Malapetaka dimulai karena dosa masa lalu, ketika nafas dibalas nafas, darah dibalas darah, dan nyawa dibalas nyawa. Elia Carter menderita akibat pembantaian keji yang dilakukan ayahnya terhadap keluarga Lawrence Rollan bertahun-tahun silam. Sesuatu yang membuat Lawrence memantapkan diri untuk balas dendam dengan cara menikahi Elia, dan menghancurkan keluarga Carter secara perlahan. Dendam yang amat egois itu menguasai kewarasan Lawrence—secara langsung menghancurkan fisik dan batin Elia pula. Lantas bagaimana hubungan mereka selanjutnya? akankah Lawrence tetap teguh pendirian untuk membinasakan keluarga istri yang sangat tulus mencintainya?
View More"Di mana Law? seharian aku tak bisa menghubunginya sama sekali," tanya Ann sesaat setelah memasuki ruangan paling terjaga privasinya di Narcist. Pertanyaan yang ia lontarkan pada Will, En, dan John—bagian dari orang penting Narcist yang seolah menjadi penjaga ruang tersebut, hanya sekedar basa-basi untuk membuka pembicaraan, karena keduanya terlihat sangat tenang, terlarut dalam pikiran masing-masing.Will mengangkat bahu, "Dia menyerahkan tugas kantor pada orang lain, dan tugas komunitas padaku, entah kemana orang itu.""Haruskah kita mencari tahu?" tanya En sekaligus menyampaikan pendapatnya, "Mungkin saja dia sedang menyelesaikan masalah berbahaya yang tidak bisa melibatkan kita, seperti tahun lalu di sungai idris?""Law tidak se-spontan itu, kalaupun ada masalah yang tidak bisa melibatkan kita, dia pasti berbicara sebelumnya," balas John, merasa tak ada masalah selagi Law tidak meminta bantuan darinya, "Bukan malah menghilang tiba-tiba begini."Ann menghela nafas sembari mengambil
"Eh, kau tidak apa-apa?!" Elia terbelalak saat seorang anak tiba-tiba berlari menubruk kursi rodanya hingga tersungkur ke lantai.Anak perempuan itu mengeluh, sembari mengusap lututnya yang memar akibat benturan dengan lantai, "Aduh, sakit..." ia tidak menangis, malah menatap tajam Elia dengan pandangan kesal. Padahal luka itu juga karena kesalahannya sendiri yang tidak berhati-hati saat berjalan."Sini duduk dulu," Elia meraih tangan anak itu, mendudukannya ke pangkuan, hingga pandangan kesalnya seketika sirna.Diusapnya bekas memar itu secara lembut. Membuat anak itu mengalihkan pandangan ke Elia, menatap dari dekat secara teliti."Bibi istrinya Paman Law ya?"Elia mengangguk membalas pertanyaan gadis kecil itu.Sontak wajahnya berubah masam, membuat Elia keheranan. Anak itu menyentuh beberapa bagian kursi roda, sembari bertanya, "Kenapa dia bisa menikah dengan orang cacat? padahal Paman sangat sempurna, semua anak perempuan mau menikah dengannya nanti saat dewasa."Elia terkejut de
"Jadi kau istrinya Lawrence? maaf karena tidak bisa datang di hari pernikahan kalian waktu itu, Ibu terlalu sibuk pada anak-anak di sini hingga mengabaikan hari kebahagiaan Law."Elia agak bingung saat mulai diajak berbicara, ia baru sadar kalau orang-orang di sana merupakan masa lalu Law yang dipandang cukup berharga oleh pria itu, saat dia bermain, berlarian, bercanda pada semua anak-anak. Law yang ada di hadapannya saat ini menjadi persis seperti Law yang membawanya ke tepi pantai tempo hari, sebelum terjadinya insiden yang membuat keduanya renggang.Elia menjabat tangan wanita baya itu—Sarah, begitu yang tertulis pada bordiran di sisi kanan pakaiannya, "Tidak seharusnya anda meminta maaf padaku."Sarah tampak ramah, wajar jika dia menjadi pengurus panti asuhan sekaligus ibu dari seluruh anak malang yang tak mendapat kasih dari orang tua kandungnya. "Jadi, bagaimana Law sejauh ini? dia memperlakukanmu dengan baik 'kan?""Tentu, dia baik." Elia menjawabnya agak ragu."Syukurlah," he
"Asal kau tahu, Ann pernah hampir membunuhku.""Membunuh," Law terbelalak, tidak cukup percaya dengan hal itu. Ia tahu Ann tak menyukai Elia, tapi tak mungkin pula kalau Ann sampai tega melakukan tindakam berbahaga, itu sama saja seperti dia cari mati.Elia memutar bola mata, "Malam itu di hutan dekat perkebunan," ia memperjelas pernyataan yang semakin membuat Law percaya, "Menurutmu apa yang bisa membawaku sampai ke sana? kau pun tak pernah ingin tahu lagi setelah masalahnya selesai."Law terdiam, waktu itu ia memang tidak bertanya lebih banyak karena khawatir. Elia terlihat sangat traumatis, sehingga ia tak berusaha membahasnya."Ann bilang topinya terjatuh ke jurang, topi peninggalan orang tuanya, padahal aku sebenarnya tahu jelas kalau kalian berasal dari panti asuhan. Waktu itu aku tak tahu apa maksudnya, tapi aku tetap membantu turun untuk mengambilkannya—dan kau tahu apa yang dia lakukan?" "Dia... mendorongmu?" tebak Law.Wanita itu sontak tertawa masam—ia yakin Law faham soal
Elia mendekam di dalam kamar usai mengantarkan makanan dari rumah Law, berlagak seolah tak terjadi apapun, padahal perasaannya amat kalut sekaligus penasaran.Ia memandang cermin kecil yang ada dalam genggaman, "Apa maksunya masa lalu dari keluarga kita dahulu? apakah pernah terjadi sesuatu antara ayah atau ibu dengan keluarga kandung Law?""Lalu, apa dia juga sudah tahu rencana-rencana jahat ayah untuk mengambil alih semua kepemilikannya?—mengapa pembicaraan mereka seolah menargetkan hal itu.""Dan apa maksudnya Law sedang mempersiapkan puncak permainannya? memangnya permainan apa yang akan dilakukan?!"Elia frustasi karena memikirkan banyak sekali tanda tanya di dalam kepalanya. Namun, ia tak berniat mengungkapkan hal itu terhadap sang ayah ataupun kakak lelakinya. Mereka justru akan mempersulit suasana dan menyusahkan dirinya.Law tampaknya lebih takut kalau ia salah faham soal keberadaan dia dan Ann dalam satu ruangan tanpa orang lain, walaupun Elia tahu sikap dan perasaan yang di
Malam itu, Law menegak wine pemberian John yang padahal hampir tidak pernah tersentuh selama beberapa bulan. Ia tidak suka alkohol, tapi bukan berarti tak mau mengkonsumsinya. Law akan minum pada malam-malam tertentu kalau memang dirinya sedang ingin. Kepalanya mulai pening setelah beberapa saat kemudian, sampai suara Ann yang mengetuk ruang kerjanya tak terdengar sama sekali. Wanita itu menutup pintu rapat-rapat saat melihat siluet Law berdiri di dekat jendela, "Law?" "Lawrence?" ulangnya. Pria itu abai, tak menghiraukan and kedatangan Ann. Atau mungkin alam bawah sadar telah mempengaruhi pikirannya secara penuh. "Gelap sekali, sedang apa kau?" komentar Ann sembari berjalan ke sudut ruangan, menghampiri sakelar lampu. Namun langkahnya terhenti saat Law mulai bicara. "Kepalaku pusing, jangan nyalakan lampunya, biarkan redup seperti ini." Ann menghela napas, kemudian kembali duduk ke meja kerja Law. Di sana pandangan matanya fokus terhadap sebuah potret manis antara sepasang peng
Elia tengah bersiap di depan cermin rias, walaupun sebenarnya ia tak sungguh-sungguh sedang berdandan, wanita itu malah terdiam sembari memandangi ponsel. Jujur, Elia sangat tidak bersemangat untuk pulang ke rumah sang ayah, di sana ia hanya akan mendapat tekanan secara terus menerus tanpa henti, tidak ada pula yang akan menenangkannya.Tapi kalau Law sudah tampak memaksa, ia bisa apa. Jika ditolak nanti, pasti akan berakhir dengan pertengkaran sama seperti sebelum-sebelumnya. Elia nyaman bersama Law, ia tak ingin punya masalah lagi dengan suaminya itu."Omong-omong cincinmu kemana? aku tidak lihat sama sekali akhir-akhir ini," tanya Law, turut bercermin membenahi surai legamnya."Oh, astaga! aku lupa menaruhnya!" Elia panik, ia hampir lupa dengan cincin nikah yang dilempar di telaga taman kota oleh Max. Ia lekas mencari alasan, "Mungkin masih di sekitar rumah, di kamar mandi atau tempat lain.""Jangan dilepas, nanti hilang." Law memperingati, ia tampak tidak terlalu mempermasalahkan
Law termenung di ruang pribadi miliknya, dalam gedung bertingkat Narcist. Ia kali ini tak sendirian, terdapat John dan En yang menemani. Mereka semula membicarakan masalah pekerjaan, namun semakin lama, justru merembet ke masalah-masalah lain. Terutama problematikan yang bermunculan usai Law memutuskan untuk menikahi anak pembunuh keluarga kandungnya. Sejauh ini John memandang ada perubahan dari sikap anak sahabat karibnya itu, terutama sejak keberadaan Elia mulai berarti di sekitarnya. "Elia itu bukan targetmu, dia juga sudah menderita selama melalui kehidupannya sejauh ini. Lebih baik cuci otaknya agar mau menjadi bagian dari kita, dengan begitu pula kau bisa lebih puas menghancurkan Liam—tanpa memikirkan perasaan perempuan itu," ungkap John menasehati pemikiran dangkal Law yang masih tak mampu melihat ketertarikan pada istrinya sendiri. "Aku akan mencobanya pelan-pelan." Law selalu percaya dengan apa yang dikatakan John, sehingga tiap saran yang diberikan selalu membuatnya yakin
"Law, kau ingin punya anak tidak?" Elia menarik selimut, menutup seluruh tubuh yang masih polos usai Law mengakhiri kegiatan di atasnya."Tentu, anak kembar lelaki dan perempuan," kata Law tanpa ragu.Elia menggigit bibir, "Secepatnya?""Kalau itu terserah padamu. Yang hamil, melahirkan, dan menyusui kan kau, jadi keputusannya ada di tanganmu," balas Law tenang dan bijak. Elia sudah berdebar tidak karuan, khawatir kalau mereka akan bertengkar lagi karena hal-hal sepele samacam ini.Ia berusaha semampunya untuk berani mengungkap fakta kondisi kesehatan organ kewanitaannya yang mulai kacau akibat konsumsi obat kontrasepsi secara overdosis.Elia meraih tangan Law untuk digenggam, sekaligus mengambil kepercayaannya setulus mungkin, "Kalau begitu kita tunda dulu ya, satu atau dua tahun lagi. Aku masih ingin menikmati masa awal-awal pernikahan seperti sekarang—tanpa banyak problematika, aku ingin kita terus seperti ini, selalu peduli dan saling menyayangi.""Baiklah jika itu maumu, aku hany
"Aku tidak mau dijodohkan!" Salah satu indra pendengarannya memang terganggu, cukup merepotkan karena terkadang sesuatu tak bisa didengar dengan jelas. Namun kali ini, di situasi mencekam, suara gesekan ujung mata pisau beradu begitu nyaring, Elia merasa telingannya berfungsi sangat baik, padahal ia berharap tuli keseluruhan untuk sesaat ini saja. Dalam kegelapan, kilauan pisau logam terlihat begitu jelas. Ujungnya runcing nan tajam, siap mengoyak apapun, termasuk pangkal lehernya yang kini menjadi sasaran utama. Tepat ketika permukaan salah satu pisau menyentuh kulit, sensasi dingin segera menjalar. Tak berselang lama, darah segar mengucur akibat goresan kecil. Bukannya kesakitan, Elia justru merasa gatal dan ingin menggaruknya. Membuat goresan itu makin parah. "Elia, sejauh ini kau tidak berguna. Apa salahnya sesekali menuruti ucapan ayah dan kakak tersayangmu ini." Elia membantah sembari menatap tajam Davine, sosok kakak yang satu tahun lebih tua—si pengancam, ahli pisau, dan p...
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments