Sepeninggal Shinta, Elia melanjutkan kegiatannya menata barang dan membersihkan rumah. Hari sudah gelap, ketika Elia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah dan terburu-buru karena suara bel pintu yang tidak berhenti berbunyi.
“Ya …!” teriak Elia sambil bergegas. “Siapa, sih?!” kesalnya sembari mengeratkan tali jubah mandinya.
Elia terpana melihat tubuh molek terbalut kain beludru hitam berpotongan minim di setiap detailnya. “Kamu?”
“Hai.” Susan mengangkat tangan kirinya dan menggerakkan jemarinya menyapa dengan cara yang mengerikan di mata Elia. “Boleh minta minum?” tanya Susan sambil melangkah masuk dan mendorong bahu Elia menjauhi pintu.
‘Ngapain dia kemari?’ batin Elia semakin kesal.
“Maaf, saya selesaikan ini dulu.” Elia menunjuk ke arah rambut yang terbalut handuk. “Silakan duduk. Anggap rumah sendiri,” sinis Elia kala Susan bergerak beb
Elia tetap terjaga hingga dini hari. Setelah yang terjadi di ruang tamunya beberapa jam yang lalu, pikirannya terus berkecamuk. “Dia berucap seolah aku ini hanya rahim sewaan baginya.” Elia bergerak gelisah di atas ranjang. “Kenapa dia tidak menyebutkan di awal, supaya aku tidak banyak berharap dan terbawa arus?” Elia menarik tubuhnya duduk. Diliriknya dinding di sisi kanannya, tempat Wirasena tidur. “Dasar manusia tidak berperasaan!” gerutunya dengan mata berkaca-kaca. “Kamu harus bisa mengendalikan perasaanmu, El. Jangan sampai kalah!” tekadnya bulat. Entah karena patah hati atau karena hormon kehamilannya, Elia menangis beberapa saat lamanya hingga matanya bengkak dan tenggorokannya kering. Ia melangkah keluar kamar menuju pantry dan menuang segelas air. Diteguknya air dalam gelas dengan rakus. Ketika berbalik hendak kembali ke kamar dengan gelas penuh air baru, Elia bertabrakan dengan Wirasena yang bertujuan sama. Setengah isi gelas Elia
“Ehm, ya. Saya hendak mengajukan pengunduran diri, Dok.”Armand terpaku menatap wajah cantik di hadapannya. “Mengundurkan diri? Kenapa? Apa karena gurauan saya kelewat batas?” Armand mencoba untuk tetap santai, meskipun hatinya was-was.Sejauh yang pernah didengarnya dari Rafi, Elia adalah gadis yang tegas dan berpendirian. Tidak mudah untuk mengubah keputusan yang sudah dibuatnya.Elia tersenyum tulus seraya menggeleng pelan. “Tidak, Dok. Saya punya alasan pribadi yang tidak bisa saya utarakan di sini.”‘Benar kata Rafi. Dia gadis yang berpendirian. Cocok sekali menjadi istri direktur rumah sakit,’ gumam Armand dalam hati.“Dok,” panggil Elia.“Hm, ya. Saya tidak bisa menyetujuinya. Saya harus bicarakan dulu dengan Rafi.” Armand mencoba menunda pengajuan Elia.“Maaf, Dok. Apa saya perlu mengutarakan alasan saya resign agar dokter bisa menyetujuinya
Shinta kembali ke kamarnya dengan panik. Ia nyaris bertabrakan dengan Wirasena di ruang tamu. Melihat gelagat pria itu, perasaan Shinta menjadi tidak enak dan khawatir tentang Elia.“El, are you okay?” Shinta menghampiri Elia. Gadis itu menekuk kaki dan memeluknya erat sambil tersedu. “Dia menyakitimu lagi? Hei ….” Shinta menggosok punggung Elia.Elia balas memeluk Shinta. “Dia marah. Aku memintanya menceraikanku, Shin.”“Oh, astaga ….” Shinta kehilangan kata-katanya.Tiba-tiba, Elia menjauhkan diri. “Shin, maafkan aku. Tidak seharusnya aku melibatkanmu dalam masalah di saat duka begini. Aku bahkan belum mengucapkan salam perpisahan buat tante Hana. Maaf ….”Shinta menggeleng dengan senyum tulus tersungging. “Gak papa, El. Mama udah tenang. Udah gak sakit lagi, fisik dan mentalnya. Kamu tenangkan diri dulu, fokus aja sama masalahmu. Hmm?”“Makasih banyak, Shin.”“Sekarang, kamu tidur dulu. Aku tinggal ke depan, gak papa, ya?” Shinta menata bantal, lalu membantu Elia berbaring. “Lupaka
“Haish! Dia lagi di mana, sih?!” kesal Shinta seraya menghubungi Elia kembali. “Kamu di mana, El?” cemas Shinta kala operator menjawab panggilannya.Maswir calling ….“Halo, Maswir.”[Ada apa dengan Elia?] tanya Wirasena dengan nada panik.“Elia hilang. Dia pergi tanpa pamit. Ponselnya juga gak aktif. Bagaimana ini?” lapor Shinta seolah mereka berdua ada dalam hubungan pertemanan yang akrab.[Hilang? Kok bisa?!] Wirasena tak kalah panik. [Tolong kamu ke apartemen dan lihat, mungkin dia pulang. Saya masih ada satu operasi lagi.]Shinta mengangguk cepat. “Ya, Maswir!”Sesampainya di depan pintu apartemen Elia, Shinta memasukkan sandi yang Wirasena kirimkan dan bergegas memeriksa setiap ruangan yang ada. Nihil. Tidak ada Elia di dalam.“Maswir, Elia tidak ada di sini,” gumamnya mengeja pesan yang hendak dikirimkannya pada Wirasena. “Hhh,
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG