Pada mulanya, keputusan Wirasena mengirim Elia tinggal sendiri di apartemen miliknya terasa tepat. Namun, beberapa jam setelahnya, keputusan itu terasa berlebihan manakala ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan rumahnya.
“Sepi ternyata,” gumam Wirasena lirih, lebih kepada situasi hatinya yang terasa hampa.
Dari kejauhan, Somad berjalan pelan menghampiri majikannya dengan langkah bimbang. “Pak, ada tamu.” Somad memberanikan diri mengganggu lamunan Wirasena.
“Siapa, Pak?” tanya Wirasena.
“Eng … mobilnya yang pernah mampir sini, Pak.” Degup jantung Somad merambat naik.
Kening Wirasena berkerut bingung mencerna informasi yang Somad berikan. “Namanya siapa, Pak?”
“Eng … namanya Rafi katanya,” jawab Somad ragu.
“Cari mati dia!” Wirasena bergegas menuju ruang tamu.
Rafi berdiri di teras menghadap ke halaman rumah saat Wirasena
“Ma, Shinta mau laporkan papa ke polisi.”Suasana seketika hening.“Shinta sudah tahu yang terjadi tadi. Kali ini, tindakan papa sudah kelewat batas. Shinta gak bisa tinggal diam.” Shinta meremas jemari tangan Hana meminta persetujuan.“Sayang, itu cuma kesalahpahaman. Lagipula, itu aib keluarga. Tidak pantas dijadikan konsumsi publik.” Hana menggeleng lemah.“Ma! Kesalahpahaman bagaimana?!” Shinta menghentak tangan Hana. “Apa perlu aku sebarkan video penganiayaannya ke medsos biar publik yang menghukum?” tantang Shinta marah.Hana menangkup kedua pipi Shinta dengan cepat. “Shin, jangan! Dia akan kehilangan kepercayaan dari klien dan kesulitan bekerja di bidangnya. Jangan lakukan itu, mama mohon.”Shinta mendorong tangan Hana. “Ma! Bisa gak, jangan terlalu baik?!”“Bagaimanapun, kita juga akan tersangkut, Shin.” Hana merangkum lagi wajah Sh
Shinta duduk termenung di sebuah meja salah satu kafe terkenal. Dia memesan segelas es latte yang sejak disajikan hanya diaduknya menggunakan sedotan. Lambaian tangan Reval, tidak terlihat olehnya.“Whoi! Ngelamun aja.” Reval menepuk bahu Shinta hingga gadis itu berjingkat kaget. “Napa?” Reval menarik kursi di samping Shinta.Sret.Giliran Reval yang terkejut karena Shinta memeluknya dengan cepat.“Kamu kenapa, Yang?” tanya Reval panik. “Mama?” tebaknya asal.Shinta mengangguk dan tangisnya pecah. “Aku harus gimana, Beb?”Reval menjauhkan bahu Shinta sambil menatapnya. “Cerita sama aku, Yang.”Air mata Shinta kembali luruh. “Aku habis laporin papa,” gumamnya lirih.“Apa? Kamu habis ngapain? Kerasin dikit.” Reval mengernyit memasang telinganya lebih peka.“Aku laporin papa ke kantor polisi,” ulang Shinta dengan nada
Sepeninggal Shinta, Elia melanjutkan kegiatannya menata barang dan membersihkan rumah. Hari sudah gelap, ketika Elia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan terburu-buru karena suara bel pintu yang tidak berhenti berbunyi.“Ya …!” teriak Elia sambil bergegas. “Siapa, sih?!” kesalnya sembari mengeratkan tali jubah mandinya.Elia terpana melihat tubuh molek terbalut kain beludru hitam berpotongan minim di setiap detailnya. “Kamu?”“Hai.” Susan mengangkat tangan kirinya dan menggerakkan jemarinya menyapa dengan cara yang mengerikan di mata Elia. “Boleh minta minum?” tanya Susan sambil melangkah masuk dan mendorong bahu Elia menjauhi pintu.‘Ngapain dia kemari?’ batin Elia semakin kesal.“Maaf, saya selesaikan ini dulu.” Elia menunjuk ke arah rambut yang terbalut handuk. “Silakan duduk. Anggap rumah sendiri,” sinis Elia kala Susan bergerak beb
Elia tetap terjaga hingga dini hari. Setelah yang terjadi di ruang tamunya beberapa jam yang lalu, pikirannya terus berkecamuk. “Dia berucap seolah aku ini hanya rahim sewaan baginya.” Elia bergerak gelisah di atas ranjang. “Kenapa dia tidak menyebutkan di awal, supaya aku tidak banyak berharap dan terbawa arus?” Elia menarik tubuhnya duduk. Diliriknya dinding di sisi kanannya, tempat Wirasena tidur. “Dasar manusia tidak berperasaan!” gerutunya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu, El. Jangan sampai kalah!” tekadnya bulat. Entah karena patah hati atau karena hormon kehamilannya, Elia menangis beberapa saat lamanya hingga matanya bengkak dan tenggorokannya kering. Ia melangkah keluar kamar menuju pantry dan menuang segelas air. Diteguknya air dalam gelas dengan rakus. Ketika berbalik hendak kembali ke kamar dengan gelas penuh air baru, Elia bertabrakan dengan Wirasena yang bertujuan sama. Setengah isi gelas Elia
“Ehm, ya. Saya hendak mengajukan pengunduran diri, Dok.”Armand terpaku menatap wajah cantik di hadapannya. “Mengundurkan diri? Kenapa? Apa karena gurauan saya kelewat batas?” Armand mencoba untuk tetap santai, meskipun hatinya was-was.Sejauh yang pernah didengarnya dari Rafi, Elia adalah gadis yang tegas dan berpendirian. Tidak mudah untuk mengubah keputusan yang sudah dibuatnya.Elia tersenyum tulus seraya menggeleng pelan. “Tidak, Dok. Saya punya alasan pribadi yang tidak bisa saya utarakan di sini.”‘Benar kata Rafi. Dia gadis yang berpendirian. Cocok sekali menjadi istri direktur rumah sakit,’ gumam Armand dalam hati.“Dok,” panggil Elia.“Hm, ya. Saya tidak bisa menyetujuinya. Saya harus bicarakan dulu dengan Rafi.” Armand mencoba menunda pengajuan Elia.“Maaf, Dok. Apa saya perlu mengutarakan alasan saya resign agar dokter bisa menyetujuinya
Shinta kembali ke kamarnya dengan panik. Ia nyaris bertabrakan dengan Wirasena di ruang tamu. Melihat gelagat pria itu, perasaan Shinta menjadi tidak enak dan khawatir tentang Elia.“El, are you okay?” Shinta menghampiri Elia. Gadis itu menekuk kaki dan memeluknya erat sambil tersedu. “Dia menyakitimu lagi? Hei ….” Shinta menggosok punggung Elia.Elia balas memeluk Shinta. “Dia marah. Aku memintanya menceraikanku, Shin.”“Oh, astaga ….” Shinta kehilangan kata-katanya.Tiba-tiba, Elia menjauhkan diri. “Shin, maafkan aku. Tidak seharusnya aku melibatkanmu dalam masalah di saat duka begini. Aku bahkan belum mengucapkan salam perpisahan buat tante Hana. Maaf ….”Shinta menggeleng dengan senyum tulus tersungging. “Gak papa, El. Mama udah tenang. Udah gak sakit lagi, fisik dan mentalnya. Kamu tenangkan diri dulu, fokus aja sama masalahmu. Hmm?”“Makasih banyak, Shin.”“Sekarang, kamu tidur dulu. Aku tinggal ke depan, gak papa, ya?” Shinta menata bantal, lalu membantu Elia berbaring. “Lupaka
“Haish! Dia lagi di mana, sih?!” kesal Shinta seraya menghubungi Elia kembali. “Kamu di mana, El?” cemas Shinta kala operator menjawab panggilannya.Maswir calling ….“Halo, Maswir.”[Ada apa dengan Elia?] tanya Wirasena dengan nada panik.“Elia hilang. Dia pergi tanpa pamit. Ponselnya juga gak aktif. Bagaimana ini?” lapor Shinta seolah mereka berdua ada dalam hubungan pertemanan yang akrab.[Hilang? Kok bisa?!] Wirasena tak kalah panik. [Tolong kamu ke apartemen dan lihat, mungkin dia pulang. Saya masih ada satu operasi lagi.]Shinta mengangguk cepat. “Ya, Maswir!”Sesampainya di depan pintu apartemen Elia, Shinta memasukkan sandi yang Wirasena kirimkan dan bergegas memeriksa setiap ruangan yang ada. Nihil. Tidak ada Elia di dalam.“Maswir, Elia tidak ada di sini,” gumamnya mengeja pesan yang hendak dikirimkannya pada Wirasena. “Hhh,
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan