“Oh?!” Elia mendelik kesal.“Panjul itu panjang menjulang. Alias, itunya si itu.” Shinta terkikik geli melihat rona Elia berubah merah padam.Plak.
Pada mulanya, keputusan Wirasena mengirim Elia tinggal sendiri di apartemen miliknya terasa tepat. Namun, beberapa jam setelahnya, keputusan itu terasa berlebihan manakala ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan rumahnya.“Sepi ternyata,” gumam Wirasena lirih, lebih kepada situasi hatinya yang terasa hampa.Dari kejauhan, Somad berjalan pelan menghampiri majikannya dengan langkah bimbang. “Pak, ada tamu.” Somad memberanikan diri mengganggu lamunan Wirasena.“Siapa, Pak?” tanya Wirasena.“Eng … mobilnya yang pernah mampir sini, Pak.” Degup jantung Somad merambat naik.Kening Wirasena berkerut bingung mencerna informasi yang Somad berikan. “Namanya siapa, Pak?”“Eng … namanya Rafi katanya,” jawab Somad ragu.“Cari mati dia!” Wirasena bergegas menuju ruang tamu.Rafi berdiri di teras menghadap ke halaman rumah saat Wirasena
“Ma, Shinta mau laporkan papa ke polisi.”Suasana seketika hening.“Shinta sudah tahu yang terjadi tadi. Kali ini, tindakan papa sudah kelewat batas. Shinta gak bisa tinggal diam.” Shinta meremas jemari tangan Hana meminta persetujuan.“Sayang, itu cuma kesalahpahaman. Lagipula, itu aib keluarga. Tidak pantas dijadikan konsumsi publik.” Hana menggeleng lemah.“Ma! Kesalahpahaman bagaimana?!” Shinta menghentak tangan Hana. “Apa perlu aku sebarkan video penganiayaannya ke medsos biar publik yang menghukum?” tantang Shinta marah.Hana menangkup kedua pipi Shinta dengan cepat. “Shin, jangan! Dia akan kehilangan kepercayaan dari klien dan kesulitan bekerja di bidangnya. Jangan lakukan itu, mama mohon.”Shinta mendorong tangan Hana. “Ma! Bisa gak, jangan terlalu baik?!”“Bagaimanapun, kita juga akan tersangkut, Shin.” Hana merangkum lagi wajah Sh
Shinta duduk termenung di sebuah meja salah satu kafe terkenal. Dia memesan segelas es latte yang sejak disajikan hanya diaduknya menggunakan sedotan. Lambaian tangan Reval, tidak terlihat olehnya.“Whoi! Ngelamun aja.” Reval menepuk bahu Shinta hingga gadis itu berjingkat kaget. “Napa?” Reval menarik kursi di samping Shinta.Sret.Giliran Reval yang terkejut karena Shinta memeluknya dengan cepat.“Kamu kenapa, Yang?” tanya Reval panik. “Mama?” tebaknya asal.Shinta mengangguk dan tangisnya pecah. “Aku harus gimana, Beb?”Reval menjauhkan bahu Shinta sambil menatapnya. “Cerita sama aku, Yang.”Air mata Shinta kembali luruh. “Aku habis laporin papa,” gumamnya lirih.“Apa? Kamu habis ngapain? Kerasin dikit.” Reval mengernyit memasang telinganya lebih peka.“Aku laporin papa ke kantor polisi,” ulang Shinta dengan nada
Sepeninggal Shinta, Elia melanjutkan kegiatannya menata barang dan membersihkan rumah. Hari sudah gelap, ketika Elia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan terburu-buru karena suara bel pintu yang tidak berhenti berbunyi.“Ya …!” teriak Elia sambil bergegas. “Siapa, sih?!” kesalnya sembari mengeratkan tali jubah mandinya.Elia terpana melihat tubuh molek terbalut kain beludru hitam berpotongan minim di setiap detailnya. “Kamu?”“Hai.” Susan mengangkat tangan kirinya dan menggerakkan jemarinya menyapa dengan cara yang mengerikan di mata Elia. “Boleh minta minum?” tanya Susan sambil melangkah masuk dan mendorong bahu Elia menjauhi pintu.‘Ngapain dia kemari?’ batin Elia semakin kesal.“Maaf, saya selesaikan ini dulu.” Elia menunjuk ke arah rambut yang terbalut handuk. “Silakan duduk. Anggap rumah sendiri,” sinis Elia kala Susan bergerak beb
Elia tetap terjaga hingga dini hari. Setelah yang terjadi di ruang tamunya beberapa jam yang lalu, pikirannya terus berkecamuk. “Dia berucap seolah aku ini hanya rahim sewaan baginya.” Elia bergerak gelisah di atas ranjang. “Kenapa dia tidak menyebutkan di awal, supaya aku tidak banyak berharap dan terbawa arus?” Elia menarik tubuhnya duduk. Diliriknya dinding di sisi kanannya, tempat Wirasena tidur. “Dasar manusia tidak berperasaan!” gerutunya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu, El. Jangan sampai kalah!” tekadnya bulat. Entah karena patah hati atau karena hormon kehamilannya, Elia menangis beberapa saat lamanya hingga matanya bengkak dan tenggorokannya kering. Ia melangkah keluar kamar menuju pantry dan menuang segelas air. Diteguknya air dalam gelas dengan rakus. Ketika berbalik hendak kembali ke kamar dengan gelas penuh air baru, Elia bertabrakan dengan Wirasena yang bertujuan sama. Setengah isi gelas Elia