“Aku antar ke tempat Shinta. Masukkan alamatnya,” ucap Wirasena sambil menoleh ke spion kanan.
Shinta mengajak Elia bertemu di sebuah pusat perbelanjaan. Shinta berkata ingin melepas stres dengan berbelanja, saat Elia menolak.
“Hubungi aku kalau kamu sudah selesai,” pesan Wirasena saat menurunkan Elia di halaman parkir sebuah mal. “Kita bicara lagi nanti.”
Elia hanya mengangguk tanpa bermaksud menyetujui rencana Wirasena. Ia hanya ingin pria itu segera berlalu dari hadapannya.
Ketika bertemu Shinta, pikirannya yang kacau karena masalahnya sendiri, lenyap tak bersisa. Tanpa banyak bertanya, Elia memeluk erat sahabatnya itu. Wajah sembab Shinta sudah menjawab semua pertanyaan yang sejak tadi ditahannya.
“Kita cari tempat ngobrol, yuk,” ajak Elia, tapi segera Shinta tolak.
“Gak usah, kita muter-muter aja, ngabisin duit. Ngobrol malah bikin pening, El. Kita jalan-jalan aja sambil belanja.&rdq
Shinta terkejut mendengar Elia mengumpat sambil menutup wajahnya. Pasalnya, sahabatnya itu hampir-hampir tidak pernah mengeluarkan kata kasar dari bibir cantiknya. Dan kalau sampai Elia mengumpat, itu berarti suatu hal yang sudah keterlaluan.“Siapa, sih?!” tanya Shinta.Enggan menjawab, Elia menunjuk objek yang mengganggu matanya dengan telunjuk. “Tuh!”Brak!Shinta berdiri dengan tergesa hingga pahanya menabrak meja plastik dengan keras. “PAPA!”“Papa?” ulang Elia dengan wajah bingung.“Sialan! Masih berani bawa perempuan berkeliaran! Dasar gak punya malu!”Shinta bergegas keluar dari kursinya, tapi tangan Elia mencekalnya. “Eits, mau ngapain?!” pekik Elia panik.“Mau bikin perempuan itu jera!” sahut Shinta geram.Elia segera berdiri. Tangannya semakin erat mencekal tangan Shinta. “Tahan, Shin! Ini tempat umum. Jangan mempermaluka
Wirasena termenung sembari menunggu antrian. Sepanjang perjalanan menjemput Elia tadi, ia banyak berpikir. Ucapan dan tindakannya sepanjang hari ini, bisa jadi memberikan tekanan yang besar bagi Elia hingga gadis itu mengalami kram perut.Terlebih, sikap Tatik yang berusaha keras untuk kuat dan mandiri untuk menyambut cucunya, tapi malah disalahartikan Elia sebagai tindakan penolakan terhadap bantuannya."Ini tidak baik untuk Elia dan bayi dalam kandungannya," gumam Wirasena pada dirinya. "Aku harus menjauhkannya dari segala tekanan, terutama dari dendam masa laluku."Dengan tekad bulat, Wirasena kembali ke IGD dan menemui Elia. “Gimana?” tanya Wirasena begitu masuk ke dalam bilik.“Aku sudah kasih analgesik. Selanjutnya adalah bagianmu.” Elena menusuk perut Wirasena dengan lightpen miliknya. “Aku ingin bicara denganmu, empat mata!”“Nanti, El. Setelah semuanya selesai, aku akan mengaku dosa padamu
Menunggu Wirasena mengurus administrasi sembari mendengar Shinta dan Elena berbincang, Elia memikirkan dan menimbang semua yang terjadi hari ini hingga kram yang dialaminya. Deraan emosi dan masalah yang beruntun, sedangkan ia tidak memiliki tempat untuk berkeluh kesah membuatnya merasa tertekan dan sendirian.Elia mendesah tanpa sadar.Setelah Wirasena datang, hingga Elia terbaring di ranjang poli menjalani pemeriksaan USG, ia tidak benar-benar berada di tengah percakapan. Gerakan benda hitam kecil di dalam lingkaran putih yang tampil di layar USG, barulah menyadarkannya.“Owh …!” pekik Elia takjub. “Dia bergerak ….” Elia terisak melihat benda hitam kecil berenang dalam lingkaran.Reaksi Wirasena saat melihat bayi itu bergerak membuat Elia semakin yakin. ‘Dia hanya peduli pada bayimu, El. Tidak padamu,’ putus Elia dalam hati.Pun begitu, saat Wirasena tinggal berdua dengannya dan mengajaknya bicara, Elia sudah menarik sebuah kesimpulan. Meskipun, pria itu sudah meminta maaf padanya d
Di bawah teriknya sinar matahari, motor matic kesayangan Elia melaju lambat menyusuri jalanan kota. Urusan kelengkapan berkas, sudah diselesaikannya. Sekarang, tinggal menunggu panggilan magang dan dia akan menerima gaji tetap. Dia bisa hidup tanpa bergantung pada kartu hitam pemberian Wirasena yang sengaja ditinggalnya di dalam laci meja riasnya.Elia memutuskan menepi di depan sebuah mobil losbak yang sedang kosong. Ia memarkir motornya merapat pada trotoar dan duduk di pinggiran. Elia hanya ingin menunda kepulangannya dan menghubungi Shinta tanpa kemungkinan ada yang mendengar percakapan mereka.[Halo, perkenalkan saya, Victoria. Silakan menghubungi kembali atau tinggalkan pesan. Nomer yang Anda hubungi sedang sibuk.]Elia terbahak mendengar kekonyolan Shinta.“Astaga … ngapain, sih?! Pasien kambuhan!” ejek Elia masih dengan senyum lebar yang tersisa.[Eh, elu. Gue kira Maswir yang nelpon. ‘Kan ngeri, ya, kalau sampai ke
“Kerja sama seperti apa yang Anda inginkan?” Shinta berpaling menghadap Wirasena dengan raut curiga.“Nanti. Pada saatnya, aku akan memberitahumu.”“Jangan minta saya untuk mengkhianati Elia!” tegas Shinta.Wirasena berdecih. “Dengan menerima tawaranku, artinya kamu siap mengkhianati persahabatan kalian. Tapi jangan khawatir, itu tidak akan merugikan sahabatmu.”Shinta menarik napas lega. “Itu sudah cukup buat saya. Asalkan Elia tidak dirugikan.”Mereka terus berkendara sampai Shinta menunjuk sebuah motor yang terparkir di kiri jalan. “Itu! Itu motor El!” pekiknya.“Astaga! Itu El!” pekik Shinta lagi saat melihat sosok perempuan bercardigan hijau kusam bersandar pada pohon besar.Wirasena buru-buru menepikan mobilnya dan keluar menghampiri Elia. “El, kamu baik-baik saja?” tanyanya seraya mengangkat tubuh mungil itu dan membawanya ke mobil.“Tolong kamu bawa motor Elia ke rumah saya. Saya akan bawa Elia ke rumah sakit!” tegas Wirasena sambil memasang sabuk pengaman Elia.Puk.Tangan El
Pengguna jalan yang kebetulan lewat, membantu Agus memindahkan kedua korban ke atas brankar sesuai arahan Elia. Tangan cekatan Elia memeriksa dan memberikan pertolongan pertama pada wanita hamil lebih dulu. “Pak, lepaskan helmnya perlahan. Usahakan jangan sampai menyentuh kepalanya. Saya akan tahan di sini.” Elia memberikan instruksi dengan yakin. Agus mengangguk. Di luar dugaan, tangan Agus sangat cekatan dan ahli, tidak seperti kekhawatiran Elia. Perawat itu melepas helm dan memasang penyangga leher dengan cepat dan tepat. “Nice!” puji Elia setelah meletakkan kepala pasien. “Pak, tolong periksa kondisi anaknya. Saya kerjakan yang di sini.” Agus mengangguk lagi. Ia bergeser ke ranjang sebelah. Anak kecil tadi mulai sadar dan menangis kesakitan. “Cup, cup. Sakit, ya? Mana yang sakit? Bisa tunjukkan ke saya? Biar saya obati dengan tongkat ajaib.” Agus mengacungkan stetoskop yang menggantung di lehernya. Bocah kecil itu menangis
Mata Elia berbinar. “Serius, Raf? Klinik yang sekarang, ke depannya akan jadi Klinik Bersalin? Wahh, keren!”“Kenapa? Seneng banget. Semakin dekat dengan cita-citamu sebagai dokter anak?” Rafi menelengkan kepalanya ke arah Elia. “Kenapa dokter anak? Kenapa bukan bedah estetik atau TKV?”“Entahlah, mungkin karena aku tidak punya saudara,” desah Elia sambil mencermati jalanan. “Lho, kok beloknya ke sini?!” Elia memalingkan kepalanya menengok ke jalan yang seharusnya ia lalui. “Aku masih harus kerja, Raf. Kalau masih ada yang ingin kamu tanyakan, nanti, setelah jam kerjaku berakhir.”Alih-alih mengikuti perkataan Elia, Rafi menginjak pedal gasnya semakin dalam, melaju semakin cepat dan jauh meninggalkan klinik.“Aku sudah minta salah satu dokter jaga Medistra naik ambulans dan menggantikanmu hari ini.”“Minggir!” tegas Elia dengan punggung tegak, menjauh da
‘Haruskah aku tanyakan padanya? Tapi, kalau aku tetap diam, aku tidak akan tahu alasannya menikahi duda yang usianya terpaut jauh dengannya, bukan?’ debat Rafi dalam hati.“Aku bukan lagi Elia yang kamu kenal, Raf. Kamu tidak akan bisa mengerti.” Kedua tangan Elia mengepal erat di atas tas selempangnya.“Kamu hamil, El?”Akhirnya, pertanyaan itu terlontar dari mulut Rafi. Elia tersentak kaget mendapati Rafi yang saat ini bersamanya, tidak seperti Rafi yang dikenalnya.“Apa kamu bilang? Hamil?”“Iya, hamil. Alasan apalagi yang perlu disembunyikan dan membuatmu menjadi cewek ceroboh dalam mengambil keputusan?” Rafi memicingkan mata menunggu jawaban Elia.Elia memejamkan mata dan menata napasnya sebelum berkata, “Ya, aku memang sedang mengandung anaknya.”Ia membuka matanya perlahan, penasaran melihat reaksi Rafi setelah mendengar jawabannya. Pria itu memukulkan kepa
Haris duduk bersandar pada kursi plastik tebal yang baru pertama kali dipakainya menemui tamu karena semenjak dirinya mendekam dalam tahanan, belum ada satu orang pun yang menjenguknya, termasuk para perempuannya. Ia mengernyit melihat dua pria yang menjadi tamu pertamanya. Rasanya, ia belum pernah melihat apalagi mengenal mereka berdua. “Kalian siapa?” Pria berdasi menegakkan punggungnya dan mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kulit hitam yang biasanya juga Haris pakai ketika menemui klien atau yang berkaitan dengan kasus yang ditanganinya. “Saya Danar Wiguna, kuasa hukum dari Wirasena. Saya datang untuk menyampaikan ini kepada anda.” Danar memutar kertas menghadap Haris agar pria itu mudah membacanya. Tangan bergelang borgol itu, menerima dengan ragu. Bola matanya bergerak lambat mencermati setiap kata yang tertera dalam kertas. Sejurus kemudian, senyum sinis terbersit di sudut kanan bibirnya. “Pemalsuan surat wasiat? Apa ini?!” Haris meremas kertas di tangannya dan mem
Mata wanita Bali itu lekat menatapnya, membuat Elia was-was.“Secara keseluruhan, kondisi bayinya sehat. Hanya saja ….”“Hanya saja apa, Dok? Bayi saya kenapa?” sambar Elia cepat.Tok tok tok.“Masuk.”Elia sedikit kesal pada pemilik tangan di balik pintu yang mengganggunya. Wajah cemberutnya tidak lepas dari pengamatan Kadek.“Permisi, Dok. Apa suami pasien sudah boleh masuk?” tanya perawat pendamping polos.“Boleh. Persilakan masuk, Sus.” Senyum jenaka terbersit di sudut bibir Kadek.Elia memalingkan wajahnya menanti kemunculan Jonas. Begitu pria itu menampakkan wajah tampannya yang sedang tersenyum canggung, Elia menekuk bibirnya keluar.“Kenapa masuk sekarang, sih?!” ketus Elia disambut ekspresi kebingungan Jonas.“Hah?”“Silakan duduk.” Kadek berdiri dan mengulurkan tangan. “Tidak perlu kaget, pengaruh pregnancy hormone.”Mulut Jonas membulat tanda maklum. “Jadi, bagaimana dengan bayinya, Dok?” Jonas mengambil kursi di samping Elia, mengabaikan wajah cemberut yang masih menatapny
“Mana Elia, Bang?” Jonas heran melihat hanya ada Barata di meja makan sedang termenung.“Ha? Eh, dia baru saja berangkat.”Jonas makin heran, kala melihat piring dengan nasi dan sendok masih utuh di meja. “Ada apa, Bang? Elia gak jadi sarapan?”Barata mendesah. “Sepertinya aku membuat napsu makannya hilang,” akunya lemah.“Ish, dia ‘kan lagi hamil. Butuh banyak nutrisi. Emangnya, bahas apaan, sih?!” Jonas bergegas menuju pintu rumah. Dilihatnya, Elia sudah mencapai lobi puskesmas. “Marah dia?” tanyanya seraya berbalik menatap Barata.“Hhh, entahlah. Kenapa jadi aku yang susah, ya? Padahal niatnya cuma pengen bantuin.” Barata menengadah menatap langit rumah.“Udah, biarin aja.” Jonas menghampiri Barata. “Kita semua sudah dewasa. Bisa selesaikan masalah masing-masing. Jangan ikut campur, Bang.”Barata melirik iparnya sambil
“Masuk, Bang!” Jonas mengiring Barata masuk. “Kok gak kabar-kabar dulu? Kakak gaka ikut?”Elia hanya terbengong melihat Jonas begitu akrab dengan dosen walinya. Kalau hanya kenal, dirinya juga mengenal Barata dengan baik. Tapi ini, lebih dari sekedar saling kenal.“Halo, Elia. Apa kabar?” sapa Barata ramah. “Mau ikut wisuda periode berapa?” Barata duduk di sofa panjang satu-satunya yang ada di ruangan itu. “Duduk, El.”Jonas kasihan melihat Elia yang terkejut. “El.” Jonas menyentuh lengan Elia dan mengajaknya duduk. “Aku kenalkan, meskipun kamu pasti sudah kenal baik.”Rasa gugup menghampiri Jonas ketika mata Elia menuntutnya. Ia menggosok kedua tangannya ke celana menutupi rasa gugupnya.“Engh, ini kakak iparku. Suami kakakku Elena. Di kampus, biasanya kita panggil Prof. Bara.”Tawa Barata menggelegar. “Bisa gugup juga kamu, Nas?” god
“Mau apa?” Mata Elia melebar karena panik.Alih-alih menjawab pertanyaan Elia, Jonas menarik turun kedua kaki Elia dan meletakkannya di dalam ember berisi larutan garam hangat.“Rendam kakimu sebentar.” Jonas merasa Elia menarik kakinya dengan tatapan curiga. “Larutan garam,” imbuhnya sambil tersenyum.“Owh.”Jonas tergelitik ingin menggoda Elia karena sikap panik dan tatapan curiga gadis itu. “Kamu mikir apa tadi, sampai panik begitu?”“Eh, enggak. Kaget aja. Aku ketiduran tadi.”Tidak ingin membuat suasana semakin canggung, Jonas mengalihkan pembicaraan. “Gimana, pengalaman rujuk pertama kali?”Senyum Elia lemah. “Hmm, jauh ternyata,” desahnya. “Untung kondisi pasien stabil selama perjalanan. Kalau sampai anfal di tengah jalan, bisa panik aku.”“Oh ya.” Saking semangatnya, Elia menumpukan tangannya di atas t
Wirasena berjalan cepat ke ruang Elena, istri Barata. Wanita itu sedang menonton sesuatu di laptopnya. Melihat Wirasena masuk, ia hanya melirik sekilas, lalu melanjutkan kegiatannya.“El, tolong aku.”“Ogah!” sahut Elena ketus.“Elia mengirimkan gugatan cerai. Aku harus bagaimana?”Tanpa mengalihkan matanya dari layar, Elena mengacungkan kedua jempolnya dan menjungkirnya ke bawah dengan cepat. “Bagus, lah! Kalau aku jadi dia, aku sudah menceraikanmu sejak hari pertama menikah.”“El, please, help!” rengek Wirasena.Brak.Elena menutup laptopnya kasar. “Profesor Wirasena yang terhormat, percuma kamu merengek di sini. Aku sudah janji, gak akan bantu kamu lagi. Jengkel aku, Wir!”Seolah tidak puas melampiaskan marahnya dari jarak jauh, Elena keluar dari balik mejanya dan duduk di samping Wirasena.“Coba kamu pikir, berapa kali dia masuk IG
“Kamu cukup diam di tempat, El. Biar aku yang mengambil langkah menghampirimu. Hmm?”Terbalut rasa lelah dan putus asa, Elia berusaha berdiri dan menunggu apa yang akan Jonas lakukan selanjutnya. Akankah pria itu sungguh mengambil langkah awal untuk mendapatkannya?“Aku menunggu,” ucap Elia saat Jonas hanya berdiri terpaku.“Serius, El?” tanya Jonas tidak percaya. “Aku tidak akan mengecewakanmu,” sambungnya seraya berjalan cepat menghampiri Elia begitu gadis itu menganggukkan kepala.Mereka berdiri berhadapan dengan canggung. Lama mereka bertatapan tanpa kata, hanya mata yang bicara.“Elia,” ucap Jonas akhirnya. “Aku tidak akan memaksamu. Aku hanya ingin menjagamu dan, ehm, bayimu.”“Menjaga jodoh orang, maksudmu?” goda Elia.“Berlebihan rasanya, memintamu membalas perasaanku di saat kamu sedang mengandung bayi pria lain. Aku hanya minta, jangan
“Jonas! Apa benar yang dikatakan nenek Aminah?!” tanya Andika tak sabar.Mulut Jonas setengah terbuka hendak menjawab pertanyaan Andika, tapi urung karena kepala-kepala lain menyusul di belakang Andika. Tatapan penasaran menghujani Elia dan Jonas yang masih bingung mencerna kondisi yang sedang terjadi.“Jonas, jawab! Malah bengong.” Andika melangkah masuk dengan kesal.“Dok, saya akan jelaskan situasinya. Tapi, tidak di sini. Hanya kita bertiga. Bisa?” pinta Jonas lirih.Prok prok prok.Andika segera membalik tubuhnya dan bertepuk tangan membubarkan barisan anak buah yang menunggu kejelasan cerita cinta mengejutkan antara dokter ganteng yang ramah dan dokter pendatang baru yang luar biasa cantik dan anggun.“Yok … bubar dulu, yok! Nanti akan ada pers release, oke?” Andika menutup pintu perlahan.“Hhhuuuu …!” sorak semuanya kompak. “Gak asik, Dok!” protes mereka teredam daun pintu.“Oke, sebelum kalian mulai menjelaskan, saya awali dulu.” Andika menarik kursi dan duduk. “Bukan bermaksu
“Aku sedang hamil.”Jonas tampak terkejut, tapi berusaha untuk menahannya agar tidak menyinggung Elia. “Oh, ya. Oke.” Senyum kikuk terulas di bibir Jonas.“Itu saja? Gak ada yang mau kamu tanyakan?” heran Elia.“Gak ada. Kalau kamu tidak keberatan dan ingin bercerita, aku akan dengarkan. Aku menghargai privasimu, El.” Jonas hendak berbalik, namun urung. “Perlu aku buatkan sesuatu?” tawarnya tulus.“Bisa kita duduk sebentar?” tanya Elia ragu.“Oke.” Jonas mendahului Elia menarik sebuah kursi dari bawah meja makan. “El, sungguh. Kalau kamu keberatan menceritakannya.” Jonas tidak melanjutkan ucapannnya dan hanya mengangkat kedua tangannya senada dengan endikkan bahunya.Jonas semakin tidak enak hati menyadari raut wajah Elia berubah sendu ketika gadis itu duduk berhadapan dengannya.“Aku hanya tidak ingin kamu salah sangka atau hubungan